“To know who you are is to be oriented in moral space,
as pace in which questionarise about what is good or bad,
what is worth doing and what is not,
what is meaning and importance for you,
and what is trivial and secondary.”(Taylor)
Identitas Sebagai Pengantar
Manusia
adalah mahkluk yang bertanya akan dirinya. Mahkluk yang harus mencari identitas
dirinya. Mahkluk dengan kesadaran di manakah seharusnya dia berada. Keadaan
tersebut tidak terjadi pada mahkluk-mahkluk lainnya, hewan, tumbuhan, dan
lingkungan sekitarnya.
Aristoteles
menyebut manusia sebagai hewan yang berpikir. Ketika manusia berpikir, pada
saat itu manusia menyadari akan keberadaannya. I think, there for I am,
demikian Descartes menyebutnya.[1] Karena manusia adalah
hewan yang berpikir, maka yang menyadari keberadaan sesuatu yang lain dan yang
menyadari sesuatu yang lain itu ada adalah manusia bukan yang lain tersebut.
Berpikir
adalah proses akan lahirnya kesadaran. Kesadaran berarti sadar akan sesuatu (Edmund
Husserl).[2] Kesadaran akan sesuatu maksudnya adalah
ada diri selain diri kita yang berada di luar sana atau di luar diri, adanya
subjek dan objek. kesadaran menimbulkan juga pemilahan, keraguan, dan pencarian
makna.
Berbeda
dengan yang lainnya (the other), kesadaran menyebabkan manusia selalu
ingin bertanya. Dia selalu tidak puas akan dirinya (Sartre),[3]
selalu mencari dan berubah tidak pernah menetap. Bahkan dia pun mempertanyakan
ke-akuannya. Aku ini siapa ? dia itu siapa ? berbedakah aku dengannya ? kenapa
aku ini ada ?
Ketika
manusia bertanya akan dirinya, disitulah sebenarnya manusia telah berupaya
membedakan dirinya dengan yang lain, atau kita dengan mereka. Dalam perbedaan
tersebut timbul pula identitas aku, mereka, dan yang lain.[4]Misal
saja jika aku bertanya aku siapa, pastilah aku juga akan memposisikan aku
dimana dan orang lain itu dimana. Misalnya nama ku Idham, Idham orang mana?
Idham orang Padang, dan dia siapa? Dia Nelda, dan Nelda orang Medan. Nelda
seperti ini dan aku seperti ini.
Identitas
umumnya dimengerti sebagai suatu kesadaran akan kesatuan dan kesinambungan
pribadi, suatu kesatuan unik yang memelihara kesinambungan arti masa lampaunya
sendiri bagi diri sendiri dan orang lain; kesatuan dan kesinambungan yang
mengintegrasikan semua gambaran diri, baik yang diterima dari orang lain maupun
yang diimajinasikan sendiri tentang apa dan siapa dirinya serta apa yang dapat
dibuatnya dalam hubungan dengan diri sendiri dan orang lain.
Identitas
diri seseorang juga dapat dipahami sebagai keseluruhan ciri-ciri fisik,
disposisi yang dianut dan diyakininya serta daya-daya kemampuan yang
dimilikinya. Kesemuanya merupakan kekhasan yang membedakan orang tersebut dari
orang lain dan sekaligus merupakan integrasi tahap-tahap perkembangan yang
telah dilalui sebelumnya.
Buat
Fromm (1947), Identitas diri dapat dibedakan tetapi tidak dapat dipisahkan dari
identitas sosial seseorang dalam konteks komunitasnya. Selain mahkluk
individual yang membangun identitas dirinya berdasarkan konsep atau gambaran
dan cita-cita diri ideal yang secara sadar dan bebas dipilih, manusia sekaligus
juga mahkluk sosial yang dalam membangun identitas dirinya tidak dapat
melepaskan diri dari norma yang mengikat semua warga masyarakat tempat ia hidup
dan peran sosial yang diembannya dalam masyarakat tersebut.
Masyarakat
begitu dekat dengan diri kita, sehingga kita sering lupa bahwa masyarakat itu
sendiri berisi begitu banyak cara dalam mengadapi kehidupan (Fromm).[5]
Kita sering menganggap cara kita memperlakukan sesuatu adalah satu-satunya cara
yang tersedia. Kita harus belajar bahwa semua itu telah menjadi alam bawah
sadar bagi kita semua, atau lebih tepatnya alam bawah sadar sosial. Jarang
sekali kita menganggap tindakan kita bukan berasal dari kehendak bebas kita
sendiri. Sebaliknya, kita hanya mengikuti tatanan yang sudah ada dan tidak
pernah kita pertanyakan lebih lanjut.
Erikson
(1989)[6] membedakan dua macam identitas, yakni identitas pribadi dan
identitas ego. Identitas pribadi seseorang berpangkal pada pengalaman lansung
bahwa selama perjalanan waktu yang telah lewat, kendati mengalami berbagai
perubahan, ia tetap tinggal sebagai pribadi yang sama. Identitas pribadi baru
dapat disebut identitas Ego kalau identitas itu disertai dengan kualitas eksistensial
sebagai subyek yang otonom yang mampu menyelesaikan konflik-konflik di dalam
batinnya sendiri serta masyarakatnya. Menurut erikson, proses pembentukan
identitas berlangsung secara pelan-pelan dan pada awalnya terjadi secara tak
sadar dalam inti diri individu. Proses pembentukan identitas yang
berangsur-angsur itu sebenarnya sudah dimulai pada periode pertama, yakni
periode kepercayaan dasar lawan kecurigaan dasar.
JacquesLacan,
psikoanalis asal Prancis, berpendapat bahwa awal pengenalan identitas diri
hadir ketikaseorang mengalami apa yang disebut dengan fase cermin (Lacan,
1977).[7] Sebelum masuk ketahap tersebut, balita belum bisa mengenal
pemisahan antara diri sendiri danoranglain, bayi dan ibunya, di dalam dandi
luar, laki-laki dan perempuan. Fase cermin berlangsung dalam bentuk
keterbelahan antara aku yang melihat dan aku yang dilihat. Di sini subjek
diidentifikasikan dengan sesuatu yanglain dengan dirinya sendiri (bayangan pada
cermin), dan citra subjek itu sendiri yang terbangaun karenanya bergantung pada
keterasingan, pada pemindahan diri kepada yang lain.[8] Pada tahap ini, citra diri
membentuk pengenalan diri yang keliru. Subjek menemukan bayangannya yang
memikat sepanjang ia menghasilkan sebuah gambar diri yang koheren, ketika tubuh
anak yang sesungguhnya benar-benar suatu dorongan-dorongan yang sembrawut.
Kesembrawutan
pada fase cermin tersebut akan menjadi lebih teratur ketika sang subjek mulai
memasuki tahap bahasa dan tahap hukum. Keterbelahan tahapan ini berbentuk aku
yang berbicara dan aku yang dibicarakan. Dalam memasuki tahap bahasa kita
menjadi akrab dengan karakter-karakter dalam sebuah kisah, yaitu kisah narasi
dimana bahasa dengan tidak peduli terus bercerita tanpa mempedulikan aspirasi
dan hasrat individu. Buat lacan, identitas diri atau subjektifitas adalah
produk bahasa dan tidak ada sesuatu apa pundi luar bahasa.
Karena
demikian pentingnya identitas, maka dalam perkembangan teori psikologi sosial,
teori tentang identitas pada kelanjutannya menjadi sebuah kajian tersendiri.
