Mengapa
Yudhoyono Ngotot
Menerima
‘World Statesman Award’?
IKPM, 24 Mei 2013
KONTROVERSI
pemberian penghargaan kepada Presiden Yudhoyono semakin menunjukkan keganjilan.
Semakin diamati, tampak semakin aneh dan semakin mengundang pertanyaan. Bisa
dikatakan ganjil karena pertama, organisasi
yang memberikan penghargaan tersebut the Appeal of Conscience
Foundation, bukanlah sebuah organisasi ternama. Organisasi ini
adalah sebuah organisasi kecil yang tidak jelas orientasinya. Dalam website-nya mereka mengklaim ingin menegakkan
perdamaian dengan melibatkan tokoh-tokoh lintas agama dan tokoh-tokoh bisnis.
Organisasi ini memberikan penghargaan kepada tokoh bisnis dan tokoh politik.
Ada tiga kepala negara yang diberi penghargaan, yaitu mantan Presiden Prancis
Nicolas Sarkozy, Kanselor Jerman Angela Merkel, dan PM Kanada Stephen Harper.
Saya tidak tahu apakah ini kebetulan atau tidak, ketiga kepala negara penerima
penghargaan ini berasal dari kalangan kanan-konservatif.
Pemberian penghargaan kepada tokoh-tokoh ini mungkin
memperlihatkan kuatnya pengaruh Foundation ini, terutama pendirinya, Rabbi
Arthur Schneier. Namun, tidak dengan serta merta menempatkan Foundation ini
sebagai lembaga berwibawa, yang penghargaannya bisa dipergunakan oleh
penerimanya untuk menyampaikan pesan yang ingin disampaikan oleh pemberinya.
Misalnya, penerima Nobel Perdamaian jelas akan dihormati pendapatnya karena
penerimanya itu membawa pesan dari Komite Nobel dalam hal perdamaian.
Kedua, tidak pernah
ada kejelasan apa yang menjadi kriteria pemberian ‘World Statesman award’ ini. Walaupun hanya dalam lingkup Asia,
hadiah Raymond Magsaysay rasanya lebih memberi bobot ketimbang ‘World Statesman Award’ ini. Itu karena
pemberian Raymond Magsaysay dilakukan setelah melewati pertimbangan yang serius
dan melibatkan orang-orang yang memiliki reputasi dan kapasitas untuk itu.
Ketiga, The Appeal of Conscience
Foundation tampaknya menutup diri dari segala macam upaya untuk
menggali informasi terhadap pemberian hadiah ini. Semua upaya wawancara atau
dialog ditolak. Upaya Rev. Max Soerjadinata, seorang pendeta asal Indonesia
yang berdomisili di New York, untuk bertemu dengan pihak Foundation ditolak. Padahal Pendeta Max hanya
ingin menyampaikan keterangan tentang keadaan kehidupan beragama dan toleransi
di Indonesia. Beliau hanya diijinkan menyampaikan surat lewat security (satpam) dari Foundation ini di pintu
masuk. Penolakan untuk berdialog, memberikan informasi, dan menanggapi berbagai
macam protes yang masuk, tentu mengundang tanda tanya besar.
Sementara pihak pemberi penghargaan diam seribu bahasa,
pihak administrasi Presiden Yudhoyono dan pendukung-pendukungnya gencar melakukan
serangan terhadap orang-orang yang keras bersuara terhadap pemberian
penghargaan tersebut. Ini terlihat dari serangan Sekretaris Kabinet Dipo Alam
kepada pastur Katolik Frans Magnis Suseno, SJ, yang keras mengritik pemberian
penghargaan itu. Dipo Alam mengatakan bahwa Magnis berpikiran dangkal dengan
mengangkat persoalan minoritas ke forum internasional. Dia mengatakan itu
seraya mengecilkan soal Ahmadiyah, Syiah, GKI Yasmin dibandingkan dengan hidup
250 juta rakyat Indonesia.
Agak
lucu juga melihat, di tengah demikian banyak kritik yang dilancarkan dari dalam
dan luar negeri, hanya pastur Magnis-lah yang menjadi sasaran ‘coordinated attack’ dari kalangan dekat
presiden Yudhoyono. Tapi ini bisa dimaklumi. Pastur Magnis adalah sasaran
paling lemah. Seolah tidak menyadari, Dipo Alam dalam tweet-nya yang banyak dikutip oleh pers, berusaha
menggiring persoalan menjadi Muslim-Non Muslim. Persis seperti yang terjadi di
daerah-daerah dimana agama dipolitisasi sedemikian rupa dengan menciptakan
politik pembilahan seperti yang dilakukan Dipo Alam. Dengan membikin dikotomi
seperti itu, Dipo Alam sesungguhnya justru memperkuat dugaan banyak orang,
bahwa administrasi pemerintahan Presiden Yudhoyono memang memakai politik
mayoritas-minoritas untuk berkuasa.
