Apakah blog saya membantu anda?

Apakah blog saya membantu anda?

Bantu saya untuk klik like ya...

Subscribe Now!

Sabtu, 18 Mei 2013

Teori Identitas Sosial Antara Peradaban Dan Starata Indonesia Di Mata Dunia






“To know who you are is to be oriented in moral space,
 as pace in which questionarise about what is good or bad,
 what is worth doing and what is not,
 what is meaning and importance for you,
 and what is trivial and secondary.”(Taylor)

Identitas Sebagai Pengantar
Manusia adalah mahkluk yang bertanya akan dirinya. Mahkluk yang harus mencari identitas dirinya. Mahkluk dengan kesadaran di manakah seharusnya dia berada. Keadaan tersebut tidak terjadi pada mahkluk-mahkluk lainnya, hewan, tumbuhan, dan lingkungan sekitarnya.
Aristoteles menyebut manusia sebagai hewan yang berpikir. Ketika manusia berpikir, pada saat itu manusia menyadari akan keberadaannya. I think, there for I am, demikian Descartes menyebutnya.[1] Karena manusia adalah hewan yang berpikir, maka yang menyadari keberadaan sesuatu yang lain dan yang menyadari sesuatu yang lain itu ada adalah manusia bukan yang lain tersebut.
Berpikir adalah proses akan lahirnya kesadaran. Kesadaran berarti sadar akan sesuatu (Edmund Husserl).[2] Kesadaran akan sesuatu maksudnya adalah ada diri selain diri kita yang berada di luar sana atau di luar diri, adanya subjek dan objek. kesadaran menimbulkan juga pemilahan, keraguan, dan pencarian makna.
Berbeda dengan yang lainnya (the other), kesadaran menyebabkan manusia selalu ingin bertanya. Dia selalu tidak puas akan dirinya (Sartre),[3] selalu mencari dan berubah tidak pernah menetap. Bahkan dia pun mempertanyakan ke-akuannya. Aku ini siapa ? dia itu siapa ? berbedakah aku dengannya ? kenapa aku ini ada ?
Ketika manusia bertanya akan dirinya, disitulah sebenarnya manusia telah berupaya membedakan dirinya dengan yang lain, atau kita dengan mereka. Dalam perbedaan tersebut timbul pula identitas aku, mereka, dan yang lain.[4]Misal saja jika aku bertanya aku siapa, pastilah aku juga akan memposisikan aku dimana dan orang lain itu dimana. Misalnya nama ku Idham, Idham orang mana? Idham orang Padang, dan dia siapa? Dia Nelda, dan Nelda orang Medan. Nelda seperti ini dan aku seperti ini.
Identitas umumnya dimengerti sebagai suatu kesadaran akan kesatuan dan kesinambungan pribadi, suatu kesatuan unik yang memelihara kesinambungan arti masa lampaunya sendiri bagi diri sendiri dan orang lain; kesatuan dan kesinambungan yang mengintegrasikan semua gambaran diri, baik yang diterima dari orang lain maupun yang diimajinasikan sendiri tentang apa dan siapa dirinya serta apa yang dapat dibuatnya dalam hubungan dengan diri sendiri dan orang lain.
Identitas diri seseorang juga dapat dipahami sebagai keseluruhan ciri-ciri fisik, disposisi yang dianut dan diyakininya serta daya-daya kemampuan yang dimilikinya. Kesemuanya merupakan kekhasan yang membedakan orang tersebut dari orang lain dan sekaligus merupakan integrasi tahap-tahap perkembangan yang telah dilalui sebelumnya.
Buat Fromm (1947), Identitas diri dapat dibedakan tetapi tidak dapat dipisahkan dari identitas sosial seseorang dalam konteks komunitasnya. Selain mahkluk individual yang membangun identitas dirinya berdasarkan konsep atau gambaran dan cita-cita diri ideal yang secara sadar dan bebas dipilih, manusia sekaligus juga mahkluk sosial yang dalam membangun identitas dirinya tidak dapat melepaskan diri dari norma yang mengikat semua warga masyarakat tempat ia hidup dan peran sosial yang diembannya dalam masyarakat tersebut.
Masyarakat begitu dekat dengan diri kita, sehingga kita sering lupa bahwa masyarakat itu sendiri berisi begitu banyak cara dalam mengadapi kehidupan (Fromm).[5] Kita sering menganggap cara kita memperlakukan sesuatu adalah satu-satunya cara yang tersedia. Kita harus belajar bahwa semua itu telah menjadi alam bawah sadar bagi kita semua, atau lebih tepatnya alam bawah sadar sosial. Jarang sekali kita menganggap tindakan kita bukan berasal dari kehendak bebas kita sendiri. Sebaliknya, kita hanya mengikuti tatanan yang sudah ada dan tidak pernah kita pertanyakan lebih lanjut.
Erikson (1989)[6] membedakan dua macam identitas, yakni identitas pribadi dan identitas ego. Identitas pribadi seseorang berpangkal pada pengalaman lansung bahwa selama perjalanan waktu yang telah lewat, kendati mengalami berbagai perubahan, ia tetap tinggal sebagai pribadi yang sama. Identitas pribadi baru dapat disebut identitas Ego kalau identitas itu disertai dengan kualitas eksistensial sebagai subyek yang otonom yang mampu menyelesaikan konflik-konflik di dalam batinnya sendiri serta masyarakatnya. Menurut erikson, proses pembentukan identitas berlangsung secara pelan-pelan dan pada awalnya terjadi secara tak sadar dalam inti diri individu. Proses pembentukan identitas yang berangsur-angsur itu sebenarnya sudah dimulai pada periode pertama, yakni periode kepercayaan dasar lawan kecurigaan dasar.
JacquesLacan, psikoanalis asal Prancis, berpendapat bahwa awal pengenalan identitas diri hadir ketikaseorang mengalami apa yang disebut dengan fase cermin (Lacan, 1977).[7] Sebelum masuk ketahap tersebut, balita belum bisa mengenal pemisahan antara diri sendiri danoranglain, bayi dan ibunya, di dalam dandi luar, laki-laki dan perempuan. Fase cermin berlangsung dalam bentuk keterbelahan antara aku yang melihat dan aku yang dilihat. Di sini subjek diidentifikasikan dengan sesuatu yanglain dengan dirinya sendiri (bayangan pada cermin), dan citra subjek itu sendiri yang terbangaun karenanya bergantung pada keterasingan, pada pemindahan diri kepada yang lain.[8] Pada tahap ini, citra diri membentuk pengenalan diri yang keliru. Subjek menemukan bayangannya yang memikat sepanjang ia menghasilkan sebuah gambar diri yang koheren, ketika tubuh anak yang sesungguhnya benar-benar suatu dorongan-dorongan yang sembrawut.
Kesembrawutan pada fase cermin tersebut akan menjadi lebih teratur ketika sang subjek mulai memasuki tahap bahasa dan tahap hukum. Keterbelahan tahapan ini berbentuk aku yang berbicara dan aku yang dibicarakan. Dalam memasuki tahap bahasa kita menjadi akrab dengan karakter-karakter dalam sebuah kisah, yaitu kisah narasi dimana bahasa dengan tidak peduli terus bercerita tanpa mempedulikan aspirasi dan hasrat individu. Buat lacan, identitas diri atau subjektifitas adalah produk bahasa dan tidak ada sesuatu apa pundi luar bahasa.
