Apakah blog saya membantu anda?

Apakah blog saya membantu anda?

Bantu saya untuk klik like ya...

Subscribe Now!

Minggu, 26 Mei 2013

Filsafat Waktu



Waktu Tidak Memberikan Pemecahan

Semua agama menyatakan bahwa diperlukan waktu, yakni waktu psikologis yang kita bicarakan. Surga terletak sangat jauh, dan orang hanya dapat sampai ke sana melalui proses evolusi yang berangsur-angsur, melalui penekanan, melalui pertumbuhan, atau melalui pengakraban (identification) dengan suatu obyek, dengan sesuatu yang lebih tinggi. Pertanyaan kita adalah apakah mungkin untuk bebas dari ketakutan secara langsung. Kalau tidak, ketakutan membuahkan kekacauan; waktu psikologis selalu membuahkan kekacauan luar biasa dalam diri kita.

Saya mempertanyakan seluruh gagasan tentang evolusi; bukan evolusi dari badan fisik ini, melainkan evolusi pikiran, yang telah mengakrabi suatu wujud eksistensi tertentu di dalam waktu. Otak jelas telah berkembang sampai kepada tingkatannya sekarang ini, dan ia mungkin masih akan berkembang lebih jauh, meluas lebih jauh. Namun sebagai manusia, saya telah hidup selama empat puluh atau lima puluh tahun di dunia yang terbentuk dari segala macam teori, konflik, dan konsep; dalam suatu masyarakat yang di situ kerakusan, iri hati, dan persaingan telah membuahkan perang. Saya adalah bagian dari semua itu. Bagi seorang yang bersedih hati, tidak ada artinya berpaling kepada waktu untuk mencari pemecahan, dengan ber-evolusi perlahan-lahan selama dua juta tahun mendatang sebagai manusia.

Dalam keadaan kita sekarang, mungkinkah untuk bebas dari ketakutan dan dari waktu psikologis? Waktu fisikal tentu ada; Anda tidak bisa lepas dari itu. Masalahnya adalah dapatkah waktu psikologis menghasilkan bukan saja ketertiban dalam individu, melainkan juga ketertiban sosial? Kita adalah bagian dari masyarakat; kita tidak terpisah. Jika terdapat ketertiban dalam diri seorang manusia, mau tidak mau akan terdapat pula ketertiban sosial secara lahiriah.



Keadaan Tanpa Waktu
Kalau kita berbicara tentang waktu, maksud kita bukanlah waktu kronologis, waktu yang diukur dengan arloji. Waktu itu memang ada, harus ada. Jika Anda ingin mengejar bus, jika Anda ingin naik kereta api atau memenuhi janji bertemu esok pagi, Anda harus punya waktu kronologis. Tetapi adakah hari esok, secara psikologis, yang adalah waktu batiniah? Adakah sesungguhnya hari esok secara psikologis? Ataukah hari esok itu diciptakan oleh pikiran, oleh karena pikiran melihat mustahilnya perubahan secara langsung, seketika, lalu menciptakan proses yang berangsur-angsur ini?
Saya melihat sendiri, sebagai manusia, bahwa adalah penting sekali untuk mengadakan revolusi radikal dalam cara saya hidup, berpikir, merasa, dan dalam tindakan-tindakan saya, dan saya berkata kepada diri sendiri, “Saya butuh waktu untuk itu; besok saya akan menjadi lain, atau bulan depan.” Itulah waktu yang kita bicarakan: struktur waktu psikologis, hari esok, atau masa depan, dan di dalam waktu seperti itulah kita hidup. Waktu adalah masa lampau, saat sekarang, masa depan—bukan menurut arloji. Saya ada, kemarin; kemarin bergerak melalui hari ini dan menciptakan masa depan. Itu cukup sederhana. Saya mempunyai pengalaman setahun lalu, yang terekam dalam batin saya, dan saat sekarang saya terjemahkan menurut pengalaman, pengetahuan, tradisi, keterkondisian itu, dan saya menciptakan hari esok. Saya terperangkap dalam lingkaran ini. Inilah yang kita sebut hidup; inilah yang kita namakan waktu.
Pikiran, yang adalah Anda, beserta segala ingatan, keterkondisian, gagasan-gagasan, harapan-harapan, keputusasaan, kesepian eksistensial yang mencekam—semua itu adalah waktu. ... Dan untuk memahami keadaan tanpa waktu, ketika waktu berhenti, kita harus menyelidiki apakah batin dapat bebas total dari semua pengalaman, yang berasal dari waktu.