Teori tersebut dinamakan dengan teori identitas sosial yang dibawa dan
diperkenalkan pertama kali oleh Henri Tajfel dan John Turner.
Henri Tajfel Sebagai Tokoh Teori Identitas Sosial
Henri Tajfel adalah keturunan Yahudi Polandia yang lahir
diWloclawek pada 22 Juni 1919. Akan tetapi Tajfel sudah bersifat agnostik sejak
mudanya. Dia sama sekali tidak menganut secara penuh agamayang dianutnya.
Saat perang dunia kedua pecah, Tajfel yang sedang belajar
ilmu kimia di Universitas Sorbone, Prancis, Kemudian diangkat menjadi tentara
Francis. Pada masa peperangan, Tajfel tertangkap oleh tentara Jerman pada Juni
1940, dan menghabiskan masa waktu lima tahun sebagai tahanan perang
diAustriadan Jerman.
Beruntung buat Tajfel, oleh tentara Jerman yang ditugaskan
untuk mewancarai dan mengamatinya, pada pengamatan tentara tersebut tidak
ditemukan ciri kalau dia adalah Yahudi. Jadi, Tajfel selamat dari pengiriman
dirinya ke kamp-kamp konsentrasi Nazi buat para Yahudi. Meskipun begitu, ketika
dia kembali ke rumah, banyak diantara teman dan keluarganya telah mati.
Pengalaman inilah yang membentuk karirnya dalam tiga jalan. Pertama, dia
mengembangkan konsep prejudice yang bersifat menetap; kedua,
mengakui kalau nasibnya terikat kuat sepenuhnya dengan identitas kelompoknya; ketiga,
dia memahami kalau Holocoust bukan hasil dari psikologi tapi dari operasi
proses psikologi dimana konsep yang ada sebelumnya sudah terberi dalam konteks
sosial dan politiknya.
Setelah lepas dari kemiliteran, Tajfel berkerja dibeberapa
organisasi, termasuk pada the UN Refugee Organisation untuk membantu
membangun kembali hidup anak-anak yatim dan orang-orang yang menjadi pengungsi
akibat perang. Pekerjaan tersebut membuat dia sering pergi ke Paris, Brussels
dan Jerman Barat.
Tahun 1946 Tajfel mulai tertarik untuk belajar psikologi.
Keinginannya tersebut terbentuk dari pengalaman hidup yang dijalaninya selama
ini. Barulah pada akhir 1950, Tajfel mendapat kesempatan belajar psikologi di
Ingris, tepatnya di Birckbeck. Bekerja seharian dan belajar pada malam hari, Tajfel
pun meraih kelulusan predikat terbaik pada Universitas London, sebelum dia
menjadi asisten peneliti di Universitas Durham tahun 1955
Awal dari pekerjaan Tajfel dibidang psikologi adalah bidang
psikologi sosial yang merupakan bidang baru dalam bidang psikologi. Dia
berkonsentrasi pada hubungan antara motivasi dan persepsi, hal persepsi yang
ditekankan adalah persepsi yang berlebihan. Dalam bidang ini Tajfel menemukan
tiga konsep baru tentang persepsi. Pertama, bahwa asosiasi nilai dengan
objek fisik tidak selalu memberikan persepsi yang berlebihan dalam
perbandingannya terhahadap stimulus yang netral atau terhadap ukuran yang
obejekjtif . kedua, distorsi dalam persepsi tidak selalu berasal dari
satu arah. Ketiga, Tajfel membedakan atara penilaian persepsi
interserial dengan intraserial. Dalam hal ini, Tajfel membuat permasalahan
penilaian tentang persepsi menjadi lebih mudah dipahami, bahwa penilaian
haruslah dilihat dulu dalam perbandingannya antara stimulus ketimbang hubngan
lansung antara satu stimulus dan responnya saja (dalam, Purkhardt, 1993:140).
Setelah melakukan eksperimen yang dinamakan eksperimen
kelompok minimal (minimal group experiment)”, Tajfel pun menjadi social
psychologis yang cukup terkenal. Penelitian tersebut berusaha
mendeterminasikan tentang prasangka kolektif, yang memperlihatkan kategorisasi
sebagai pemicu terciptanya perbedaan antar kelompok.
Prase-prase pemikiran Tajfel tidaklah konstan, dia juga
mengalami perubahan fokus pada penelitiannya. Walaupun demikian,bentuk
inteletualitas Tajfel tetap dalam bidang psikologi Sosial. Dia hanya mengalami
beberapa perubahan konsentarsinya antara awal kerjanya dengan pekerjaan
selanjutnya. Pada prase pertama dia membangun tentang perspektif kognitif dalam
permasalahan persepsi sosial di lingkungan fisik. Lalu yang kedua dia membangun
peran nilai dan kategorisasi dalam penilaian persepsi antara lingkungan sosial
dan fisik. Kemudian yang ketiga,dia berkonsentrasi secara eksplisit pada
fenomena prasangka dalam konteks hubungan antar kelompok.
Ditahun1968, Tajfel menjadi Profesor Psikologi Sosial dari
Departemen Psikologi pada Universitas Bristol, dan dia tetap di sana sampai
kematian menjemputnya pada tahun 1982. di Universitas Bristol Tajfel bekerja
sama dengan peneliti-peneliti muda seperti Michael Billing, Dick Eisier,
Jonathan Turner dan Glyns Breakwell. Pada 1974 Tajfel berhasil menembuskan
proposal ke Social Science Research Council (SSRC) mengenai identitas sosial,
kategorisasi sosial, dan perbandingan sosial dalam tingkah laku hubungan antar kelompok.
Nantinya, bersama Turner, Tajfel mempopuerkan teori identitas sosial.[9]
Identitas
Sosial: Bhinneka Tunggal Ika
Bhinneka Tunggal Ika adalah motto atau semboyan Indonesia.
Kata tersebut diambil dari bahasa Jawa Kuna dan diterjemahkan sebagai
“Berbeda-beda tetapi tetap satu”. Kalimat ini merupakan kutipan dari sebuah kakawin
Jawa Kuno yaitu kakawin Sutasoma, karangan Mpu Tantular pada masa kerajaan
Majapahit sekitar abad ke-14. Kakawin ini istimewa karena mengajarkan toleransi
antara umat Hindu Siwa dengan umat Buddha. Kata-kata Bhinneka Tunggal Ika juga
terdapat pada lambang Burung Garuda, Dimana pada kaki Burung Garuda mencengkram
sebuah pita yang bertuliskan Bhinneka Tunggal Ika.
Masyrakat Indonesia terdiri dari
lebih 500 suku dengan 250 lebih macam bahasa daerah, yang mana semua
dipersatukan dengan ikrar yang telah menjadi dasar persatuan bangsa ini, yaitu
sumpah permuda yang berisi; satu nusa, satu bangsa dan satu bahasa. Ikrar atau
janji tersebut telah diucapkan oleh seluruh bangsa Indonesia dengan perwakilan
para pemuda dari berbagai suku dan golongan pada tanggal 28 oktober 1928, saat
Indonesia masih berada dibawah penjajahan Imperialis Belanda. Hingga pada saat
proklamasi dibacakan maka ditetapkanlah Pancasila dan UUD 45 sebagai dasar
Negara.