Karena demikian pentingnya identitas, maka dalam perkembangan teori psikologi sosial, teori tentang identitas pada kelanjutannya menjadi sebuah kajian tersendiri. Teori tersebut dinamakan dengan teori identitas sosial yang dibawa dan diperkenalkan pertama kali oleh Henri Tajfel dan John Turner.
Henri Tajfel Sebagai Tokoh Teori Identitas Sosial
Henri Tajfel adalah keturunan Yahudi Polandia yang lahir diWloclawek pada 22 Juni 1919. Akan tetapi Tajfel sudah bersifat agnostik sejak mudanya. Dia sama sekali tidak menganut secara penuh agamayang dianutnya.
Saat perang dunia kedua pecah, Tajfel yang sedang belajar ilmu kimia di Universitas Sorbone, Prancis, Kemudian diangkat menjadi tentara Francis. Pada masa peperangan, Tajfel tertangkap oleh tentara Jerman pada Juni 1940, dan menghabiskan masa waktu lima tahun sebagai tahanan perang diAustriadan Jerman.
Beruntung buat Tajfel, oleh tentara Jerman yang ditugaskan untuk mewancarai dan mengamatinya, pada pengamatan tentara tersebut tidak ditemukan ciri kalau dia adalah Yahudi. Jadi, Tajfel selamat dari pengiriman dirinya ke kamp-kamp konsentrasi Nazi buat para Yahudi. Meskipun begitu, ketika dia kembali ke rumah, banyak diantara teman dan keluarganya telah mati. Pengalaman inilah yang membentuk karirnya dalam tiga jalan. Pertama, dia mengembangkan konsep prejudice yang bersifat menetap; kedua, mengakui kalau nasibnya terikat kuat sepenuhnya dengan identitas kelompoknya; ketiga, dia memahami kalau Holocoust bukan hasil dari psikologi tapi dari operasi proses psikologi dimana konsep yang ada sebelumnya sudah terberi dalam konteks sosial dan politiknya.
Setelah lepas dari kemiliteran, Tajfel berkerja dibeberapa organisasi, termasuk pada the UN Refugee Organisation untuk membantu membangun kembali hidup anak-anak yatim dan orang-orang yang menjadi pengungsi akibat perang. Pekerjaan tersebut membuat dia sering pergi ke Paris, Brussels dan Jerman Barat.
Tahun 1946 Tajfel mulai tertarik untuk belajar psikologi. Keinginannya tersebut terbentuk dari pengalaman hidup yang dijalaninya selama ini. Barulah pada akhir 1950, Tajfel mendapat kesempatan belajar psikologi di Ingris, tepatnya di Birckbeck. Bekerja seharian dan belajar pada malam hari, Tajfel pun meraih kelulusan predikat terbaik pada Universitas London, sebelum dia menjadi asisten peneliti di Universitas Durham tahun 1955
Awal dari pekerjaan Tajfel dibidang psikologi adalah bidang psikologi sosial yang merupakan bidang baru dalam bidang psikologi. Dia berkonsentrasi pada hubungan antara motivasi dan persepsi, hal persepsi yang ditekankan adalah persepsi yang berlebihan. Dalam bidang ini Tajfel menemukan tiga konsep baru tentang persepsi. Pertama, bahwa asosiasi nilai dengan objek fisik tidak selalu memberikan persepsi yang berlebihan dalam perbandingannya terhahadap stimulus yang netral atau terhadap ukuran yang obejekjtif . kedua, distorsi dalam persepsi tidak selalu berasal dari satu arah. Ketiga, Tajfel membedakan atara penilaian persepsi interserial dengan intraserial. Dalam hal ini, Tajfel membuat permasalahan penilaian tentang persepsi menjadi lebih mudah dipahami, bahwa penilaian haruslah dilihat dulu dalam perbandingannya antara stimulus ketimbang hubngan lansung antara satu stimulus dan responnya saja (dalam, Purkhardt, 1993:140).
Setelah melakukan eksperimen yang dinamakan eksperimen kelompok minimal (minimal group experiment)”, Tajfel pun menjadi social psychologis yang cukup terkenal. Penelitian tersebut berusaha mendeterminasikan tentang prasangka kolektif, yang memperlihatkan kategorisasi sebagai pemicu terciptanya perbedaan antar kelompok.
Prase-prase pemikiran Tajfel tidaklah konstan, dia juga mengalami perubahan fokus pada penelitiannya. Walaupun demikian,bentuk inteletualitas Tajfel tetap dalam bidang psikologi Sosial. Dia hanya mengalami beberapa perubahan konsentarsinya antara awal kerjanya dengan pekerjaan selanjutnya. Pada prase pertama dia membangun tentang perspektif kognitif dalam permasalahan persepsi sosial di lingkungan fisik. Lalu yang kedua dia membangun peran nilai dan kategorisasi dalam penilaian persepsi antara lingkungan sosial dan fisik. Kemudian yang ketiga,dia berkonsentrasi secara eksplisit pada fenomena prasangka dalam konteks hubungan antar kelompok.
Ditahun1968, Tajfel menjadi Profesor Psikologi Sosial dari Departemen Psikologi pada Universitas Bristol, dan dia tetap di sana sampai kematian menjemputnya pada tahun 1982. di Universitas Bristol Tajfel bekerja sama dengan peneliti-peneliti muda seperti Michael Billing, Dick Eisier, Jonathan Turner dan Glyns Breakwell. Pada 1974 Tajfel berhasil menembuskan proposal ke Social Science Research Council (SSRC) mengenai identitas sosial, kategorisasi sosial, dan perbandingan sosial dalam tingkah laku hubungan antar kelompok. Nantinya, bersama Turner, Tajfel mempopuerkan teori identitas sosial.[9]

Identitas Sosial: Bhinneka Tunggal Ika

Bhinneka Tunggal Ika adalah motto atau semboyan Indonesia. Kata tersebut diambil dari bahasa Jawa Kuna dan diterjemahkan sebagai “Berbeda-beda tetapi tetap satu”. Kalimat ini merupakan kutipan dari sebuah kakawin Jawa Kuno yaitu kakawin Sutasoma, karangan Mpu Tantular pada masa kerajaan Majapahit sekitar abad ke-14. Kakawin ini istimewa karena mengajarkan toleransi antara umat Hindu Siwa dengan umat Buddha. Kata-kata Bhinneka Tunggal Ika juga terdapat pada lambang Burung Garuda, Dimana pada kaki Burung Garuda mencengkram sebuah pita yang bertuliskan Bhinneka Tunggal Ika.
Masyrakat Indonesia terdiri dari lebih 500 suku dengan 250 lebih macam bahasa daerah, yang mana semua dipersatukan dengan ikrar yang telah menjadi dasar persatuan bangsa ini, yaitu sumpah permuda yang berisi; satu nusa, satu bangsa dan satu bahasa. Ikrar atau janji tersebut telah diucapkan oleh seluruh bangsa Indonesia dengan perwakilan para pemuda dari berbagai suku dan golongan pada tanggal 28 oktober 1928, saat Indonesia masih berada dibawah penjajahan Imperialis Belanda. Hingga pada saat proklamasi dibacakan maka ditetapkanlah Pancasila dan UUD 45 sebagai dasar Negara.