Lapis
kedua yang memberikan pembelaan berasal dari pendukung presiden Yudhoyono –
atau paling tidak mendukung sementara untuk suatu kepentingan tertentu. Argumen
yang disampaikan sebenarnya juga tidak kalah ganjil. Mereka mengatakan bahwa
penghargaan ini diberikan tidak kepada presiden Yudhoyono pribadi, tetapi
kepada bangsa Indonesia. Saya katakan agak ganjil karena penghargaan ini
bertajuk ‘World Statesman Award.’ Para pelajar bahasa Inggris tingkat pemula
akan segera mahfum bahwa penghargaan ini ditujukan kepada orang perorangan.
Yakni dengan mengangkat atau memberikan pengakuan bahwa si penerimanya adalah
‘negarawan dunia’ (world statesman – singular!) Jadi
ya mestinya ini kan ditujukan kepada pribadi presiden Yudhoyono.
Pembelaan
yang kesannya sangat ngotot dari lingkaran dalam dan pendukung Yudhoyono serta
sikap diam dari pihak the Appeal of
Conscience, tentu membikin saya penasaran. Sampailah dua hari yang lalu,
ada satu artikel muncul di majalah online Tablet. Pengarangnya
adalah seorang akademisi dari Boston University, Jeremy Menchik. Dia bukan
orang yang sama sekali buta tentang Indonesia. Sebaliknya, dia sangat well-informed, sangat tahu seluk beluk masyarakat
Indonesia. Jeremy menulis disertasi tentang toleransi umuat beragama di
Indonesia. Dia mengumpulkan data-data tentang tokoh-tokoh umat Islam. Dia juga
mengumpukan ribuan fatwa yang pernah dikeluarkan oleh ulama-ulama Indonesia.
Seperti
saya, Jeremy Menchik juga dihinggapi teka-teki: Mengapa Rabbi Arthur Schneier
memberikan penghargaan kepada presiden Yudhoyono? Dalam tulisan yang
berjudul, New York Rabbi’s Awful Award,
Menchik sempat menyinggung beberapa kemungkinan. Apakah presiden Yudhoyono
mendapatkan penghargaan ini karena dia dipandang sebagai pemimpin dari negeri
‘Muslim yang moderat’ – yang dalam hal ini mungkin harus dipahami sebagai
pemimpin yang tidak mencap Israel sebagai setan di forum Sidang Umum PBB?
Ataukah pihak Rabbi Schneier sendiri sebenarnya tahu track record dari Yudhoyono, tetapi karena sadar
bahwa pengaruhnya di dunia internasional makin membesar, maka Schneier
mengesampingkan catatan HAM yang dimiliki oleh Yudhoyono?
Tablet adalah sebuah majalah online yang khusus mengulas kehidupan, seni, dan
ide-ide dari etnik Yahudi. Majalah ini dua kali memenangkan hadiah ‘National
Magazine Award,’ sebuah penghargaan prestisius khusus untuk majalah.
Tulisan-tulisan yang muncul disini dikenal sangat berbobot. Pada bulan Juni,
2011, majalah ini menurunkan feature panjang tentang Rabbi Marc Schneier, anak
dari Rabbi Arthur Schneier, yang dijuluki sebagai ‘rabbi to the stars’ itu.
Tulisan
di majalah Tablet tersebut semakin
membikin penasaran. Mengapa sebuah majalah etnik Yahudi terkemuka justru memuat
tulisan yang bernada tidak setuju dengan penghargaan ‘World Statesman Award’
itu? Secara hampir bersamaan, sebuah artikel muncul di harian The Haaretz, sebuah suratkabar yang terbit di Israel
dan berhaluan liberal-kiri. Artikel itu berjudul agak panjang, Jewish group gives tolerance award to Indonesian leader blamed for
crackdown (Kelompok Yahudi memberikan hadiah toleransi kepada
pemimpin Indonesia yang dipersalahkan karena tindak kekerasan). Tulisan
di The Haaretz ini banyak bercerita tentang
diskriminasi dan kekerasan atas nama agama di Indonesia.