Sebuah bangsa multietnik memiliki
beragam masalah seperti bangsa lainnya, namun masalah besar negara multietnik
adalah sulitnya untuk mengintegrasikan keseluruhan masyarakat kedalam satu
kerangka persatuan yang utuh dan kuat. Dengan adanya semboyan dan konsep
Bhinneka Tunggal Ika pada dasar kehidupan masyarakat Indonesia maka seharusnya
persatuan dan kesatuan akan tetap terjaga dan menghambat terjadinya segala
macam konflik yang didasari kepentingan golongan atau kelompok.
Ada beberapa interpretasi untuk
menjadikan Bhinneka Tunggal Ika lebih membumi dalam pribadi masyarakat yang
heterogen ini, salah satunya yaitu dengan identitas sosial mutual
differentiation model dari Brewer & Gaertner (2003) yang diterapkan
pada diri setiap Individu dalam bangsa ini. Mutual differentiation model
adalah suatu model dimana seseorang atau kelompok tertentu yang mempertahankan
identitas asal (kesukuan atau daerah) namun secara bersamaan kesemua kelompok
tersebut juga memiliki suatu tujuan bersama yang pada akhirnya mempersatukan
mereka semua.
Model ini akan memunculkan identitas
ganda yang bersifat hirarkis, dengan artian seseorang tidak akan melepaskan
identitas asalnya dan memiliki suatu identitas bersama yang lebih tinggi
nilainya. Sebagai contoh seseorang tidak melupakan asalnya sebagai orang
Minang, Batak, China atau Jawa, dll, namun memiliki suatu kesatuan bersama yang
lebih diutamakan yaitu sebagai rakyat Indonesia. Dengan demikian identitas
kesukuan atau daerah lebih rendah nilai dan keutamaannya daripada identitas
nasional, Sesuai dengan makna Bhinneka Tunggal Ika itu sendiri, dimana
persatuan adalah harga mati.
Pada masa kepemimpinan Ir.Soekarno,
beliau pernah melakukan usaha mempersatukan seluruh bangsa dengan jargon
“Ganyang Malaysia”, “Amerika kita Seterika”, “Jepang kita Panggang”, dan
“Inggris kita Linggis” dimana pada kesempatan tersebut beliau menebar
propaganda bahwa setiap warga negara Indonesia memiliki musuh bersama yaitu
Malaysia, Jepang, Amerika dan Inggris. Dengan adanya Ultimate Goal maka
persatuan akan semakin kuat dikarenakan tumbuhnya perasaan senasib-sepenanggungan
dalam masyarakat sebangsa dan setanah air. Perasaan, semangat dan tujuan
seperti itulah yang akan membuat masyarakat heterogen menjadi bersatu,
membentuk suatu identitas sosial nasional yang lebih kuat daripada kepentingan
kelompok, golongan dan pribadi.
Dengan mengakui perbedaan dan
menghormati perbedaan itu sendiri ditambah kuatnya mempertahankan ikrar satu
nusa, satu bangsa dan satu bahasa merupakan suatu model identitas sosial yang
sangat baik dalam bangsa ini. Sehingga terjalin kerjasama antar semua golongan
tanpa pernah menyinggung perbedaan karena memiliki suatu tujuan utama dan
kebanggaan bersama atas persatuan bangsa.
Toleransi dari setiap kategori
kelompok adalah kata kunci dalam perwujudan model ini, dimana Toleransi dalam konteks kehidupan berbangsa adalah
sikap menghargai satu sama lain, melarang adanya dikriminasi dan ketidak-adilan
dari kelompok mayoritas terhadap minoritas, baik secara suku, budaya dan agama
dengan tujuan untuk mewujudkan cita-cita luhur bersama.
Mungkin tidak semudah itu untuk
“menyuntikkan” sebuah ide persatuan kedalam suatu masyarakat yang bersifat
heterogen dan plural secara horizontal, apalagi Indonesia secara vertikal
sekurang-kurangnya memiliki lima lapisan masyarakat yaitu, ultra modern,
modern, urban, tradisional, dan masyarakat terbelakang (bahkan di Papua masih
ada masyarakat primitif, belum berpakaian). Tidak meratanya pembangunan ini
bukan hanya tanggung jawab pemerintah sebagai penyelenggara negara melainkan
juga merupakan tanggung jawab bersama seluruh warga negara Indonesia.
Mungkin dengan berkembanganya arus
informasi tiada henti, dimana dunia sedang mengalami globalisasi, kita sebagai
masyarakat suatu bangsa yang berdaulat, mau berbagi tentang segala macam
pengetahuan dan doktrin tentang berkebangsaan kepada seluruh saudara kita
diseluruh penjuru negeri. Melakukan gerakan-gerakan yang bersifat nasionalis
demi meningkatkan rasa cinta tanah air kepada seluruh tumpah darah Indonesia,
atau minimal dimulai dari diri kita sendiri, dengan tujuan menumbuh-kembangkan
segala macam pandangan tentang bertanah air di Indonesia dengan baik dan benar.
Selain masalah kebangsaan, tantangan
kedepan pada masa mendatang dari bangsa ini adalah menghadapi era globalisasi
ekonomi, kapitalisme yang menggurita, imperialis, orientalis, penyusupan
paham-paham menyimpang dari pihak luar, serta dari dalam negeri sendiri seperti
pengkhianatan, fundamentalis dan ‘barisan sakit hati’ yang bertujuan
memperkeruh keadaan, menyulut konflik dan kesenjangan sehingga terjadi
aksi-aksi dengan hasil keadaan yang menjauhkan kita dari jalur pencapaian
cita-cita luhur.
Perbedaan adalah anugerah, dimana
darinya maka kita dapat mengenal satu sama lain, saling mengisi dan hidup penuh
warna dalam melakukan komunikasi, interaksi dan juga relasi, sehingga dapat
mewujudkan masyarakat madani sesuai dengan apa yang telah dicita-citakan
bersama. Tidak ada yang instan dalam mewujudkan cita-cita, semua membutuhkan
proses, kerja keras dan pengorbanan. Jika pada generasi sekarang hal tersebut
belum bisa terwujud, maka wariskanlah perjuangan dan semangat ini pada generasi
berikutnya, agar apa yang belum sempat kita rasakan dapat dikecap manis oleh
para generasi penerus bangsa yang besar ini dikemudian hari
Individu & Identitas Sosial
Manusia sebagai pribadi tidak dirumuskan sebagai suatu
kesatuan individu saja tanpa sekaligus menghubungkannya dengan lingkungan
sekitarnya. Kita tidak dapat membugkusnya ke dalam satu kesatuan individu saja,
yang tidak pernah bersinggungan dengan lingkungan. Ketika kita membicarakan
identitas di situ juga kita membicarakan kelompok. Buat Verkuyten, gagasan
tentang identitas adalah hubungan antara individu dengan lingkungannya (Verkuyten,
2005). Adanya identitas dapat lebih memudahkan manusia menggambar
keberadaan sesuatu sehinga dapat memberikan kemudahan manusia untuk bertindak.
Suatu kepribadian akan menjadi kepribadian apabila
keseluruhan sistem psikofisiknya temasuk bakat kecakapan dan ciri-ciri
kegiatannya menyatakan sebagai kekhasan dirinya dalam penyesuaian dirinya
dengan lingkungannya. Kepribadian individu, keahlian individu, ciri-ciri akan
dirinya baru akan ketahuan kepribadiannya ketika sudah melakukan interaksi
dengan lingkungannya. Individu memerlukan hubungan dengan lingkungan yang
menggiatkannya, merangsang perkembangannya, atau memberikan sesuatu yang ia
perlukan. Tanpa hubungan, individu bukanlah individu lagi (Gerungan, 2004).