Sebuah bangsa multietnik memiliki beragam masalah seperti bangsa lainnya, namun masalah besar negara multietnik adalah sulitnya untuk mengintegrasikan keseluruhan masyarakat kedalam satu kerangka persatuan yang utuh dan kuat. Dengan adanya semboyan dan konsep Bhinneka Tunggal Ika pada dasar kehidupan masyarakat Indonesia maka seharusnya persatuan dan kesatuan akan tetap terjaga dan menghambat terjadinya segala macam konflik yang didasari kepentingan golongan atau kelompok.
Ada beberapa interpretasi untuk menjadikan Bhinneka Tunggal Ika lebih membumi dalam pribadi masyarakat yang heterogen ini, salah satunya yaitu dengan identitas sosial mutual differentiation model dari Brewer & Gaertner (2003) yang diterapkan pada diri setiap Individu dalam bangsa ini. Mutual differentiation model adalah suatu model dimana seseorang atau kelompok tertentu yang mempertahankan identitas asal (kesukuan atau daerah) namun secara bersamaan kesemua kelompok tersebut juga memiliki suatu tujuan bersama yang pada akhirnya mempersatukan mereka semua.
Model ini akan memunculkan identitas ganda yang bersifat hirarkis, dengan artian seseorang tidak akan melepaskan identitas asalnya dan memiliki suatu identitas bersama yang lebih tinggi nilainya. Sebagai contoh seseorang tidak melupakan asalnya sebagai orang Minang, Batak, China atau Jawa, dll, namun memiliki suatu kesatuan bersama yang lebih diutamakan yaitu sebagai rakyat Indonesia. Dengan demikian identitas kesukuan atau daerah lebih rendah nilai dan keutamaannya daripada identitas nasional, Sesuai dengan makna Bhinneka Tunggal Ika itu sendiri, dimana persatuan adalah harga mati.
Pada masa kepemimpinan Ir.Soekarno, beliau pernah melakukan usaha mempersatukan seluruh bangsa dengan jargon “Ganyang Malaysia”, “Amerika kita Seterika”, “Jepang kita Panggang”, dan “Inggris kita Linggis” dimana pada kesempatan tersebut beliau menebar propaganda bahwa setiap warga negara Indonesia memiliki musuh bersama yaitu Malaysia, Jepang, Amerika dan Inggris. Dengan adanya Ultimate Goal maka persatuan akan semakin kuat dikarenakan tumbuhnya perasaan senasib-sepenanggungan dalam masyarakat sebangsa dan setanah air. Perasaan, semangat dan tujuan seperti itulah yang akan membuat masyarakat heterogen menjadi bersatu, membentuk suatu identitas sosial nasional yang lebih kuat daripada kepentingan kelompok, golongan dan pribadi.
Dengan mengakui perbedaan dan menghormati perbedaan itu sendiri ditambah kuatnya mempertahankan ikrar satu nusa, satu bangsa dan satu bahasa merupakan suatu model identitas sosial yang sangat baik dalam bangsa ini. Sehingga terjalin kerjasama antar semua golongan tanpa pernah menyinggung perbedaan karena memiliki suatu tujuan utama dan kebanggaan bersama atas persatuan bangsa.
Toleransi dari setiap kategori kelompok adalah kata kunci dalam perwujudan model ini, dimana Toleransi dalam konteks kehidupan berbangsa adalah sikap menghargai satu sama lain, melarang adanya dikriminasi dan ketidak-adilan dari kelompok mayoritas terhadap minoritas, baik secara suku, budaya dan agama dengan tujuan untuk mewujudkan cita-cita luhur bersama.
Mungkin tidak semudah itu untuk “menyuntikkan” sebuah ide persatuan kedalam suatu masyarakat yang bersifat heterogen dan plural secara horizontal, apalagi Indonesia secara vertikal sekurang-kurangnya memiliki lima lapisan masyarakat yaitu, ultra modern, modern, urban, tradisional, dan masyarakat terbelakang (bahkan di Papua masih ada masyarakat primitif, belum berpakaian). Tidak meratanya pembangunan ini bukan hanya tanggung jawab pemerintah sebagai penyelenggara negara melainkan juga merupakan tanggung jawab bersama seluruh warga negara Indonesia.
Mungkin dengan berkembanganya arus informasi tiada henti, dimana dunia sedang mengalami globalisasi, kita sebagai masyarakat suatu bangsa yang berdaulat, mau berbagi tentang segala macam pengetahuan dan doktrin tentang berkebangsaan kepada seluruh saudara kita diseluruh penjuru negeri. Melakukan gerakan-gerakan yang bersifat nasionalis demi meningkatkan rasa cinta tanah air kepada seluruh tumpah darah Indonesia, atau minimal dimulai dari diri kita sendiri, dengan tujuan menumbuh-kembangkan segala macam pandangan tentang bertanah air di Indonesia dengan baik dan benar.
Selain masalah kebangsaan, tantangan kedepan pada masa mendatang dari bangsa ini adalah menghadapi era globalisasi ekonomi, kapitalisme yang menggurita, imperialis, orientalis, penyusupan paham-paham menyimpang dari pihak luar, serta dari dalam negeri sendiri seperti pengkhianatan, fundamentalis dan ‘barisan sakit hati’ yang bertujuan memperkeruh keadaan, menyulut konflik dan kesenjangan sehingga terjadi aksi-aksi dengan hasil keadaan yang menjauhkan kita dari jalur pencapaian cita-cita luhur.
Perbedaan adalah anugerah, dimana darinya maka kita dapat mengenal satu sama lain, saling mengisi dan hidup penuh warna dalam melakukan komunikasi, interaksi dan juga relasi, sehingga dapat mewujudkan masyarakat madani sesuai dengan apa yang telah dicita-citakan bersama. Tidak ada yang instan dalam mewujudkan cita-cita, semua membutuhkan proses, kerja keras dan pengorbanan. Jika pada generasi sekarang hal tersebut belum bisa terwujud, maka wariskanlah perjuangan dan semangat ini pada generasi berikutnya, agar apa yang belum sempat kita rasakan dapat dikecap manis oleh para generasi penerus bangsa yang besar ini dikemudian hari
Individu & Identitas Sosial
Manusia sebagai pribadi tidak dirumuskan sebagai suatu kesatuan individu saja tanpa sekaligus menghubungkannya dengan lingkungan sekitarnya. Kita tidak dapat membugkusnya ke dalam satu kesatuan individu saja, yang tidak pernah bersinggungan dengan lingkungan. Ketika kita membicarakan identitas di situ juga kita membicarakan kelompok. Buat Verkuyten, gagasan tentang identitas adalah hubungan antara individu dengan lingkungannya (Verkuyten, 2005). Adanya identitas dapat lebih memudahkan manusia menggambar keberadaan sesuatu sehinga dapat memberikan kemudahan manusia untuk bertindak.
Suatu kepribadian akan menjadi kepribadian apabila keseluruhan sistem psikofisiknya temasuk bakat kecakapan dan ciri-ciri kegiatannya menyatakan sebagai kekhasan dirinya dalam penyesuaian dirinya dengan lingkungannya. Kepribadian individu, keahlian individu, ciri-ciri akan dirinya baru akan ketahuan kepribadiannya ketika sudah melakukan interaksi dengan lingkungannya. Individu memerlukan hubungan dengan lingkungan yang menggiatkannya, merangsang perkembangannya, atau memberikan sesuatu yang ia perlukan. Tanpa hubungan, individu bukanlah individu lagi (Gerungan, 2004).