Hakikat Pikiran Sesungguhnya
Waktu adalah pikiran, dan pikiran adalah proses yang menciptakan waktu, sebagai hari kemarin, hari ini, dan hari esok, sebagai alat yang kita gunakan untuk pencapaian, sebagai cara hidup. Waktu bagi kita adalah luar biasa penting; kehidupan demi kehidupan, satu kehidupan berlanjut kepada kehidupan lain yang diubah sedikit, yang terus berlanjut. Jelas, waktu adalah hakikat sesungguhnya dari pikiran, pikiran adalah waktu. Dan selama ada waktu sebagai alat untuk mencapai sesuatu, batin tidak bisa mengatasi dirinya sendiri—kualitas yang mengatasi diri dimiliki oleh batin yang baru, yang bebas dari waktu. Waktu adalah faktor bagi ketakutan. Dengan waktu, saya maksudkan bukan waktu kronologis, yang diukur dengan arloji: detik, menit, jam, hari, tahun, melainkan waktu sebagai proses psikologis, batiniah. Fakta inilah yang menimbulkan ketakutan. Waktu adalah ketakutan; karena waktu adalah pikiran, ia menghasilkan ketakutan. Waktulah yang menciptakan frustrasi, konflik, oleh karena persepsi yang seketika terhadap fakta ini, kesadaran terhadap fakta ini adalah tanpa waktu. ...
Dengan demikian, untuk memahami ketakutan, orang harus sadar akan waktu—waktu sebagai jarak, ruang, ’aku’, yang diciptakan oleh pikiran sebagai hari kemarin, hari ini, dan hari esok, dengan menggunakan ingatan akan hari kemarin untuk menyesuaikan diri dengan saat sekarang, dan dengan demikian mengkondisikan masa depan. Dengan demikian, bagi kebanyakan dari kita, ketakutan adalah realitas yang luar biasa. Dan suatu batin yang terlibat ketakutan, terlibat rumitnya ketakutan, tidak pernah dapat bebas; ia tidak pernah memahami totalitas ketakutan tanpa memahami liku-liku waktu. Keduanya berjalan bersama-sama.

Kekacauan yang Diciptakan oleh Waktu
Waktu berarti bergerak dari apa adanya menuju ’apa seharusnya’. Sekarang saya takut, tetapi suatu hari kelak saya akan bebas dari ketakutan, setidak-tidaknya itulah yang kita kira. Untuk berubah dari apa adanya kepada ’apa seharusnya’ terlibat waktu. Nah, waktu menyiratkan upaya di dalam interval antara apa adanya dan ’apa seharusnya’. Saya tidak suka ketakutan, dan saya akan berupaya untuk memahami, menganalisis, membedah, atau saya akan menemukan akar permasalahannya, atau saya akan melepaskan diri secara total dari ketakutan. Semua ini menyiratkan daya upaya—dan daya upaya itulah yang kita kenal sehari-hari. Kita selalu berada dalam konflik antara apa adanya dan ’apa seharusnya’. ’Apa seharusnya’ adalah suatu gagasan, dan gagasan itu fiktif, itu bukan ’apa adanya diri saya’ sekarang, yang adalah faktanya; dan ’apa adanya diri saya’ sekarang hanya dapat berubah apabila saya memahami kekacauan yang diciptakan oleh waktu.
Jadi, mungkinkah bagi saya untuk bebas dari ketakutan secara total, sepenuhnya, dengan seketika? Jika saya biarkan ketakutan berlanjut, saya akan menciptakan kekacauan selamanya; dengan demikian kita melihat, bahwa waktu adalah unsur dari kekacauan, bukan suatu cara untuk pada akhirnya bebas dari ketakutan. Jadi, tidak ada proses berangsur-angsur untuk melenyapkan ketakutan, sama seperti tidak ada proses berangsur-angsur untuk melenyapkan racun nasionalisme. Jika Anda memiliki nasionalisme dan Anda berkata pada akhirnya nanti akan ada persaudaraan di antara sesama manusia, di dalam jangka waktu itu ada perang, ada kebencian, ada kesengsaraan, ada perpecahan yang mengerikan antara manusia dengan manusia; oleh karena itu, waktu menciptakan kekacauan.