Karena
Manusia tidak hidup sendiri tetapi hidup bersama dalam masyarakat dan
lingkungannya, makanya Identitas terbentuk. Ini karena manusia butuh pengenalan
diri. Identitas juga hadir biar manusia dapat saling mengenal sesama dan dapat
membedakan sesama. Tajfel mendefinisikan Identitas sosial sebagai pengetahuan
individu dimanadia merasa sebagai bagian anggota kelompok yang memiliki
kesamaan emosi serta nilai (Tajfel, 1979).[10] Identitas sosial juga merupakan
konsep diri seseorang sebagai anggota kelompok (Abrams & Hogg, 1990).
Identitas bisa berbentuk kebangsaan, ras, etnik, kelas pekerja, agama, umur,
gender, suku, keturunan, dll. Biasanya, pendekatan dalam identitas sosialerat
kaitannya dengan hubungan interrelasionship, serta kehidupan alamiah
masyarakat dansociety(Hogg & Abrams, 1988). Kemudian, pendekatan
identitas sosial juga mengamati bagaimana kategori sosial yangada dalam
masyarakat ternyata tidak terbentuk secara sejajar, tapi juga menimbulkan
status sosial dan kekuasaan.
Identitas
sosial sebagai teori tidaklah berangkat dari kekosongan lalu terbentuk begitu
saja menjadi teori yang mengisi bidang psikologi sosial. Teori identitas sosial
adalah evolusi teori yang keluar dari teori kategosisasi sosial. Teori
kategorisasi sosial sendiri diperkenalkan oleh Tajfel tahun 1972. Teori
identitas sosial adalah teori yang dikembangkangkan setelah Tajfel melihat
kategorirasi yang dilakukan individu melekatkan juga nilai-nilai di dalamnya
pada kelompoknya dalam menilai kelompok lain. Untuk membahas lebih dalam mengenai
teori identitas sosial, ada baiknya dijelaskan dulu mengenai konsep kategori
sosial.
Kategorisasi Sosial
kategorisasi sosial Terjadi ketika kita berpikir tentang
seseorang baik diri kita atau orang lain sebagai anggota kelompok sosial yang
berarti atau bermakna (dalam Stangor, 2004). Dalam hal ini kita melihat saya
sebagai bagian kelompok A, misalnya, dan dia sebagai kelompok B. saya berada
dalam kelompok ini karena memang sudah terlahir menjadi bagian kelompok yang
saya anut sekarang bisa juga memang karena kelompok tersebut memang mendekati
akan kriteria kepribadian saya.
kategori sosial ini bisa saja berdasarkan dari ciri-ciri
fisik, asal dari instansi mana mereka berasal, jenis kelamin, umur, dan
lain-lain yang sekiranya bisa membentuk kelompok sosial. Dalam hal kategori
ini, kelompok bisa saja mempengaruhi karakteristik dari individu, namun
individu juga bisa mempengaruhi kelompok (dalam Stangor, 2004).
Harus disadari juga, dalam kategorisasi sosial, kategori
diri juga ikut dipertimabangkan. Ketika kita mengkategorikan seseorang belum
itu menggambarkan secara keseluruhan keberadaan seseorang tersebut. Untuk itu,
kategori sosial hanya melihat nilai umumnya saja dari suatu individu sebagai
dari keloompok yang dia anut.
Kategorisasi Diri terjadi ketika seseorang berpikir terhadap
dirinya (daripada berpikir tentang orang lain) sebagai anggota kelompok sosial.
Kategorisasi diri melibatkan di dalamnya perbandingan antara kelompok yang
mereka miliki (in-group) dan kelompok yang tidak mereka rasa memilikinya
(out-group).
Tujuan dari kategori sosial merupakan bagian dasar dari
persepsi manusia untuk mempersepsikan yang lain. Dengan adanya kategorisasi,
orang lebih bisa mempersiapkan hal yang akan dia tampilkan. Jika saja datang
undangan pernikahan dengan adat betawi tentu saja pakaian yang dikenakan untuk
mengahadiri pesta pernikahan tersebut akan berbeda dengan pakaian ketika akan
pergi menghadiri pesta ulang tahun remaja 17 tahun.
Pengaruh dari kategorisasi sosial tidak melulu memberikan
pengaruh yang positif saja, malah mungkin cenderung negatif. Contohnyaa saja
stereotip; keyakinan seseorang atau kelompok tentang karakteristik dari
kelompok sosial atau anggota dari kelompok tersebut. Lalu prasangka; sikap
negatif yang unjustifiable terhadap out-group, atau terhadap
anggota dari kelompok tersebut. Kemudiandiskrimanasi; tingkah
laku negatif yang unjusttifiable terhadap anggota di luar kelompoknya
berdasarkan pandangan dari kelompok mereka.
Proses kategorisasi sosial juga memberikan kepada kita
informasi yang membuat kita mengetahui kita ini sebagai bagian darimana
sehingga kita pun dapat mengetahui dengan jelas. Saya ini suku apa ? saya suku
minang, karena bapak dan ibu saya orang minang. Disamping itu, proses
kategosisasi sosial memberikan kemudahan kognitif pada manusia. kehidupan ini
banyak sekali yang harus diolah oleh otak/pikiran. Dengan mengkategorisasi,
tentu saja manusia akan lebih dimudahkan untuk mengenal. Dalam pemebeberan
tersebut, proses kategorisasi sosial sudah hampir menuju terhadap konsep identitas
sosial sebagai teori.
Teori
Identitas Sosial
Dalam teori identitas sosial, seorang individu tidaklah
dianggap sebagai individu secara mutlak satu dalam kehidupannya. Individu
merupakan bagian dari kelompok tertentu baik disadari maupun tidak disadari. Konsep
identitas sosial adalah bagaimana seseorang itu secara sosial dapat
didefinisikan (Verkuyten, 2005).
Dalam hal identitas, Identitas ituadayang terberi, tetapi
adajugayang memang berasal dariproses pencarian. Identitas yang terberi
cantohnya saja dalam hal identitas laki-laki dan perempuan. Identitas andi
sebagai laki-laki adalah identitas yang sudah terberi sejak lahir, mau tidak
mau dia harus menerima itu. Namun demikian, dengan kemajuan teknologi yangada,
identitas yang terberipun bisa diganti dengan identitas yang kita inginkan,
misalnya saja yang tadinya andi memiliki identitas laki-laki, namun dia
memutuskan untuk merubah alat kelaminnya menjadi perempuan, sehingga identitas
andi sekarang adalah perempuan. Penjelasan tersebut sekedar memberikan contoh
saja kalau terkadang kitapun tak berhak memilih identitas kita sendiri. Karena
manusia sebagai individu tidak bisa melepas keberadaannya dalam masyarakatmaka
status identitas kita pun bisa saja datang darioranglain. Ini bisa timbul
karena ketika identitas terlahir, lahir pulalah perbedaan yangjuga berupaya
memberi identitas kepada orangdi luar dirinya.
Selain beruasaha untuk mengenal identitas sendiri, manusia
pun berusaha untuk memberikan identitas pada oranglain. Terkadang malah seorang
individu tidak memiliki keberhakan memilih identitas yang dirasa lebih dekat
dengannya. jika adaoranglainyang mengklaim dirinya berasal dari kelompok kita,
tetapi sifat yangada padanya berbeda, maka orangitu kita tafsirkan bukan
berasal dari kelompok kita tetapi berasal dari kelompok lainyang sesuai dengan
kategorinya.
