Waktu Tidak Memberikan Pemecahan
Semua agama menyatakan bahwa diperlukan waktu, yakni waktu psikologis yang kita bicarakan. Surga terletak sangat jauh, dan orang hanya dapat sampai ke sana melalui proses evolusi yang berangsur-angsur, melalui penekanan, melalui pertumbuhan, atau melalui pengakraban (identification) dengan suatu obyek, dengan sesuatu yang lebih tinggi. Pertanyaan kita adalah apakah mungkin untuk bebas dari ketakutan secara langsung. Kalau tidak, ketakutan membuahkan kekacauan; waktu psikologis selalu membuahkan kekacauan luar biasa dalam diri kita.
Saya mempertanyakan seluruh gagasan tentang evolusi; bukan evolusi dari badan fisik ini, melainkan evolusi pikiran, yang telah mengakrabi suatu wujud eksistensi tertentu di dalam waktu. Otak jelas telah berkembang sampai kepada tingkatannya sekarang ini, dan ia mungkin masih akan berkembang lebih jauh, meluas lebih jauh. Namun sebagai manusia, saya telah hidup selama empat puluh atau lima puluh tahun di dunia yang terbentuk dari segala macam teori, konflik, dan konsep; dalam suatu masyarakat yang di situ kerakusan, iri hati, dan persaingan telah membuahkan perang. Saya adalah bagian dari semua itu. Bagi seorang yang bersedih hati, tidak ada artinya berpaling kepada waktu untuk mencari pemecahan, dengan ber-evolusi perlahan-lahan selama dua juta tahun mendatang sebagai manusia.
Dalam keadaan kita sekarang, mungkinkah untuk bebas dari ketakutan dan dari waktu psikologis? Waktu fisikal tentu ada; Anda tidak bisa lepas dari itu. Masalahnya adalah dapatkah waktu psikologis menghasilkan bukan saja ketertiban dalam individu, melainkan juga ketertiban sosial? Kita adalah bagian dari masyarakat; kita tidak terpisah. Jika terdapat ketertiban dalam diri seorang manusia, mau tidak mau akan terdapat pula ketertiban sosial secara lahiriah.
Keadaan Tanpa Waktu
Kalau kita berbicara tentang waktu, maksud kita bukanlah waktu
kronologis, waktu yang diukur dengan arloji. Waktu itu memang ada,
harus ada. Jika Anda ingin mengejar bus, jika Anda ingin naik kereta
api atau memenuhi janji bertemu esok pagi, Anda harus punya waktu
kronologis. Tetapi adakah hari esok, secara psikologis, yang adalah
waktu batiniah? Adakah sesungguhnya hari esok secara psikologis?
Ataukah hari esok itu diciptakan oleh pikiran, oleh karena pikiran
melihat mustahilnya perubahan secara langsung, seketika, lalu
menciptakan proses yang berangsur-angsur ini?
Saya melihat sendiri, sebagai manusia, bahwa adalah penting sekali
untuk mengadakan revolusi radikal dalam cara saya hidup, berpikir,
merasa, dan dalam tindakan-tindakan saya, dan saya berkata kepada diri
sendiri, “Saya butuh waktu untuk itu; besok saya akan menjadi
lain, atau bulan depan.” Itulah waktu yang kita bicarakan:
struktur waktu psikologis, hari esok, atau masa depan, dan di dalam
waktu seperti itulah kita hidup. Waktu adalah masa lampau, saat
sekarang, masa depan—bukan menurut arloji. Saya ada, kemarin;
kemarin bergerak melalui hari ini dan menciptakan masa depan. Itu cukup
sederhana. Saya mempunyai pengalaman setahun lalu, yang terekam dalam
batin saya, dan saat sekarang saya terjemahkan menurut pengalaman,
pengetahuan, tradisi, keterkondisian itu, dan saya menciptakan hari
esok. Saya terperangkap dalam lingkaran ini. Inilah yang kita sebut
hidup; inilah yang kita namakan waktu.
Pikiran, yang adalah Anda, beserta segala ingatan, keterkondisian,
gagasan-gagasan, harapan-harapan, keputusasaan, kesepian eksistensial
yang mencekam—semua itu adalah waktu. ... Dan untuk memahami
keadaan tanpa waktu, ketika waktu berhenti, kita harus menyelidiki
apakah batin dapat bebas total dari semua pengalaman, yang berasal dari
waktu.