Karena Manusia tidak hidup sendiri tetapi hidup bersama dalam masyarakat dan lingkungannya, makanya Identitas terbentuk. Ini karena manusia butuh pengenalan diri. Identitas juga hadir biar manusia dapat saling mengenal sesama dan dapat membedakan sesama. Tajfel mendefinisikan Identitas sosial sebagai pengetahuan individu dimanadia merasa sebagai bagian anggota kelompok yang memiliki kesamaan emosi serta nilai (Tajfel, 1979).[10] Identitas sosial juga merupakan konsep diri seseorang sebagai anggota kelompok (Abrams & Hogg, 1990). Identitas bisa berbentuk kebangsaan, ras, etnik, kelas pekerja, agama, umur, gender, suku, keturunan, dll. Biasanya, pendekatan dalam identitas sosialerat kaitannya dengan hubungan interrelasionship, serta kehidupan alamiah masyarakat dansociety(Hogg & Abrams, 1988). Kemudian, pendekatan identitas sosial juga mengamati bagaimana kategori sosial yangada dalam masyarakat ternyata tidak terbentuk secara sejajar, tapi juga menimbulkan status sosial dan kekuasaan.
Identitas sosial sebagai teori tidaklah berangkat dari kekosongan lalu terbentuk begitu saja menjadi teori yang mengisi bidang psikologi sosial. Teori identitas sosial adalah evolusi teori yang keluar dari teori kategosisasi sosial. Teori kategorisasi sosial sendiri diperkenalkan oleh Tajfel tahun 1972. Teori identitas sosial adalah teori yang dikembangkangkan setelah Tajfel melihat kategorirasi yang dilakukan individu melekatkan juga nilai-nilai di dalamnya pada kelompoknya dalam menilai kelompok lain. Untuk membahas lebih dalam mengenai teori identitas sosial, ada baiknya dijelaskan dulu mengenai konsep kategori sosial.
Kategorisasi Sosial
kategorisasi sosial Terjadi ketika kita berpikir tentang seseorang baik diri kita atau orang lain sebagai anggota kelompok sosial yang berarti atau bermakna (dalam Stangor, 2004). Dalam hal ini kita melihat saya sebagai bagian kelompok A, misalnya, dan dia sebagai kelompok B. saya berada dalam kelompok ini karena memang sudah terlahir menjadi bagian kelompok yang saya anut sekarang bisa juga memang karena kelompok tersebut memang mendekati akan kriteria kepribadian saya.
kategori sosial ini bisa saja berdasarkan dari ciri-ciri fisik, asal dari instansi mana mereka berasal, jenis kelamin, umur, dan lain-lain yang sekiranya bisa membentuk kelompok sosial. Dalam hal kategori ini, kelompok bisa saja mempengaruhi karakteristik dari individu, namun individu juga bisa mempengaruhi kelompok (dalam Stangor, 2004).
Harus disadari juga, dalam kategorisasi sosial, kategori diri juga ikut dipertimabangkan. Ketika kita mengkategorikan seseorang belum itu menggambarkan secara keseluruhan keberadaan seseorang tersebut. Untuk itu, kategori sosial hanya melihat nilai umumnya saja dari suatu individu sebagai dari keloompok yang dia anut.
Kategorisasi Diri terjadi ketika seseorang berpikir terhadap dirinya (daripada berpikir tentang orang lain) sebagai anggota kelompok sosial. Kategorisasi diri melibatkan di dalamnya perbandingan antara kelompok yang mereka miliki (in-group) dan kelompok yang tidak mereka rasa memilikinya (out-group).
Tujuan dari kategori sosial merupakan bagian dasar dari persepsi manusia untuk mempersepsikan yang lain. Dengan adanya kategorisasi, orang lebih bisa mempersiapkan hal yang akan dia tampilkan. Jika saja datang undangan pernikahan dengan adat betawi tentu saja pakaian yang dikenakan untuk mengahadiri pesta pernikahan tersebut akan berbeda dengan pakaian ketika akan pergi menghadiri pesta ulang tahun remaja 17 tahun.
Pengaruh dari kategorisasi sosial tidak melulu memberikan pengaruh yang positif saja, malah mungkin cenderung negatif. Contohnyaa saja stereotip; keyakinan seseorang atau kelompok tentang karakteristik dari kelompok sosial atau anggota dari kelompok tersebut. Lalu prasangka; sikap negatif yang unjustifiable terhadap out-group, atau terhadap anggota dari kelompok tersebut. Kemudiandiskrimanasi; tingkah laku negatif yang unjusttifiable terhadap anggota di luar kelompoknya berdasarkan pandangan dari kelompok mereka.
Proses kategorisasi sosial juga memberikan kepada kita informasi yang membuat kita mengetahui kita ini sebagai bagian darimana sehingga kita pun dapat mengetahui dengan jelas. Saya ini suku apa ? saya suku minang, karena bapak dan ibu saya orang minang. Disamping itu, proses kategosisasi sosial memberikan kemudahan kognitif pada manusia. kehidupan ini banyak sekali yang harus diolah oleh otak/pikiran. Dengan mengkategorisasi, tentu saja manusia akan lebih dimudahkan untuk mengenal. Dalam pemebeberan tersebut, proses kategorisasi sosial sudah hampir menuju terhadap konsep identitas sosial sebagai teori.
Teori Identitas Sosial
Dalam teori identitas sosial, seorang individu tidaklah dianggap sebagai individu secara mutlak satu dalam kehidupannya. Individu merupakan bagian dari kelompok tertentu baik disadari maupun tidak disadari. Konsep identitas sosial adalah bagaimana seseorang itu secara sosial dapat didefinisikan (Verkuyten, 2005).
Dalam hal identitas, Identitas ituadayang terberi, tetapi adajugayang memang berasal dariproses pencarian. Identitas yang terberi cantohnya saja dalam hal identitas laki-laki dan perempuan. Identitas andi sebagai laki-laki adalah identitas yang sudah terberi sejak lahir, mau tidak mau dia harus menerima itu. Namun demikian, dengan kemajuan teknologi yangada, identitas yang terberipun bisa diganti dengan identitas yang kita inginkan, misalnya saja yang tadinya andi memiliki identitas laki-laki, namun dia memutuskan untuk merubah alat kelaminnya menjadi perempuan, sehingga identitas andi sekarang adalah perempuan. Penjelasan tersebut sekedar memberikan contoh saja kalau terkadang kitapun tak berhak memilih identitas kita sendiri. Karena manusia sebagai individu tidak bisa melepas keberadaannya dalam masyarakatmaka status identitas kita pun bisa saja datang darioranglain. Ini bisa timbul karena ketika identitas terlahir, lahir pulalah perbedaan yangjuga berupaya memberi identitas kepada orangdi luar dirinya.
Selain beruasaha untuk mengenal identitas sendiri, manusia pun berusaha untuk memberikan identitas pada oranglain. Terkadang malah seorang individu tidak memiliki keberhakan memilih identitas yang dirasa lebih dekat dengannya. jika adaoranglainyang mengklaim dirinya berasal dari kelompok kita, tetapi sifat yangada padanya berbeda, maka orangitu kita tafsirkan bukan berasal dari kelompok kita tetapi berasal dari kelompok lainyang sesuai dengan kategorinya.
