BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Pajak merupakan salah satu sumber pemasukan kas negara
yang digunakan untuk pembangunan dengan tujuan akhir kesejahteraan dan
kemakmuran rakyat. Oleh karena itu, sektor pajak memegang peranan penting dalam
perkembangan kesejahteraan bangsa. Namun, tak bisa dipungkiri bahwa sulitnya
Negara melakukan pemungutan pajak karena banyaknya wajib pajak yang tidak patuh
dalam membayar pajak merupakan suatu tantangan tersendiri. Pemerintah telah
memberikan kelonggaran dengan memberikan peringatan terlebih dahulu melalui
Surat Pemberitahuan Pajak (SPP). Akan tetapi, tetap saja banyak wajib pajak
yang lalai untuk membayar pajak bahkan tidak sedikit yang cenderung menghindari
kewajiban tersebut.
Hal ini mendorong pemerintah menciptakan suatu
mekanisme yang dapat memberikan daya pemaksa bagi para wajib pajak yang tidak
taat hukum. Salah satu mekanisme tersebut adalah gijzeling atau
lembaga paksa badan. Keberadaan lembaga ini masih kontroversial. Beberapa
kalangan beranggapan bahwa pemberlakuan lembaga paksa badan merupakan hal yang
berlebihan. Di lain pihak, muncul pula pendapat bahwa lembaga ini diperlukan
untuk memberikan efek jera yang potensial dalam menghadapi wajib pajak yang
nakal.
Saat ini, penyelesaian permasalahan sengketa dibidang
perpajakan telah memiliki sarana dengan adanya Pengadilan Pajak. Sebelum
Pengadilan Pajak berdiri, media yang digunakan untuk menyelesaikan masalah
sengketa pajak adalah Majelis Pertimbangan Pajak yang kemudian berkembang
menjadi Badan Penyelesaian Sengketa Pajak (BPSP). Hadirnya Pengadilan Pajak
menimbulkan kerancuan mengingat obyek sengketa pajak adalah Surat Ketetapan
Pajak (SKP) yang masih merupakan lingkup obyek Peradilan Tata Usaha Negara
(PTUN).
Lahirnya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002
tentang Pengadilan Pajak(UU Nomor 14 Tahun 2002) memang terkesan
memunculkan dualisme bahwa seolaholah Pengadilan Pajak, yang hanya berkedudukan
di Jakarta, itu berada di luar kekuasaan kehakiman yang diatur dalam
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok
Kekuasaan Kehakiman (UU Nomor 14 Tahun 1970) sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 danterakhir diubah lagi dengan
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman (UU
Nomor 4 Tahun 2004).
1.2 Rumusan Masalah
a. Apa saja dasar-dasar hukum perpajakan di indonesia?
b. Bagaimanakah Sengketa pajak dan cara penyelesaiannya?
c. Seberapa efektifkah pelaksanaan Pengadilan Pajak di Indonesia?
1.3 Tujuan
1. Mengetahui dasar-dasar hukum perpajakan di indonesia.
2. Mengetahui Sengketa pajak dan cara penyelesaiannya.
3. keberadaan
Pengadilan Pajak sebagai solusi untuk menyelesaikan masalah sengketa pajak.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Dasar-Dasar Hukum
Perpajakan Di Indonesia
Pajak merupakan sarana reformasi negara dalam
meningkatkan kemandirian keuangan negara, meningkatkan tingkat keadilan, serta
progresivitas dari pungutan pajak itu sendiri.
Pemungutan pajak beserta perangkat hukum untuk
mengatur tata caranya merupakan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). Secara singkat dan tegas, pernyataan tentang
pajak tercantum dalam Amandemen Ketiga UUD 1945 Pasal 23A yang berbunyi, “Pajak
dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan
undang-undang.”
Dahulu, sebelum
amandemen atas UUD 1945 dilakukan, aturan tentang pajak dicantumkan dalam Pasal
23 ayat (2) yang menyatakan, “Segala pajak untuk keperluan negara berdasarkan
undang-undang.” Dengan demikian, dibandingkan dengan UUD 1945 terdahulu,
redaksi kalimat konstitusi pascaamandemen menunjukkan ketegasannya dalam
mengatur hal perpajakan.