Hakikat Pikiran Sesungguhnya
Waktu adalah pikiran, dan pikiran adalah proses yang menciptakan waktu,
sebagai hari kemarin, hari ini, dan hari esok, sebagai alat yang kita
gunakan untuk pencapaian, sebagai cara hidup. Waktu bagi kita adalah
luar biasa penting; kehidupan demi kehidupan, satu kehidupan berlanjut
kepada kehidupan lain yang diubah sedikit, yang terus berlanjut. Jelas,
waktu adalah hakikat sesungguhnya dari pikiran, pikiran adalah waktu.
Dan selama ada waktu sebagai alat untuk mencapai sesuatu, batin tidak
bisa mengatasi dirinya sendiri—kualitas yang mengatasi diri
dimiliki oleh batin yang baru, yang bebas dari waktu. Waktu adalah
faktor bagi ketakutan. Dengan waktu, saya maksudkan bukan waktu
kronologis, yang diukur dengan arloji: detik, menit, jam, hari, tahun,
melainkan waktu sebagai proses psikologis, batiniah. Fakta inilah yang
menimbulkan ketakutan. Waktu adalah ketakutan; karena waktu adalah
pikiran, ia menghasilkan ketakutan. Waktulah yang menciptakan
frustrasi, konflik, oleh karena persepsi yang seketika terhadap fakta
ini, kesadaran terhadap fakta ini adalah tanpa waktu. ...
Dengan demikian, untuk memahami ketakutan, orang harus sadar akan
waktu—waktu sebagai jarak, ruang, ’aku’, yang
diciptakan oleh pikiran sebagai hari kemarin, hari ini, dan hari esok,
dengan menggunakan ingatan akan hari kemarin untuk menyesuaikan diri
dengan saat sekarang, dan dengan demikian mengkondisikan masa depan.
Dengan demikian, bagi kebanyakan dari kita, ketakutan adalah realitas
yang luar biasa. Dan suatu batin yang terlibat ketakutan, terlibat
rumitnya ketakutan, tidak pernah dapat bebas; ia tidak pernah memahami
totalitas ketakutan tanpa memahami liku-liku waktu. Keduanya berjalan
bersama-sama.
Kekacauan yang Diciptakan oleh Waktu
Waktu berarti bergerak dari apa adanya menuju ’apa
seharusnya’. Sekarang saya takut, tetapi suatu hari kelak saya
akan bebas dari ketakutan, setidak-tidaknya itulah yang kita kira.
Untuk berubah dari apa adanya kepada ’apa seharusnya’
terlibat waktu. Nah, waktu menyiratkan upaya di dalam interval antara
apa adanya dan ’apa seharusnya’. Saya tidak suka ketakutan,
dan saya akan berupaya untuk memahami, menganalisis, membedah, atau
saya akan menemukan akar permasalahannya, atau saya akan melepaskan
diri secara total dari ketakutan. Semua ini menyiratkan daya
upaya—dan daya upaya itulah yang kita kenal sehari-hari. Kita
selalu berada dalam konflik antara apa adanya dan ’apa
seharusnya’. ’Apa seharusnya’ adalah suatu gagasan,
dan gagasan itu fiktif, itu bukan ’apa adanya diri saya’
sekarang, yang adalah faktanya; dan ’apa adanya diri saya’
sekarang hanya dapat berubah apabila saya memahami kekacauan yang
diciptakan oleh waktu.
Jadi, mungkinkah bagi saya untuk bebas dari ketakutan secara total,
sepenuhnya, dengan seketika? Jika saya biarkan ketakutan berlanjut,
saya akan menciptakan kekacauan selamanya; dengan demikian kita
melihat, bahwa waktu adalah unsur dari kekacauan, bukan suatu cara
untuk pada akhirnya bebas dari ketakutan. Jadi, tidak ada proses
berangsur-angsur untuk melenyapkan ketakutan, sama seperti tidak ada
proses berangsur-angsur untuk melenyapkan racun nasionalisme. Jika Anda
memiliki nasionalisme dan Anda berkata pada akhirnya nanti akan ada
persaudaraan di antara sesama manusia, di dalam jangka waktu itu ada
perang, ada kebencian, ada kesengsaraan, ada perpecahan yang mengerikan
antara manusia dengan manusia; oleh karena itu, waktu menciptakan
kekacauan.
Waktu Adalah Racun
Di kamar mandi Anda ada sebuah botol berlabel ”racun”, dan
Anda tahu itu racun; Anda berhati-hati sekali memegang botol itu,
bahkan di dalam gelap. Anda selalu mengawasi botol itu. Anda tidak
bertanya, ”Bagaimana saya harus menghindarkan diri, bagaimana
saya harus mengawasi botol itu?” Anda tahu itu racun, sehingga
Anda mengamatinya dengan teliti. Waktu adalah racun; waktu menciptakan
kekacauan. Jika ini merupakan fakta bagi Anda, lalu Anda dapat memahami
bagaimana untuk bebas dari ketakutan dengan seketika. Tetapi jika Anda
masih melihat waktu sebagai cara untuk membebaskan diri, maka tidak ada
komunikasi antara Anda dan saya.