Memang, sebuah identitas hadir karena manusia butuh untuk mengkategorisasikan sesuatu. Dengan begitu, identitas sosial juga melibatkan pula ketegori dan menetapkan seseorang ke dalam struktur sosial atau wilayah sosial tertentu yang besar dan lebih lama ketimbang situasi partikular lainnya.
Jelas saja kategorisasi dan penetapan terhadap posisi seseorang sangatlah dibutuhkan, kalau tidak, bagaimana dia bisa membedakan yang satu dengan yang lainnya. Ketika kategorisasi terbentuk, perbedaan tentunya tidak dapat dihindari (Tajfel, 1972). Identitas sosial menjadi relevan ketika satu dari kategori melibatkan juga satu diri yang ikut berpartisipasi terhadap dorongan pada diri lainyang berasal dari kelompok yang sama (Abrams & Hoggs, 1990). Misalnya saja dorongan semangat untuk atlit olahraga yang berasal dari daerah yang sama. Dorongan pemberian semangat tersebut terjadi karena sang atlit membela kelompok yang mereka miliki bersama.
Manusia bukanlah makhluk yang pasif, menerima begitu saja keberadaan dirinya dan tidak butuh pengenalan diri. Manusia itu adalah makhluk yang dapat mengenal dan memikirkan situasi yang ada, melakukan sesuatu, berefleksi, menegaskan, bereaksi, dan berkreasi. Namun demikian, manusia tidak serta merta memilih akan identitasnya berasalkan dari pemikirannya pribadi tanpa terkanan dari luar. Masyarakat pun memberikan andil akan identitasnya. Ini karena identitas berasal dari interaksi individu dengan masyarakat. Dengan interaksi itu dia dapat mengetahui identitas mana yang cocok untuk dirinya.
Normalnya, suatu identitas sosial biasanya lebih menghasilkan perasaan yang positif. Hal tersebut terjadi karena kita menggambarkan kelompok sendiri diidentifikasikan memiliki norma yang baik. Jika anda berada dalam universitas yang terbaik di Indonesia, serta menjadi bagian dari kelompok tersebut merupakan bagian dari keinginan anda juga, dan ternyata hal itu membuat diri anda nyaman karena anda memang senang menjadi bagian dari mereka (Branscome, Wann, Noel, & Coleman, 1993; Deaux, 1996; Ethier & Deaux, 1994; P. Oakes & Turner, 1980; Oakes, haslam, & Turner, 1994; M. Rubin & Hewstone, 1998; Tajfel, 1981, dalam Stangor, 2004).
Identitas sosial yang melekat pada seseorang merupakan identitas posistif yang ingin dipertahankan olehnya. Oleh karena itu, individu yang memiliki identitas sosial positif, maka baik wacana maupun tindakannya akan sejalan dengan norma kelompoknya. Dan, jika memang individu tersebut diidentifikasikan dalam suatu kelompok, maka wacana dan tindakannya harus sesuai dengan wacana dan tindakan kelompoknya.
Konsep identitas sosial sebenarnya berangkat dari asumsi umum:
1.Setiap individu selalu berusaha untuk merawat ataumeninggikan self-esteemnya: mereka berusaha untuk membentuk konsep diri yangpositif.
2.Kelompok atau kategori sosial dan anggota dari mereka berasosiasi terhadap konotasi nilai positif atau negatif. Karenanya, identitas sosial mungkin positif atau negatif tergantungevaluasi (yang mengacu pada konsensus sosial, bahkan pada lintas kelompok) kelompok tersebut yang memberikan kontribusi pada identitas sosial individu.
3.Evaluasi dari salah satu kelompok adalah berusaha mengdeterminasikan danjuga sebagai bahan acuan pada kelompok lain secara spesifik melalui perbandingan sosial dalam bentuk nilai atribut atau karakteristik (Tajfel, 1974, dalam Hogg & Abrams, 2000)
Dari asumsi di atas tersebut, beberapa relasi prinsip teori dapat menghasilkan:
1.Individu berusaha untuk mencapai atau merawat identitas sosial yang positif
2.Identitas sosial yang positif ada berdasarkan pada besarnya tingkat perbandingan favorit in-group-out-group; in-group pasti mempersepsikan dirinya secara positif berbeda dari out-group
3.ketika identitas sosial tidak memuaskan, individu akan berusaha keluar dari kelompok, lalu bergabung pada kelompok yang lebih posisitif atau membuat kelompok mereka lebih bersifat positif (Tajfel, ibid) .
Identitas sosial sebagai teori tidak bisa lepas dari keinginan individu untuk memperbandingkan dirinya serta kelompoknya dengan yanglain. Perbandingan sosial digambarkan oleh Festinger (1954) sebagai teori dimana bisa membimbing kita untuk membandingkandiri kita dengan yanglain, siapa yang serupa dengan kita dan siapa yang berbeda, siapa yang berada di atas dan siapa yang berada di bawah. Setidaknya ada tiga variabel yang mempengaruhi hubungan pembedaan antar kelompok dalam situasi sosial yang nyata (Tajfel, 1974; Turner, 1975; dalam Hogg & Abrams, 2000). Pertama, individu pasti memiliki internalisasi kelompok mereka sebagai konsep diri mereka: secara subjektif mereka pasti menidentifikasikan kelompok yang relevan. Hal ini tidak cukup darioranglain saja yang mengidentifikasikan seseorang kalau dari kelompok manadia berasal. Kedua, situasi sosial akan menciptakan perbandingan sosialyang memungkinkan terjadinya seleksi dan evaluasi atribut relasi yang relevan. Perbedaan kelompok pada tiap-tiap daerah tidak sama secara sikinifikan. Misalnya saja, di Amerika perbedaan kelompok lebih cenderung menonjol pada perbedaan warna kulit, tapi perbedaan warna kulit bukan sesuatu yang menonjol di Hongkong. Ketiga, in-group tidak membandingkan dirinya pada tiap proses kognitif yangada pada out-group:out-group pastinya dipersepsikan sebagai kelompok perbandingan yang relevan baik dalam kesamaan, kedekatan, dan secara situasional menonjol. Kemudian, Determinasi out-group dihasilkan sebagai perbandingan terhadap determinasi in-group.
Menurut Sarben & Allen (1968), identitas sosial juga berfungsi sebagai pengacu keberadaan posisi seseorang berada di mana dia. Berada di tingkatan mana kita berada, posisi seperti apa saja yang keberadaannya sama dengan kita dan mana juga yang berbeda. Teori identitas sosial melihat bahwa suatu identitas sosial selalumengklarifikasikan dirinya melalui perbandingan, tapi secara umumnya, perbandigannya adalah antara in-groups dan out-groups. In-groups biasanya secara stereotype positif sifatnya, selalu lebih baik dibandingkan out-groups.
Identitas sosial juga menghasilkan representasi sosial yang keluar dari individu-individu yang berkumpul serta memiliki pandangan dan emosi yang sama (Doise. 1998,).[11] Representasi sosial dapat didefinisikan sebagai prinsip hubungan simbolik yang terorganisasi. Mereka memperkenalkanletak individu dalam hubungannya dengan objek sosial secara siknifikan. Individu adalah objek yang melekat dalam jaringan relationship (Doise, ibid). Moscovici (1981) mengartikan sosial representasi sebagai kumpulan konsep, statements dan asal penjelasan dalam kehidupan sebagai bagian dari komunikasi inter-individual yang merupakan equivalent dalam kehidupan bermasyarakat, sebagai mitos dan sistem kepercayaan dalam masyarakat tradisional. Representasi sosial juga merupakan konsensus pemahaman yang timbul dari kekacauan diskusi dan komunikasi informal keseharian, sebagai keinginan individu untuk memahami dunia (Hogg & Abrams, 1988).