Peraturan perundang-undangan mengenai pajak yang
berlaku saat ini adalah Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan
Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU Nomor 6 Tahun 1983) yang telah
direvisi melalui Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1994 tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan (UU Nomor 9 Tahun 1994). Karena merupakan saat dibentuknya
sebuah aturan pajak nasional yang baru, maka tahun 1983 disebut sebagai tahun
reformasi pajak.
Sebelum dibentuk dan diberlakukannya UU Nomor 6 Tahun
1983, dunia perpajakan di negara ini mengenal asas-asas pemungutan pajak yang
disebut “Tri Dharma Perpajakan”. Ketiga asas tersebut adalah sebagai berikut.
1. Bahwa pemungutan pajak harus adil dan merata yang
meliputi subyek maupun obyek perpajakan. Sifatnya universal atau
nondiskriminatif.
2. Harus ada kepastian hukum mengenai pemungutan pajak.
Dengan kepastian hukum yaitu bahwa sebelum pemungutan pajak dilakukan harus ada
undang-undang terlebih dahulu.
3. Ketepatan waktu pemungutan pajak. Membayar dan menagih
harus tepat pada waktunya, aritinya pada saat orang memiliki uang (asasconveniency dan
efisiensi).
Selanjutnya, sejak UU Nomor 6 Tahun 1983 berlaku
sebagai undang-undang pajak nasional, asasasas perpajakan yang melandasi
ketentuan tersebut adalah seperti di bawah ini.
a. Kesederhanaan (simplification of law) Bahwa
undang-undang tentang perpajakan agar disusun sesederhana mungkin sehingga
mudah dimengerti isi maupun susunan kata-katanya.
b. Kegotong-royongan nasional Bahwa warga masyarakat
harus berperan aktif dalam pemenuhan kewajiban perpajakan sebagai kewajiban
kewarganegaraan.
c. Pelimpahan kepercayaan sepenuhnya kewajiban perpajakan
kepada wajib pajak sendiri, maksud pemberian kepercayaan diharapkan agar warga
sadar akan kewajiban kenegaraan karena Negara sudah memberikan kepercayaan
untuk menghitung, memperhitungkan, membayar pajaknya sendiri. Kepercayaan yang
diberikan kepada masyarakat disebut self assessment.
d. Adanya kesamaan hak dan kewajiban antara wajib pajak
dan fiskus.
e. Kepastian dan jaminan hokum Bahwa dalam pelaksanaan
pemungutan pajak harus dihormati adanya asas-asas kebenaran dan asas praduga
tak bersalah. Artinya, wajib pajak belum dinyatakan bersalah apabila
belum ada bukti-bukti nyata.
2.1.1 Pengertian Dan Sistematika Hukum Pajak
Hukum pajak atau
hukum fiskal ialah keseluruhan dari peraturan-peraturan yang meliputi
wewenang pemerintah untuk mengambil kekayaan seseorang danmenyerahkannya
kembali kepada masyarakat dengan melalui kas Negara, sehingga ia merupakan
bagian dari hukum publik, yang mengatur hubungan-hubungan hukum antara
negara dan orang-orang atau badan-badan (hukum) yang berkewajiban membayar
pajak. Hukum Pajak mengatur siapa subjek dan wajib pajak, obyek pajak,
kewajiban wajib pajak kepada pemerintah, timbul/hapusnya hutang pajak,
cara penagihan pajak dan cara megajukan keberatan/banding serta pengadilan
pajak. Hukum Pajak secara sistematis dibedakan antara Hukum
Pajak Materiil(Material tax law) dan hukum Pajak Formal (Formal tax law):
a. Hukum Pajak Materiil adalah hukum pajak yang memuat
ketentuan-ketentuan tentang siapa-siapa yang dikenakan pajak, dan
siapa-siapa dikecualikan dari pengenaan pajak, apa saja yang dikenakan
pajak dan berapa yang harus dibayar. Hukum pajak
material membuat norma-norma yang menerangkan keadaan-keadaan,
perbuatan-perbuatan dan peristiwa-peristiwa hukum yang harus dikenakan
pajak, siapa-siapa yang harus dikenakan pajak ini, berapa besar pajaknya,
dengan kata lain segala sesuatu tentang timbulnya, besarnya, dan hapusnya
hutang pajak dan pola hubungan hukum antara pemerintah dan wajib pajak.