Memang, sebuah identitas hadir karena manusia butuh untuk
mengkategorisasikan sesuatu. Dengan begitu, identitas sosial juga melibatkan
pula ketegori dan menetapkan seseorang ke dalam struktur sosial atau wilayah
sosial tertentu yang besar dan lebih lama ketimbang situasi partikular lainnya.
Jelas saja kategorisasi dan penetapan terhadap posisi
seseorang sangatlah dibutuhkan, kalau tidak, bagaimana dia bisa membedakan yang
satu dengan yang lainnya. Ketika kategorisasi terbentuk, perbedaan tentunya
tidak dapat dihindari (Tajfel, 1972). Identitas sosial menjadi relevan
ketika satu dari kategori melibatkan juga satu diri yang ikut berpartisipasi
terhadap dorongan pada diri lainyang berasal dari kelompok yang sama (Abrams
& Hoggs, 1990). Misalnya saja dorongan semangat untuk atlit olahraga
yang berasal dari daerah yang sama. Dorongan pemberian semangat tersebut
terjadi karena sang atlit membela kelompok yang mereka miliki bersama.
Manusia bukanlah makhluk yang pasif, menerima begitu saja
keberadaan dirinya dan tidak butuh pengenalan diri. Manusia itu adalah makhluk
yang dapat mengenal dan memikirkan situasi yang ada, melakukan sesuatu,
berefleksi, menegaskan, bereaksi, dan berkreasi. Namun demikian, manusia tidak
serta merta memilih akan identitasnya berasalkan dari pemikirannya pribadi
tanpa terkanan dari luar. Masyarakat pun memberikan andil akan identitasnya.
Ini karena identitas berasal dari interaksi individu dengan masyarakat. Dengan
interaksi itu dia dapat mengetahui identitas mana yang cocok untuk dirinya.
Normalnya, suatu identitas sosial biasanya lebih
menghasilkan perasaan yang positif. Hal tersebut terjadi karena kita
menggambarkan kelompok sendiri diidentifikasikan memiliki norma yang baik. Jika
anda berada dalam universitas yang terbaik di Indonesia, serta menjadi bagian
dari kelompok tersebut merupakan bagian dari keinginan anda juga, dan ternyata
hal itu membuat diri anda nyaman karena anda memang senang menjadi bagian dari
mereka (Branscome, Wann, Noel, & Coleman, 1993; Deaux, 1996; Ethier
& Deaux, 1994; P. Oakes & Turner, 1980; Oakes, haslam, & Turner,
1994; M. Rubin & Hewstone, 1998; Tajfel, 1981, dalam Stangor, 2004).
Identitas sosial yang melekat pada seseorang merupakan
identitas posistif yang ingin dipertahankan olehnya. Oleh karena itu, individu
yang memiliki identitas sosial positif, maka baik wacana maupun tindakannya
akan sejalan dengan norma kelompoknya. Dan, jika memang individu tersebut
diidentifikasikan dalam suatu kelompok, maka wacana dan tindakannya harus
sesuai dengan wacana dan tindakan kelompoknya.
Konsep identitas sosial sebenarnya berangkat dari asumsi
umum:
1.Setiap individu selalu berusaha
untuk merawat ataumeninggikan self-esteemnya: mereka berusaha untuk
membentuk konsep diri yangpositif.
2.Kelompok atau kategori sosial dan
anggota dari mereka berasosiasi terhadap konotasi nilai positif atau negatif.
Karenanya, identitas sosial mungkin positif atau negatif tergantungevaluasi
(yang mengacu pada konsensus sosial, bahkan pada lintas kelompok) kelompok
tersebut yang memberikan kontribusi pada identitas sosial individu.
3.Evaluasi dari salah satu kelompok
adalah berusaha mengdeterminasikan danjuga sebagai bahan acuan pada kelompok
lain secara spesifik melalui perbandingan sosial dalam bentuk nilai atribut
atau karakteristik (Tajfel, 1974, dalam Hogg & Abrams, 2000)
Dari asumsi di atas tersebut, beberapa relasi prinsip teori
dapat menghasilkan:
1.Individu berusaha untuk mencapai
atau merawat identitas sosial yang positif
2.Identitas sosial yang positif ada
berdasarkan pada besarnya tingkat perbandingan favorit in-group-out-group;
in-group pasti mempersepsikan dirinya secara positif berbeda dari out-group
3.ketika identitas sosial tidak
memuaskan, individu akan berusaha keluar dari kelompok, lalu bergabung pada
kelompok yang lebih posisitif atau membuat kelompok mereka lebih bersifat
positif (Tajfel, ibid) .
Identitas sosial sebagai teori tidak bisa lepas dari
keinginan individu untuk memperbandingkan dirinya serta kelompoknya dengan yanglain.
Perbandingan sosial digambarkan oleh Festinger (1954) sebagai teori
dimana bisa membimbing kita untuk membandingkandiri kita dengan yanglain, siapa
yang serupa dengan kita dan siapa yang berbeda, siapa yang berada di atas dan
siapa yang berada di bawah. Setidaknya ada tiga variabel yang mempengaruhi
hubungan pembedaan antar kelompok dalam situasi sosial yang nyata (Tajfel,
1974; Turner, 1975; dalam Hogg & Abrams, 2000). Pertama,
individu pasti memiliki internalisasi kelompok mereka sebagai konsep diri
mereka: secara subjektif mereka pasti menidentifikasikan kelompok yang relevan.
Hal ini tidak cukup darioranglain saja yang mengidentifikasikan seseorang kalau
dari kelompok manadia berasal. Kedua, situasi sosial akan menciptakan
perbandingan sosialyang memungkinkan terjadinya seleksi dan evaluasi atribut
relasi yang relevan. Perbedaan kelompok pada tiap-tiap daerah tidak sama secara
sikinifikan. Misalnya saja, di Amerika perbedaan kelompok lebih cenderung
menonjol pada perbedaan warna kulit, tapi perbedaan warna kulit bukan sesuatu
yang menonjol di Hongkong. Ketiga, in-group tidak membandingkan
dirinya pada tiap proses kognitif yangada pada out-group:out-group
pastinya dipersepsikan sebagai kelompok perbandingan yang relevan baik dalam
kesamaan, kedekatan, dan secara situasional menonjol. Kemudian, Determinasi out-group
dihasilkan sebagai perbandingan terhadap determinasi in-group.
Menurut Sarben & Allen (1968), identitas sosial
juga berfungsi sebagai pengacu keberadaan posisi seseorang berada di mana dia.
Berada di tingkatan mana kita berada, posisi seperti apa saja yang
keberadaannya sama dengan kita dan mana juga yang berbeda. Teori identitas
sosial melihat bahwa suatu identitas sosial selalumengklarifikasikan dirinya
melalui perbandingan, tapi secara umumnya, perbandigannya adalah antara in-groups
dan out-groups. In-groups biasanya secara stereotype positif
sifatnya, selalu lebih baik dibandingkan out-groups.