Representasi sosial dari tiap-tiap identitas adalah berbeda. Masing-masing identitas memiliki pandangannya dan pemahamannya terhadap dunia. Dari situ timbullah stereotipe, jika anda berasal dari kelompok tersebut maka sifat-sifat anda tidak jauh dari apa yangada dalam skema akan sifat-sifat kelompok anda. Sifat-sifat kelompok dimana individu berasal pastilah membawa sifat kelompoknya. Jika nelda darimedan maka sifat nelda mungkin saja tidak jauh dengan stereotipe yang terbentuk tentang orangmedan adalah seperti itu. Tentu saja dalam hal ini bias terhadap sifat individu tidak dapat dihindari.
Identitas sosial Bbrusaha untuk medefinisikan dan menegenal pemilahan dan penetapan. Setidaknya ada tiga komponen dasar bagi manusia untuk memilah dan menetap dari suatu identitas (Wenholt, dalam Verkueyten, 2005); pertama,komponen struktur sosial. dalam kehidupan sosial selalu ada klasifikasi sosial orangke dalam suatu kategori atau kelompok. Telah sama-sama dijelaskan bahwa kategosrisasi sosial adalah dasar berpijak bagi seseorang dalam proses identitas dan hubungan antar kelompok. orang bisa saja diklasifikasikan ke dalam kategori jenis kelamin, umur, etnik, ras, budaya, dll.
Yang kedua adalah komponen budaya, atau tingkah laku dan konsekuensi normatif yang diterima. Komponen budaya adalah kategori seseorang dalam prakteknya yang sudah berlangsung terus menerus. Kategorisasi sosial belumlah bisa memperkenalkan seseorang kepada identitas sosial. komponen kedua ini dibutuhkan untuk melihat bagaimana seseorang itu bertindak, apakah memang tindakan yang dilakukan sesuai juga dengan norma kelompoknya. Dan tentu saja tingkah laku dapat mereferensikan seseorang dari kelompok manadia berasal.
Lalu ketiga adalah definisi ontologis. Labeldari kategori sosial itu kuat bukan hanya berasal dari tingkah lakunya, tetapi juga berasal daricara anggota dari suatu kategori (bisa kelompok, etnik, dll)itu melihat. Komponen ketiga ini, definisi ontologi, mencoba mengungkapkan orang lewat nilai alamiah orang tersebut dikategorisasikan. Komponen ini pun berangkat dari pernyataan yang sangat mendasar bahwa memang itulah dia, dandia tidak bisa menyangkal karena identitas ini memang menceritakan sesuatu tentang dirinya, tentang seperti apa dirinya. Hal tersebut memang menceritakan seseorang seperti apa (Verkuyten, 2005: 44-47).
Ketiga komponen yang telah dijelaskan tersebut tidak terpisah dalam suatu hubungan. Bahkan mereka sangat dekat berhubungan. Hal ini malah merupakan kombinasi yang memberikan penjelasan identitas lebih dalam dan jelas.
Identitas Sosial & Identifikasi
Dengan adanya identitas kita memang menjadi tahu siapa kita dan siapa oranglainyangadadi depan kita, dimana posisi dia berasal, dan seperti apa dia seharusnya. Permasalahannya, suatu identitas individu itu, yang melekat pada dirinyatidaklah satu identitas, melainkan banyak identitas.
Selain orangIndonesia, seseorang juga bisa sebagai muslim, atau seorang ayah (Verkueyten, 2005:50). Hal ini tergantung dari hubungan keterikatan orang tersebut terhadap suatu identitas. Seorang individu yang memiliki keterikatan dengan istri, dengan anak, dengan pekerjaannya, dan dengan orang tuanya, maka individu tersebut setidaknya memiliki 4 identitas yangdia sandang, sebagai suami, sebagai ayah, sebagai pekerja, sebagai anak. (Stryker, 1968, 1980, dalam Smith-Lovin, 2002). Dalam keempat identitas tersebut, peran-peran yang dilakukan tentulah tidak sama.
Identifikasi dikatakan Verkuyten sebagai proses psikologi ketika identitas melibatkan diri ke dalam proses kontruksi sosial (Verkuyten, 2005). Dalam pemisahan ini, maka pertanyaan tentangkonsep identifikasi mudah untuk dipahami. Identifikasi itu mencoba untuk memahami identitas pada diri pribadi berada dalam identitas apa dia(Hall, 1996, dalam Verkuyten, 2005). Mengidentifikasikan pada diri individu adalah awal darinya untuk mendapatkan identitas. Identifikasi tersebut tentunya terjadi karena identitas di tengah-tengah kehidupan manusia ini hadir lebih dari satu. Kalau saja identitas manusia itu hanya satu, tentulah tidak diperlukan bagi manusia untuk mengidentifikasikan diri.
Mengidentifikasikan identitas mungkin akan sedikit mudah jika masyarakat yang ada homogen sifatnya, bukan heterogen. Karakteristik masyrakat yang homogen biasanya hadir pada masyarakat pedesaan. Pada masyarakat pedesaan, pembagian peran yang diberikan terkesan begitu jelas, seperti petani, atau kepala desa, buat mereka tidak ada pekerjaan lain selain bertani, atau sebagai kepala desa. Dengan begitu,Mengidentifikasikan identitas bagi masyarakat pedesaan berarti cenderung lebih mudah, karena karakteristiknya homogen (Giddens, 1991).[12]
Pertanyaan seperti siapa aku pada masyarakat pedesaan cukuplah mudah untuk dijawab. Hal tersebut terjadi karena pembagian identitas pada masyarakat pedesaan sangat jelas sekali dan etnik yang adapun tidak bercampur aduk dengan etnik yang lainnya. Pencarian aku sebagai identitas masih mudah karena pilihan-pilihan yang ada tidak begitu banyak dan lebih menetap sifatnya.Disamping itu, landasan pemegang kebijaksanaan masih jelas patokannya yaitu pada norma masyarakat. Peran dalam Masyarakat pedesaan juga biasanya kurang lebih tetap dan bahkan seringkali dilanjutkan secara turun temurun. Dalam masyarakat pedesaan, identitas diri seseorang hampir sama dengan identitas sosialnya.
Mengidentifikasikan identitas akan cukup sulit ketika kita berhadapan dengan struktur masyarakat perkotaan, dimanadi situ terjadi banyak interaksi dalam masyarakat yang lebih multikultural sifatnya. Tidak jarang kita mendengar seseorang berasal dari keturunan multi-etnik, seperti keturunan Batak dengan Minang, atau Jawa dengan Manado, bahkan adayangdari neneknya memang sudah berasal dari etnik yang berbeda sehingga campuran etniknya bisa dari Minang, Batak, Jawa, dan Manado bercampur dalam satu individu. Tak ayal lagi, keberadaan yang seperti ituakan lebih memicu terjadinya krisis identitas.