Kita tahu bahwa etnik Yahudi juga terbagi-bagi atas berbagai
macam aliran keagamaan, pandangan politik, dan kebudayaan. Dengan kata lain,
mereka sangat majemuk. Dua media yang disebutkan di atas secara kebetulan
adalah media yang berorientasi kiri-liberal. Tetapi, secara dalam tata politik
Amerika, tampaknya Rabbi Arthur Shcneier lebih berorientasi pada partai
Demokrat yang liberal. Dia dekat dengan Presiden Clinton.
Apakah
yang menjadi motivasi orang-orang sekitar pemerintahan presiden Yudhoyono untuk
menerima penghargaan ini? Itu yang menjadi pertanyaan besar saya yang lain.
Apakah orang-orangnya presiden yang me-lobby the Appeal of Conscience Foundation untuk
memberikan penghargaan itu? Pada website dari
Foundation ini, memang disebutkan bahwa ada delegasi dari Indonesia pada 4
Februari 2013. Mungkinkah delegasi ini yang melakukan lobby? Atau ada pihak lain?
Sebaliknya, orang juga bisa berspekulasi bahwa ini semua
berkaitan dengan habisnya masa kepresidenan Yudhoyono. Dari beberapa kawan
wartawan (yang kebetulan koresponden asing), saya pernah mendengar bahwa
presiden Yudhoyono sudah mulai melihat peluang di dunia internasional untuk
mengisi waktu setelah tidak menjabat sebagai presiden. Adakah penghargaan ini
terkait dengan usaha memasuki dunia internasional itu? Ada yang berspekulasi
bahwa Yudhoyono membutuhkan ‘lobby Yahudi’ untuk masuk ke dunia internasional.
Kalau iya, posisi apa yang diinginkan? Apakah presiden Yudhoyono mengincar
kursi Sekjen PBB?
Saya sendiri cenderung untuk tidak yakin akan dugaan ini.
Posisi Sekjen PBB sekarang dijabat oleh orang Asia, Ban Ki-Moon dari Korea
Selatan. Jabatan ini biasanya digilir antar-benua. Jadi tertutup kemungkinan
untuk menjadi Sekjen PBB. Tapi bagaimana dengan posisi badan-badan PBB yang
lain? Itu mungkin saja. Tetapi perlu diingat bahwa yang memegang peranan dalam
lembaga-lembaga PBB adalah negara-negara anggota, yang sebagian besar adalah
negara berkembang itu. Yudhoyono dikenal lebih dekat dengan negara-negara maju
ketimbang bergaul dan menggalang solidaritas sesama negara berkembang dan
miskin.
Hal
yang membikin saya sulit untuk memahami adalah mengapa Yudhoyono mau menerima
penghargaan ini? Tidak ada keuntungan sedikit pun yang didapat oleh presiden
dengan menerima penghargaan dari sebuah organisasi yang tidak dikenal ini.
Organisasi ini tidak menawarkan akses apapun ke dunia internasional.
Sebaliknya, karena expose media
yang demikian besar, sampai-sampai media seperti Tablet dan The Haaretz pun
meluangkan ruang mereka untuk membahasnya. Tentulah ini bisa menjadi public relations disaster untuk presiden Yudhoyono.
Kalau seandainya media seperti The New York Times atau Wahsington Post ikut-ikutan mengulasnya,
lengkaplah sudah bencana public relations itu.
Untuk presiden yang sangat cermat menjaga citra dirinya, ini tentu bukan kabar
yang menyenangkan.
Terakhir,
siapa yang diuntungkan? Untuk saya, pemberian penghargaan ini kayaknya lebih
untuk kepentingan the Appeal of Conscience Foundation ketimbang untuk presiden
Yudhoyono. Seraya dihinggapi banyak teka-teki dalam soal pemberian penghargaan
ini, tiba-tiba saya teringat akan cerita Hans Christian Andersen yang berjudul
‘The Emperor’s New Clothes’yang versi bahasa Indonesianya didongengkan kepada
saya waktu saya kanak-kanak. Pemberian penghargaan ini setidaknya memungkinkan
kita untuk melihat dan mendiskusikan kembali semua track record dari administrasi pemerintahan
presiden Yudhoyono. Banyak hal harus dijelaskan kembali oleh Yudhoyono. Dengan
menerima penghargaan dari organisasi yang memajukan toleransi, Presiden
Yudhoyono akan dipaksa untuk menjelaskan semua track-record-nya.
Jika itu dilakukan dengan cara seperti yang ditampilkan oleh pembantunya, Dipo
Alam, maka orang akan semakin bertanya. Waktu semakin sempit untuk Pak
Presiden.
0 komentar:
Posting Komentar