Identitas sosial juga menghasilkan representasi sosial yang
keluar dari individu-individu yang berkumpul serta memiliki pandangan dan emosi
yang sama (Doise. 1998,).[11] Representasi sosial dapat
didefinisikan sebagai prinsip hubungan simbolik yang terorganisasi. Mereka
memperkenalkanletak individu dalam hubungannya dengan objek sosial secara
siknifikan. Individu adalah objek yang melekat dalam jaringan relationship
(Doise, ibid). Moscovici (1981) mengartikan sosial representasi
sebagai kumpulan konsep, statements dan asal penjelasan dalam kehidupan
sebagai bagian dari komunikasi inter-individual yang merupakan equivalent
dalam kehidupan bermasyarakat, sebagai mitos dan sistem kepercayaan dalam
masyarakat tradisional. Representasi sosial juga merupakan konsensus pemahaman
yang timbul dari kekacauan diskusi dan komunikasi informal keseharian, sebagai
keinginan individu untuk memahami dunia (Hogg & Abrams, 1988).
Representasi sosial dari tiap-tiap identitas adalah berbeda.
Masing-masing identitas memiliki pandangannya dan pemahamannya terhadap dunia.
Dari situ timbullah stereotipe, jika anda berasal dari kelompok tersebut maka
sifat-sifat anda tidak jauh dari apa yangada dalam skema akan sifat-sifat
kelompok anda. Sifat-sifat kelompok dimana individu berasal pastilah membawa
sifat kelompoknya. Jika nelda darimedan maka sifat nelda mungkin saja tidak
jauh dengan stereotipe yang terbentuk tentang orangmedan adalah seperti itu.
Tentu saja dalam hal ini bias terhadap sifat individu tidak dapat dihindari.
Identitas
sosial Bbrusaha untuk medefinisikan dan menegenal pemilahan dan penetapan.
Setidaknya ada tiga komponen dasar bagi manusia untuk memilah dan menetap dari
suatu identitas (Wenholt, dalam Verkueyten, 2005); pertama,komponen
struktur sosial. dalam kehidupan sosial selalu ada klasifikasi sosial orangke
dalam suatu kategori atau kelompok. Telah sama-sama dijelaskan bahwa
kategosrisasi sosial adalah dasar berpijak bagi seseorang dalam proses
identitas dan hubungan antar kelompok. orang bisa saja diklasifikasikan ke
dalam kategori jenis kelamin, umur, etnik, ras, budaya, dll.
Yang kedua adalah komponen budaya, atau tingkah laku
dan konsekuensi normatif yang diterima. Komponen budaya adalah kategori
seseorang dalam prakteknya yang sudah berlangsung terus menerus. Kategorisasi
sosial belumlah bisa memperkenalkan seseorang kepada identitas sosial. komponen
kedua ini dibutuhkan untuk melihat bagaimana seseorang itu bertindak, apakah
memang tindakan yang dilakukan sesuai juga dengan norma kelompoknya. Dan tentu
saja tingkah laku dapat mereferensikan seseorang dari kelompok manadia berasal.
Lalu ketiga adalah definisi ontologis. Labeldari
kategori sosial itu kuat bukan hanya berasal dari tingkah lakunya, tetapi juga
berasal daricara anggota dari suatu kategori (bisa kelompok, etnik, dll)itu
melihat. Komponen ketiga ini, definisi ontologi, mencoba mengungkapkan orang
lewat nilai alamiah orang tersebut dikategorisasikan. Komponen ini pun
berangkat dari pernyataan yang sangat mendasar bahwa memang itulah dia, dandia
tidak bisa menyangkal karena identitas ini memang menceritakan sesuatu tentang
dirinya, tentang seperti apa dirinya. Hal tersebut memang menceritakan
seseorang seperti apa (Verkuyten, 2005: 44-47).
Ketiga komponen yang telah dijelaskan tersebut tidak
terpisah dalam suatu hubungan. Bahkan mereka sangat dekat berhubungan. Hal ini
malah merupakan kombinasi yang memberikan penjelasan identitas lebih dalam dan
jelas.
Identitas Sosial & Identifikasi
Dengan adanya identitas kita memang menjadi tahu siapa kita
dan siapa oranglainyangadadi depan kita, dimana posisi dia berasal, dan seperti
apa dia seharusnya. Permasalahannya, suatu identitas individu itu, yang melekat
pada dirinyatidaklah satu identitas, melainkan banyak identitas.
Selain orangIndonesia, seseorang juga bisa sebagai muslim,
atau seorang ayah (Verkueyten, 2005:50). Hal ini tergantung dari
hubungan keterikatan orang tersebut terhadap suatu identitas. Seorang individu
yang memiliki keterikatan dengan istri, dengan anak, dengan pekerjaannya, dan
dengan orang tuanya, maka individu tersebut setidaknya memiliki 4 identitas yangdia
sandang, sebagai suami, sebagai ayah, sebagai pekerja, sebagai anak. (Stryker,
1968, 1980, dalam Smith-Lovin, 2002). Dalam keempat identitas tersebut,
peran-peran yang dilakukan tentulah tidak sama.
Identifikasi dikatakan Verkuyten sebagai proses psikologi
ketika identitas melibatkan diri ke dalam proses kontruksi sosial (Verkuyten,
2005). Dalam pemisahan ini, maka pertanyaan tentangkonsep identifikasi mudah
untuk dipahami. Identifikasi itu mencoba untuk memahami identitas pada diri
pribadi berada dalam identitas apa dia(Hall, 1996, dalam Verkuyten, 2005).
Mengidentifikasikan pada diri individu adalah awal darinya untuk mendapatkan
identitas. Identifikasi tersebut tentunya terjadi karena identitas di
tengah-tengah kehidupan manusia ini hadir lebih dari satu. Kalau saja identitas
manusia itu hanya satu, tentulah tidak diperlukan bagi manusia untuk
mengidentifikasikan diri.
Mengidentifikasikan identitas mungkin akan sedikit mudah
jika masyarakat yang ada homogen sifatnya, bukan heterogen. Karakteristik masyrakat
yang homogen biasanya hadir pada masyarakat pedesaan. Pada masyarakat pedesaan,
pembagian peran yang diberikan terkesan begitu jelas, seperti petani, atau
kepala desa, buat mereka tidak ada pekerjaan lain selain bertani, atau sebagai
kepala desa. Dengan begitu,Mengidentifikasikan identitas bagi masyarakat
pedesaan berarti cenderung lebih mudah, karena karakteristiknya homogen (Giddens,
1991).[12]
Pertanyaan seperti siapa aku pada masyarakat pedesaan
cukuplah mudah untuk dijawab. Hal tersebut terjadi karena pembagian identitas
pada masyarakat pedesaan sangat jelas sekali dan etnik yang adapun tidak
bercampur aduk dengan etnik yang lainnya. Pencarian aku sebagai identitas masih
mudah karena pilihan-pilihan yang ada tidak begitu banyak dan lebih menetap sifatnya.Disamping
itu, landasan pemegang kebijaksanaan masih jelas patokannya yaitu pada norma
masyarakat. Peran dalam Masyarakat pedesaan juga biasanya kurang lebih tetap
dan bahkan seringkali dilanjutkan secara turun temurun. Dalam masyarakat
pedesaan, identitas diri seseorang hampir sama dengan identitas sosialnya.
Mengidentifikasikan identitas akan cukup sulit ketika kita
berhadapan dengan struktur masyarakat perkotaan, dimanadi situ terjadi banyak
interaksi dalam masyarakat yang lebih multikultural sifatnya. Tidak jarang kita
mendengar seseorang berasal dari keturunan multi-etnik, seperti keturunan Batak
dengan Minang, atau Jawa dengan Manado, bahkan adayangdari neneknya memang
sudah berasal dari etnik yang berbeda sehingga campuran etniknya bisa dari Minang,
Batak, Jawa, dan Manado bercampur dalam satu individu. Tak ayal lagi,
keberadaan yang seperti ituakan lebih memicu terjadinya krisis identitas.