Krisis identitas yang terjadi bisa pula krena akibat dari perubahan sosial yang cepat dan membawa banyak perubahan dalam tatanan sosial yang ada tanpa memberi cukup waktu proses penyesuaian diri. Banyak orang-orang mengalami keraguan, kebingungan dan kecemasan tentang situasi yang sedang dihadapi tentang masa depan mereka. Akibat perubahan sosial yang besar, identitas kelompok berdasarkan suku atau kelompok etnik, agama, gender, daerah asal, kebangsaan, ideologi, partai politik, kelompok profesi, mereka dapat mengalami pergeseran bentuk dan peran sosialnya yang signifikan, sehingga perlu redefinisi atau reposisi identitas dirinya sebagai kelompok. Pada akhirnya mereka mengalami kesulitan mana kira-kira identitasnya yang utama atau yang lebih kuat.
Kuatnya Rasa memiliki kelompok setiap individu tentunya berbeda-beda, ada yang meletakan agama sebagai posisi paling atas yang harus didahului, ada juga yang menetapkan etnik di atas segala-galanya. Suatu individu akan berusaha mendekatkan dirinya kepada karakter kelompok mana dia merasa lebih memiliki di tengah-tengah identitas diri yang banyak (Campbel, 1958; Hamilton & Sherman, 1996; Lickel et al., 2000: dalam Stangor, 2004). Akan tetapi, memang terkadang dalam pemilihan tersebut cukup sulit sehingga menimbulkan konflik dalam diri sendiri. Cenderung seseorang akan mengidentifikasikan identitasnya yang bisa memberikan nilai positif padanya.
Krisis identitas juga bisa terjadi karena identitas menonjol yang disandangnya memberikan nilai yang negatif buatnya. Tak jarang kita mendengar keinginan orang berkulit hitam yang tinggal di Amerika hendak mengganti kulitnya menjadi warnah putih karena penghinaan yang selalu diberikan kepada ras mereka.
Dalam dunia nyata, kebanyakan dari individu pun biasanya memiliki keanggotaan kelompok yang lebih dari satu. Hal tersebut juga memberikan pengaruh pada bias terhadap kategorisasi sosial dan in-group. Jika ada satu orang yang menjadi pemimpin pada dua kelompok yang berbeda tentu akan sulit menilai sifat dia secara siginikan lebih dekat kemana. Saat ini, kajian tentang multi-identitas merupaan kajian yang hangat dalam bidang penelitian psikologi sosial terhadap identitas. Ini terjadi karena kebanyakan dari para peneliti tentang identifikasi sosial sudah setuju kalau tiap orang memiliki identitas yang banyak/multi ( e. g., Stryker & Statham, 1985; tajfel, 1978; for review, see deaux, 1996; dalam Brewer, 2002).
Memiliki identitas sosial yang banyak memungkinkan timbulnya kombinasi pada tiap identitas tersebut. Ini terjadi karena tiap identitas sosial itu tidak bebas, melainkan berhubungan dekat pada tiap-tiapnya. Terkadang isu ras juga bersangkut paut dengan suatu bangsa atau warna kulit, bahkan gender dan agama (Miles, 1989, dalam Verkuyten, 2005). Seperti misalnya perjadi konflik antara suku minang dengan suku batak, pertikaian tersebut bisa saja berawal dari permasalahan etnik yang kemudian berimbas menjadi isu pertikaian agama karena orang batak itu Nasrani dan orang Minang itu Muslim.
Brewer (2002) melihat, walaupun tiap individu memiliki identitas lebih dari satu, menurutnya ada yang rendah sifatnya tetapi ada juga yang tinggi sifat kekompleksitasan identitasnya. Individu dengan kompleksitas identitas sosial yang rendah cenderung akan lebih sering bertemu dan berinteraksi pada kelompoknya. Identitas tersebut membuat jarak antara individu dan kelompok sulit dipisahkan. Kompleksitas sosial yang rendah adalah identitas yang secara subjektif lebih melekat pada satu representasi kelompok. Individu dengan kompleksitas identitas sosial yang tinggi dapat melihat perbedaan dirinya dengan kelompoknya. Dari merekatercipta juga jarak serta adanya pemisahan antara dirinya sejati dengan dirinya sebagai anggota kelompok.
Kompleksitas sosial yang tinggi adalah individu yang secara subjektif cukup sulit diidentifikasikan dia merupakan representasi dari kelompok mana. Lebih spesifik lagi, ketelibatan pemahaman yang komplek dapat dilihat dari apa maksud orang kalau saya adalah kelompok “A” dan “B”. Padahal setiap kelompok memiliki ciri khas dan nilai yang berbeda. Apalagi kalau individu tersebut merupakan ketua dari kedua kelompok yang dia sandang.
Individu yang lebih Sering bertemu, berinteraksi, dengan kelompok yang itu-itu saja akan lebih membuat Individu tersebut merasa telah menyatu dengan kelompoknya. Individu yang demikian menurut Brewer akan lebih berelasi negatif terhadap inklusifitas in-group dan toleransi terhadap out-group, dia akan bersifat intoleran pada kelompk yang dianggapnya berbeda. Tetapi Individu yang rendah tingkat kompleksitas sosialnya akan lebih tidak toleran dan menerima out-groups secara umum dibandingkan dengan individu yang tinggi tingkat kompleksitas sosialnya. Nilai positif kelompok cenderung akan lebih tinggi pada individu yang rendah kompleksitas sosialnya.
Identifikasi Identitas Terhadap Rasa
Problem identitas sosial yang komplek akan berpengaruh sekali terhadap idetifikasi diri, berada pada seperti apa diri individu tersebut. Ketika sudah memutuskan identitas yang dipilih, bukan berarti identitas-identitas lainnya dinafikan dan tidak diakui.
Hal ini terjadi pada penelitiannya Inga jasinskaja-Lahti & Kamerla Liebkind (1999). Mereka meneliti para Imigran Rusia yang tinggal di Finladia. Penelitian menunjukan ternyata kebanyakan dari mereka tetap mengidentifikasikan identitas diri mereka sebagai orang Rusia. Tetapi,Walaupun mereka mengidentifikasikan diri mereka sebagai Rusia, mereka tetap memiliki pandangan positif tentang Finlandia sebagai wilayah yang dia huni sekarang. Pandangan positif tersebut bermacam-macam, ada yang tetap begitu bangga menjadi Rusia, ada pula yang mengatakan senang menjadi warga Finlandia, adapula yang mengatakan senang menjadi bagian dari budaya Finlandia. Respon tersebut tidak lepas juga dari penerimaan orang Finlandia asli terhadap para pendatang, ditambah dengan pergaulan para imigran.
Pada satu titik, suatu budaya yang mengalami perjumpaan antar budaya sulit untuk dapat menghindari bentuk diri mereka ber-asimilasi antar karakter kedua budaya. Walaupun demikian, jika kita menjelaskan penjabaran tentang indentitas dalam suatu budaya, membandingkan identitas sebenarnya tidak bisa juga dipahami dengan merujuk pada etnik dia berasal lantas kita juga membandingkan etnik seseorang itu berasal. Salah satu sisi, mungkin kita memandang identitas etnik kita sebagai identifikasi yang paling tinggi tingkatannya dan sisi lain mungkin saja orang lain mengidntifikasikan identitas etniknya berada di bawah identitas keagamaannya.