Coba lihat, ada lagi yang jauh lebih dalam; mungkin ada suatu jenis
waktu yang sama sekali lain. Kita hanya memahami dua jenis waktu ini,
waktu fisikal dan waktu psikologis, dan kita terperangkap di dalam
waktu. Waktu fisikal memainkan peranan penting di dalam jiwa, dan jiwa
mempunyai pengaruh penting terhadap badan. Kita terperangkap di dalam
pertempuran ini, di dalam pengaruh ini. Kita harus menerima waktu
fisikal untuk mengejar bus atau kereta api, tetapi jika kita menolak
waktu psikologis sama sekali, maka kita mungkin dapat tiba pada suatu
waktu yang sama sekali lain, suatu waktu yang tidak berhubungan dengan
salah satu dari keduanya. Saya ingin Anda bersama saya memasuki waktu
itu! Maka waktu bukan lagi kekacauan; waktu adalah ketertiban yang
hebat.
Kebenaran Muncul Sebagai Kilatan
Kebenaran atau pemahaman muncul sebagai kilatan, dan kilatan itu tidak
mempunyai kontinuitas; ia tidak berada di dalam waktu. Cobalah lihat
sendiri. Pemahaman adalah segar, seketika; ia bukan kontinuitas dari
sesuatu yang pernah ada. Yang pernah ada tidak dapat memberi Anda
pemahaman. Selama kita mencari kontinuitas—menginginkan
kelestarian dalam hubungan, dalam cinta, mendambakan perdamaian yang
lestari, dan sebagainya—kita mengejar sesuatu yang berada di
dalam waktu, dan oleh karena itu tidak termasuk di dalam apa yang
tanpa-waktu.
Sebuah Pengejaran Sia-sia
Selama
kita berpikir di dalam kerangka waktu, mau tidak mau akan ada ketakutan
akan kematian. Saya telah belajar, tetapi saya belum menemukan yang
tertinggi dan terakhir, dan sebelum saya mati saya harus menemukannya;
atau, jika saya tidak menemukannya sebelum saya mati, setidak-tidaknya
saya berharap akan menemukannya dalam kehidupan yang akan datang, dan
seterusnya. Cara berpikir kita seluruhnya berdasarkan waktu. Proses
berpikir kita adalah apa yang diketahui, ia adalah hasil dari yang
diketahui, dan yang diketahui adalah proses waktu; dan dengan batin
seperti itu kita mencoba menemukan apa artinya menjadi abadi, di luar
waktu, yang adalah pengejaran sia-sia. Itu tidak ada artinya kecuali
bagi para filsuf, ahli teori, dan ahli spekulasi. Jika saya ingin
menemukan kebenaran, bukan esok, melainkan secara aktual, secara
langsung, bukankah saya—sang ‘aku’, diri yang selalu
menimbun, berjuang, dan memberikan kontinuitas melalui
ingatan—harus berakhir? Apakah tidak mungkin untuk mati selagi
hidup—bukan secara artifisial kehilangan ingatan, yang berarti
amnesia, melainkan sungguh-sungguh berhenti menimbun melalui ingatan,
dan dengan demikian berhenti memberi kelangsungan kepada sang
‘aku’? Sementara hidup di dunia ini, yang adalah di dalam
waktu, tidak mungkinkah bagi batin untuk menghasilkan—tanpa
paksaan dalam bentuk apa pun—suatu keadaan yang di situ dia yang
mengalami dan pengalaman tidak mempunyai landasan? Selama ada dia yang
mengalami, si pengamat, si pemikir, mau tidak mau ada ketakutan akan
berakhirnya semua itu, dan oleh karena itu ketakutan akan kematian. ...
Jadi, jika mungkin bagi batin untuk mengetahui semua itu, untuk sadar
sepenuhnya tentang itu—alih-alih sekadar berkata, “Ya, itu
sederhana sekali”—jika batin dapat menyadari proses
kesadaran secara total, melihat makna seluruhnya dari kontinuitas dan
waktu, dan kesia-siaan pencarian melalui waktu untuk menemukan apa yang
di luar waktu—jika batin dapat menyadari semua itu, maka mungkin
ada suatu kematian yang sesungguhnya adalah kreativitas yang sepenuhnya
di luar waktu./EX/THE BOOK OF LIFE
0 komentar:
Posting Komentar