Krisis
identitas yang terjadi bisa pula krena akibat dari perubahan sosial yang cepat
dan membawa banyak perubahan dalam tatanan sosial yang ada tanpa memberi cukup
waktu proses penyesuaian diri. Banyak orang-orang mengalami keraguan,
kebingungan dan kecemasan tentang situasi yang sedang dihadapi tentang masa
depan mereka. Akibat perubahan sosial yang besar, identitas kelompok
berdasarkan suku atau kelompok etnik, agama, gender, daerah asal, kebangsaan,
ideologi, partai politik, kelompok profesi, mereka dapat mengalami pergeseran
bentuk dan peran sosialnya yang signifikan, sehingga perlu redefinisi atau reposisi
identitas dirinya sebagai kelompok. Pada akhirnya mereka mengalami kesulitan
mana kira-kira identitasnya yang utama atau yang lebih kuat.
Kuatnya
Rasa memiliki kelompok setiap individu tentunya berbeda-beda, ada yang
meletakan agama sebagai posisi paling atas yang harus didahului, ada juga yang
menetapkan etnik di atas segala-galanya. Suatu individu akan berusaha
mendekatkan dirinya kepada karakter kelompok mana dia merasa lebih memiliki di
tengah-tengah identitas diri yang banyak (Campbel, 1958; Hamilton &
Sherman, 1996; Lickel et al., 2000: dalam Stangor, 2004). Akan tetapi,
memang terkadang dalam pemilihan tersebut cukup sulit sehingga menimbulkan
konflik dalam diri sendiri. Cenderung seseorang akan mengidentifikasikan
identitasnya yang bisa memberikan nilai positif padanya.
Krisis identitas juga bisa terjadi karena identitas menonjol
yang disandangnya memberikan nilai yang negatif buatnya. Tak jarang kita
mendengar keinginan orang berkulit hitam yang tinggal di Amerika hendak
mengganti kulitnya menjadi warnah putih karena penghinaan yang selalu diberikan
kepada ras mereka.
Dalam
dunia nyata, kebanyakan dari individu pun biasanya memiliki keanggotaan
kelompok yang lebih dari satu. Hal tersebut juga memberikan pengaruh pada bias
terhadap kategorisasi sosial dan in-group. Jika ada satu orang yang
menjadi pemimpin pada dua kelompok yang berbeda tentu akan sulit menilai sifat
dia secara siginikan lebih dekat kemana. Saat ini, kajian tentang
multi-identitas merupaan kajian yang hangat dalam bidang penelitian psikologi
sosial terhadap identitas. Ini terjadi karena kebanyakan dari para peneliti
tentang identifikasi sosial sudah setuju kalau tiap orang memiliki identitas
yang banyak/multi ( e. g., Stryker & Statham, 1985; tajfel, 1978; for
review, see deaux, 1996; dalam Brewer, 2002).
Memiliki
identitas sosial yang banyak memungkinkan timbulnya kombinasi pada tiap
identitas tersebut. Ini terjadi karena tiap identitas sosial itu tidak bebas,
melainkan berhubungan dekat pada tiap-tiapnya. Terkadang isu ras juga bersangkut
paut dengan suatu bangsa atau warna kulit, bahkan gender dan agama (Miles,
1989, dalam Verkuyten, 2005). Seperti misalnya perjadi konflik antara suku
minang dengan suku batak, pertikaian tersebut bisa saja berawal dari
permasalahan etnik yang kemudian berimbas menjadi isu pertikaian agama karena
orang batak itu Nasrani dan orang Minang itu Muslim.
Brewer
(2002) melihat, walaupun tiap individu memiliki identitas lebih dari
satu, menurutnya ada yang rendah sifatnya tetapi ada juga yang tinggi sifat
kekompleksitasan identitasnya. Individu dengan kompleksitas identitas sosial
yang rendah cenderung akan lebih sering bertemu dan berinteraksi pada
kelompoknya. Identitas tersebut membuat jarak antara individu dan kelompok
sulit dipisahkan. Kompleksitas sosial yang rendah adalah identitas yang secara
subjektif lebih melekat pada satu representasi kelompok. Individu dengan
kompleksitas identitas sosial yang tinggi dapat melihat perbedaan dirinya
dengan kelompoknya. Dari merekatercipta juga jarak serta adanya pemisahan
antara dirinya sejati dengan dirinya sebagai anggota kelompok.
Kompleksitas sosial yang tinggi adalah individu yang secara
subjektif cukup sulit diidentifikasikan dia merupakan representasi dari
kelompok mana. Lebih spesifik lagi, ketelibatan pemahaman yang komplek dapat
dilihat dari apa maksud orang kalau saya adalah kelompok “A” dan “B”. Padahal
setiap kelompok memiliki ciri khas dan nilai yang berbeda. Apalagi kalau
individu tersebut merupakan ketua dari kedua kelompok yang dia sandang.
Individu
yang lebih Sering bertemu, berinteraksi, dengan kelompok yang itu-itu saja akan
lebih membuat Individu tersebut merasa telah menyatu dengan kelompoknya.
Individu yang demikian menurut Brewer akan lebih berelasi negatif terhadap
inklusifitas in-group dan toleransi terhadap out-group, dia akan
bersifat intoleran pada kelompk yang dianggapnya berbeda. Tetapi Individu yang
rendah tingkat kompleksitas sosialnya akan lebih tidak toleran dan menerima out-groups
secara umum dibandingkan dengan individu yang tinggi tingkat kompleksitas
sosialnya. Nilai positif kelompok cenderung akan lebih tinggi pada individu
yang rendah kompleksitas sosialnya.
Identifikasi Identitas Terhadap Rasa
Problem identitas sosial yang komplek akan berpengaruh
sekali terhadap idetifikasi diri, berada pada seperti apa diri individu
tersebut. Ketika sudah memutuskan identitas yang dipilih, bukan berarti
identitas-identitas lainnya dinafikan dan tidak diakui.
Hal ini terjadi pada penelitiannya Inga jasinskaja-Lahti
& Kamerla Liebkind (1999). Mereka meneliti para Imigran Rusia yang
tinggal di Finladia. Penelitian menunjukan ternyata kebanyakan dari mereka
tetap mengidentifikasikan identitas diri mereka sebagai orang Rusia.
Tetapi,Walaupun mereka mengidentifikasikan diri mereka sebagai Rusia, mereka
tetap memiliki pandangan positif tentang Finlandia sebagai wilayah yang dia
huni sekarang. Pandangan positif tersebut bermacam-macam, ada yang tetap begitu
bangga menjadi Rusia, ada pula yang mengatakan senang menjadi warga Finlandia,
adapula yang mengatakan senang menjadi bagian dari budaya Finlandia. Respon
tersebut tidak lepas juga dari penerimaan orang Finlandia asli terhadap para
pendatang, ditambah dengan pergaulan para imigran.
Pada
satu titik, suatu budaya yang mengalami perjumpaan antar budaya sulit untuk
dapat menghindari bentuk diri mereka ber-asimilasi antar karakter kedua budaya.