Untuk ukuran rasa memiliki identitas dan persepsi pada masyarakat saat ini, tingkatan identifikasi etnik sulit sekali untuk dicari siknifikansinya (Jasinskaja-Lahti & Liebkind, 1999). Pada masyarakat perkotaan misalnya saja, di sana berkumpul berbagai masyarakat dari berbagai etnik, agama, kepentingan dan kebiasaan. Ada pendatang yang sudah lama tinggal di sana, ada juga yang baru saja tiba. Tentunya mereka tidak langsung begitu saja berhubungan dan berkomunikasi layaknya seperti kebiasaan mereka dahulu, pastilah ada perubahan. Ini terjadi karena mereka berusaha untuk menyesuaikan diri dengan keadaannya sekarang. Dalam menjalani dunia yang baru tentunya akan ada proses penyesuaian diri dahulu.
Bisa jadi, setelah lama berada di tempat barunya kebingungan akan identitasnya timbul, hal tersebut terjadi karena mereka bingung mengidentifikasikan diri mereka sebagai identitas lama mereka atau identitas baru mereka, di mana mereka kini berdomisili.
Ketika hendak membandingkan identitas satu dengan yang lainnya, kita tidak bisa juga membandingkannya lewat satu kategori yang sama saja. Kita tidak bisa lagi hanya membandingkan tingkah laku identitas etnik ini, misalnya dengan tingkah laku identitas etnik lainnya. Sebaiknya, langkah awal yang ditempuh ketika ingin membandingkan suatu identitas, kita menguji tingkat identifikasi identitas orang tersebut berada pada posisi mana dia.
Misalnya saja kita ingin melakukan perbandingan identitasantara etnik Rusia yang tinggal di Amerika dengan orang Amerika itu sendiri. Di sini kita tidak boleh gegabah dahulu, karena kalau seandainya yang kita orang Rusia yang kita teliti itu beraga Yahudi, maka cerita penelitiannya akan lain. Karena apa, karena seorang yang berasal dari Rusia yang beragama yahudi, lebih senang mengidentifikasikan diri mereka sebagai yahudi saja (Persky & Birman, 2005). Dengan begitu Pola perbandingan identitas etnik tidak bisa diakukan buat Yahudi keturunan Rusia.
Jika disimak kembali melalui latar belakang kehidupan Rusia mungkin bisa terungkap kenapa ada pemahaman identitas ke-Yahudian dan Ke-Rusiaan. Mereka melihat pilihan mereka sebagai yahudi itu lebih tepat ketimbang sebagai Rusia karena keyakinan mereka berbeda dengan Uni Soviet yang ateis. Di Amerika Serikat pun, menjadi Rusia biasanya dihubungkan dengan bahasa dan budaya, dan yahudi dengan ke originalitas etnik dan agama.
Pada akhirnya, penelitian yang dilakukan oleh Persky & Birman dapat menunjukan kalau identitas akan etnik tidak bisa hanya sekedar menunjukan dari mana dia berasal, sehingga asal etnik hanya bisa dibandingkan asal etnik pula. Kenyataan, ternyata agama juga bisa dijadikan sebagai keberasalan bahkan menjadi komponen yang paling menonjol ketimbang budaya dia berasal. Ini tergantung dari identitas apa yang dianggap palig berarti bagi setiap individu.
Penutup
Identitas memang diperlukan sebagai pembeda antara aku dan dia, aku dan mereka. Meskipun menidentifikasi suatu identitas memang tidak selalu mudah, terkadang kita pun ragu sebenarnya kita lebih memilih kelompok ini atau itu. Hasil dari ientifikasi kita tentang identitas pun tidak jarang menimbullkan konflik antar kelompok, bahkan pengaruh terbesar dari identifikasi identitas sosial adalah menciptakan jarak antara in-group dan out-group. Hal tersebut bukan berarti tidak adanya identitas lebih baik ketimbang adanya identitas. Karena dengan tidak adanya identitas, berarti tidak pula terjadi jarak dan konflik.
Tidak adanya identitas bukan malah akan mempermudah kita. Bayangkan saja jika seluruh manusia yang hidup, mereka semua tidak memiliki identitas, bagaimana kita bisa membedakannya si anu dengan si fulan. Bahkan jika kita tidak tahu siapa diri kita, bagaimana kita akan membentuk pandangan hidup.
Dalam masyarakat yang multi-etnik, multi-kultural, dan berkumpul di sana berbagai macam kelompok memang akan menimbulkan identitas sosial yang komplek sifatnya. Terkadang identifikasi kita sebagai guru terbawa pula pada identifikasi kita sebagai orang tua. Meskipun begitu, dengan adanya identitas-identitas, secara tidak langsung akan mengajarkan diri kita lebih dewasa terhadap pebedaan. Seperti apa yang telah dijelaskan oleh Brewer (2002), identitas yang tinggi keberagaman tinggi pada seseorang biasanya akan lebih bersikap toleran terhadap kelompok lain.
Pengaruh pencarian identitas selain positif, tentunya pengaruh negatif yang timbul tidak dapat dihindari, seperti terjadinya konflik. Pencarian Identitas yang pada akhirnya menimbulkan konflik sebenarnya lahir dari mereka yang belum bisa menyadari suatu perbedaan (Moscovici). Suara bayi yang dikeluarkan pada saat dia keluar dari rahim ibunya adalah sama suaranya. Pengalaman, tempat berinteraksi, struktur budaya, polah asuh lah yang membuat suara-suara mereka menjadi berbeda (Sarwono, 1999).
Rasa dari warna sebuah perbedaan itu tergantung dari diri manusia itu menyikapinya. Jika jiwa-jiwa yang hadir pada diri manusia tersebut intolerir, maka rasa yang keluar terhadap suatu perbedaan itu adalah bersifat intolerir. Seandainya yang keluar dari jiwa-jiwa mereka adalah bersifat tolerir, maka rasa yang keluar terhadap suatu perbedaan mereka tanggapi dengan penuh toleransi. Seandainya saja rasa sifat keterbukaan dan toleransi di ajarkan semenjak kecil pada tiap-tiap manusia, maka tidak menutup kemungkinan suatu perbedaan sebagai pemicu konflik akan berubah menjadi pemicu perdamaian.
____________________
[1] Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, Yogya: Kanisius, 2000
[2] K. Berten, Filasafat Barat Kontemporer; Inggris & Jerman, Jakarta: Gramedia, 2001
[3] Jean Paul-sartre, Being and Nothingness, terj. Hazel E. Barnes, Citadel press, 1956
[4] Manuell Castel, Power of Identity, London: Blackwell, 2001
[5] George Boeree, Personality Theories, terj. Inyiak Ridwan Muzir, Yogya: Primasophie, 2004
[6] Erik H. Erikson, Identitas Dan Siklus Hidup manusia, terj. Agus Cremers, jakarta: Gramedia, 1989
[7] David cavallaro, Critical and Cultural Theory, terj. Laily Rahmawati, Yogya: Niagara, 2004
[8] Marck Bracher, jacques Laqan, Diskursus, dan Perubahan Sosial, terj. Gunawan Admiranto, Yogya: jalasutra
[9] Dalam penulisan biodata Tajfel, penulis merujuka dari Steven Reicher, University of St-Andrews, Scotland, lalu S. Carorline Purkhardt, Transforming Social representations, London & Newyork, 1993
[10]Michael A. Hogg, Dominic Abrams, SocialIdentification, LondonandNew York: Routledge, 1988


.

0 komentar:

Posting Komentar