Waktu Adalah Racun
Di kamar mandi Anda ada sebuah botol berlabel ”racun”, dan Anda tahu itu racun; Anda berhati-hati sekali memegang botol itu, bahkan di dalam gelap. Anda selalu mengawasi botol itu. Anda tidak bertanya, ”Bagaimana saya harus menghindarkan diri, bagaimana saya harus mengawasi botol itu?” Anda tahu itu racun, sehingga Anda mengamatinya dengan teliti. Waktu adalah racun; waktu menciptakan kekacauan. Jika ini merupakan fakta bagi Anda, lalu Anda dapat memahami bagaimana untuk bebas dari ketakutan dengan seketika. Tetapi jika Anda masih melihat waktu sebagai cara untuk membebaskan diri, maka tidak ada komunikasi antara Anda dan saya.
Coba lihat, ada lagi yang jauh lebih dalam; mungkin ada suatu jenis waktu yang sama sekali lain. Kita hanya memahami dua jenis waktu ini, waktu fisikal dan waktu psikologis, dan kita terperangkap di dalam waktu. Waktu fisikal memainkan peranan penting di dalam jiwa, dan jiwa mempunyai pengaruh penting terhadap badan. Kita terperangkap di dalam pertempuran ini, di dalam pengaruh ini. Kita harus menerima waktu fisikal untuk mengejar bus atau kereta api, tetapi jika kita menolak waktu psikologis sama sekali, maka kita mungkin dapat tiba pada suatu waktu yang sama sekali lain, suatu waktu yang tidak berhubungan dengan salah satu dari keduanya. Saya ingin Anda bersama saya memasuki waktu itu! Maka waktu bukan lagi kekacauan; waktu adalah ketertiban yang hebat.

Kebenaran Muncul Sebagai Kilatan
Kebenaran atau pemahaman muncul sebagai kilatan, dan kilatan itu tidak mempunyai kontinuitas; ia tidak berada di dalam waktu. Cobalah lihat sendiri. Pemahaman adalah segar, seketika; ia bukan kontinuitas dari sesuatu yang pernah ada. Yang pernah ada tidak dapat memberi Anda pemahaman. Selama kita mencari kontinuitas—menginginkan kelestarian dalam hubungan, dalam cinta, mendambakan perdamaian yang lestari, dan sebagainya—kita mengejar sesuatu yang berada di dalam waktu, dan oleh karena itu tidak termasuk di dalam apa yang tanpa-waktu.

Sebuah Pengejaran Sia-sia
Selama kita berpikir di dalam kerangka waktu, mau tidak mau akan ada ketakutan akan kematian. Saya telah belajar, tetapi saya belum menemukan yang tertinggi dan terakhir, dan sebelum saya mati saya harus menemukannya; atau, jika saya tidak menemukannya sebelum saya mati, setidak-tidaknya saya berharap akan menemukannya dalam kehidupan yang akan datang, dan seterusnya. Cara berpikir kita seluruhnya berdasarkan waktu. Proses berpikir kita adalah apa yang diketahui, ia adalah hasil dari yang diketahui, dan yang diketahui adalah proses waktu; dan dengan batin seperti itu kita mencoba menemukan apa artinya menjadi abadi, di luar waktu, yang adalah pengejaran sia-sia. Itu tidak ada artinya kecuali bagi para filsuf, ahli teori, dan ahli spekulasi. Jika saya ingin menemukan kebenaran, bukan esok, melainkan secara aktual, secara langsung, bukankah saya—sang ‘aku’, diri yang selalu menimbun, berjuang, dan memberikan kontinuitas melalui ingatan—harus berakhir? Apakah tidak mungkin untuk mati selagi hidup—bukan secara artifisial kehilangan ingatan, yang berarti amnesia, melainkan sungguh-sungguh berhenti menimbun melalui ingatan, dan dengan demikian berhenti memberi kelangsungan kepada sang ‘aku’? Sementara hidup di dunia ini, yang adalah di dalam waktu, tidak mungkinkah bagi batin untuk menghasilkan—tanpa paksaan dalam bentuk apa pun—suatu keadaan yang di situ dia yang mengalami dan pengalaman tidak mempunyai landasan? Selama ada dia yang mengalami, si pengamat, si pemikir, mau tidak mau ada ketakutan akan berakhirnya semua itu, dan oleh karena itu ketakutan akan kematian. ...
Jadi, jika mungkin bagi batin untuk mengetahui semua itu, untuk sadar sepenuhnya tentang itu—alih-alih sekadar berkata, “Ya, itu sederhana sekali”—jika batin dapat menyadari proses kesadaran secara total, melihat makna seluruhnya dari kontinuitas dan waktu, dan kesia-siaan pencarian melalui waktu untuk menemukan apa yang di luar waktu—jika batin dapat menyadari semua itu, maka mungkin ada suatu kematian yang sesungguhnya adalah kreativitas yang sepenuhnya di luar waktu./EX/THE BOOK OF LIFE

0 komentar:

Posting Komentar