Walaupun demikian, jika kita menjelaskan penjabaran tentang indentitas dalam
suatu budaya, membandingkan identitas sebenarnya tidak bisa juga dipahami
dengan merujuk pada etnik dia berasal lantas kita juga membandingkan etnik
seseorang itu berasal. Salah satu sisi, mungkin kita memandang identitas etnik
kita sebagai identifikasi yang paling tinggi tingkatannya dan sisi lain mungkin
saja orang lain mengidntifikasikan identitas etniknya berada di bawah identitas
keagamaannya.
Untuk ukuran rasa memiliki identitas dan persepsi pada
masyarakat saat ini, tingkatan identifikasi etnik sulit sekali untuk dicari
siknifikansinya (Jasinskaja-Lahti & Liebkind, 1999). Pada masyarakat
perkotaan misalnya saja, di sana berkumpul berbagai masyarakat dari berbagai
etnik, agama, kepentingan dan kebiasaan. Ada pendatang yang sudah lama tinggal
di sana, ada juga yang baru saja tiba. Tentunya mereka tidak langsung begitu
saja berhubungan dan berkomunikasi layaknya seperti kebiasaan mereka dahulu,
pastilah ada perubahan. Ini terjadi karena mereka berusaha untuk menyesuaikan
diri dengan keadaannya sekarang. Dalam menjalani dunia yang baru tentunya akan
ada proses penyesuaian diri dahulu.
Bisa jadi, setelah lama berada di tempat barunya kebingungan
akan identitasnya timbul, hal tersebut terjadi karena mereka bingung
mengidentifikasikan diri mereka sebagai identitas lama mereka atau identitas
baru mereka, di mana mereka kini berdomisili.
Ketika
hendak membandingkan identitas satu dengan yang lainnya, kita tidak bisa juga
membandingkannya lewat satu kategori yang sama saja. Kita tidak bisa lagi hanya
membandingkan tingkah laku identitas etnik ini, misalnya dengan tingkah laku
identitas etnik lainnya. Sebaiknya, langkah awal yang ditempuh ketika ingin
membandingkan suatu identitas, kita menguji tingkat identifikasi identitas
orang tersebut berada pada posisi mana dia.
Misalnya saja kita ingin melakukan perbandingan
identitasantara etnik Rusia yang tinggal di Amerika dengan orang Amerika itu
sendiri. Di sini kita tidak boleh gegabah dahulu, karena kalau seandainya yang
kita orang Rusia yang kita teliti itu beraga Yahudi, maka cerita penelitiannya
akan lain. Karena apa, karena seorang yang berasal dari Rusia yang beragama
yahudi, lebih senang mengidentifikasikan diri mereka sebagai yahudi saja
(Persky & Birman, 2005). Dengan begitu Pola perbandingan identitas etnik
tidak bisa diakukan buat Yahudi keturunan Rusia.
Jika
disimak kembali melalui latar belakang kehidupan Rusia mungkin bisa terungkap
kenapa ada pemahaman identitas ke-Yahudian dan Ke-Rusiaan. Mereka melihat
pilihan mereka sebagai yahudi itu lebih tepat ketimbang sebagai Rusia karena
keyakinan mereka berbeda dengan Uni Soviet yang ateis. Di Amerika Serikat pun,
menjadi Rusia biasanya dihubungkan dengan bahasa dan budaya, dan yahudi dengan
ke originalitas etnik dan agama.
Pada
akhirnya, penelitian yang dilakukan oleh Persky & Birman dapat menunjukan
kalau identitas akan etnik tidak bisa hanya sekedar menunjukan dari mana dia
berasal, sehingga asal etnik hanya bisa dibandingkan asal etnik pula.
Kenyataan, ternyata agama juga bisa dijadikan sebagai keberasalan bahkan
menjadi komponen yang paling menonjol ketimbang budaya dia berasal. Ini
tergantung dari identitas apa yang dianggap palig berarti bagi setiap individu.
Penutup
Identitas memang diperlukan sebagai pembeda antara aku dan dia,
aku dan mereka. Meskipun menidentifikasi suatu identitas memang tidak selalu
mudah, terkadang kita pun ragu sebenarnya kita lebih memilih kelompok ini atau
itu. Hasil dari ientifikasi kita tentang identitas pun tidak jarang
menimbullkan konflik antar kelompok, bahkan pengaruh terbesar dari identifikasi
identitas sosial adalah menciptakan jarak antara in-group dan out-group.
Hal tersebut bukan berarti tidak adanya identitas lebih baik ketimbang adanya
identitas. Karena dengan tidak adanya identitas, berarti tidak pula terjadi
jarak dan konflik.
Tidak adanya identitas bukan malah akan mempermudah kita.
Bayangkan saja jika seluruh manusia yang hidup, mereka semua tidak memiliki
identitas, bagaimana kita bisa membedakannya si anu dengan si fulan. Bahkan
jika kita tidak tahu siapa diri kita, bagaimana kita akan membentuk pandangan
hidup.
Dalam masyarakat yang multi-etnik, multi-kultural, dan berkumpul
di sana berbagai macam kelompok memang akan menimbulkan identitas sosial yang
komplek sifatnya. Terkadang identifikasi kita sebagai guru terbawa pula pada
identifikasi kita sebagai orang tua. Meskipun begitu, dengan adanya
identitas-identitas, secara tidak langsung akan mengajarkan diri kita lebih
dewasa terhadap pebedaan. Seperti apa yang telah dijelaskan oleh Brewer (2002),
identitas yang tinggi keberagaman tinggi pada seseorang biasanya akan lebih
bersikap toleran terhadap kelompok lain.
Pengaruh pencarian identitas selain positif, tentunya pengaruh
negatif yang timbul tidak dapat dihindari, seperti terjadinya konflik.
Pencarian Identitas yang pada akhirnya menimbulkan konflik sebenarnya lahir
dari mereka yang belum bisa menyadari suatu perbedaan (Moscovici). Suara
bayi yang dikeluarkan pada saat dia keluar dari rahim ibunya adalah sama
suaranya. Pengalaman, tempat berinteraksi, struktur budaya, polah asuh lah yang
membuat suara-suara mereka menjadi berbeda (Sarwono, 1999).
Rasa dari warna sebuah perbedaan itu tergantung dari diri manusia
itu menyikapinya. Jika jiwa-jiwa yang hadir pada diri manusia tersebut
intolerir, maka rasa yang keluar terhadap suatu perbedaan itu adalah bersifat
intolerir. Seandainya yang keluar dari jiwa-jiwa mereka adalah bersifat
tolerir, maka rasa yang keluar terhadap suatu perbedaan mereka tanggapi dengan
penuh toleransi. Seandainya saja rasa sifat keterbukaan dan toleransi di
ajarkan semenjak kecil pada tiap-tiap manusia, maka tidak menutup kemungkinan
suatu perbedaan sebagai pemicu konflik akan berubah menjadi pemicu perdamaian.
____________________
[6]
Erik H. Erikson, Identitas Dan Siklus Hidup manusia, terj. Agus Cremers,
jakarta: Gramedia, 1989
[8]
Marck Bracher, jacques Laqan, Diskursus, dan Perubahan Sosial, terj.
Gunawan Admiranto, Yogya: jalasutra
[9] Dalam penulisan biodata Tajfel,
penulis merujuka dari Steven Reicher, University of St-Andrews, Scotland, lalu
S. Carorline Purkhardt, Transforming Social representations, London &
Newyork, 1993
.
0 komentar:
Posting Komentar