b. Hukum Pajak Formal adalah hukum pajak yang memuat
ketentuan-ketentuan bagaimana mewujudkan hukum pajak materiil menjadi
kenyataan. Secara mudah dapat dirumuskan bahwa hukum pajak materiil berisi
ketentuanketentuan tentang siapa, apa, berapa dan bagaimana. Dengan
demikian, hukum pajak formal merupakan ketentuan-ketentuan yang
mengatur bagaimana mewujudkan hukum pajak materiil menjadi kenyataan.
Yangtermasuk hukum pajak formal adalah peraturan-peraturan mengenai
cara-cara untuk menjelmakan hukum material tersebut diatas menjadi suatu
kenyataan. Bagian hukum ini memuat cara-cara penyelenggaraan mengenai
penetapan suatu utang pajak, kontrol oleh pemerintah terhadap penyelenggaranya, kewajiban
para wajib pajak (Sebelum dan sesudah menerima surat ketetapan pajak),
kewajiban pihak ketiga, dan prosedur dalam pemungutanya. Maksud hukum
formal adalah untuk melindungi, baik Fiskus maupun wajib pajak. Jadi untuk
memberi jaminan bahwa hukum materialnya akan dapatdiselenggarakan
setepat-tepatnya. Misalnya hukum pajak materiil menetapkan, bahwa
seseorang yang bertempat tinggal di Indonesia lebih dari 183 hari dalam
jangka waktu dua belas bulan, dan mempunyai penghasilan yang jumlahnya di
atas PTKP, maka orang yang bersangkutan telah mempunyai kewajiban untuk
membayar pajak dan statusnya telah menjadi Wajib Pajak.
2.1.2 Sanksi Pajak
Sanksi administrasi menurut UU KUP dibagi atas 3 macam
yaitu berupa denda, bunga dan kenaikan. Sanksi administrasi berupa denda dikenakan terhadap
pelanggaran peraturan yang bersifat hukum publik. Dalam hal ini, sanksi
administrasi dikenakan terhadap pelanggaran ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan yang akibatpelanggarannya pada umumnya tidak
merugikan negara. Sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% sebulan
dikenakan terhadap wajib pajak yang membetulkan SPT, dikenakan SKPKB
(Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar), tidak melunasi utang pajak pada saat
jatuh tempo, terlambat membayar SKPKB dan SKPKBT, mengangsur atau menunda
pembayaran pajak serta menunda penyampaian SPT. Sedangkan sanksi
administrasi berupa kenaikan (kenaikan pajak atau tambahan pajak)
dikenakan terhadap pelanggaran ketentuan perundang-undangan perpajakan,
yang akibat pelanggaran itu negara dirugikan. Menurut Undang- Undang KUP
tahun 2000, kenaikan adalah sanksi administrasi yang menaikkan jumlah
pajak yang harus dibayar wajib pajak dengan persentase antara 50-100% dari
jumlah pajak yang tidak/kurang dibayar.
Pemberian sanksi atau hukuman mempunyai empat buah
latar belakang falsafah yakni:
1. Retribution sebagai falsafah tertua dengan semboyan an eye
for an eye yang berbasis balas dendam; narapidana harus membayar utang
mereka kepadamasyarakat melalui hukuman yang sesuai dengan kejahatannya.
2. Deterrence yang bertujuan, bahwa pemberian hukuman berfungsi
sebagai contoh yang akan menghalangi mereka yang berniat
melakukan kejahatan(general deterrence) dan meyakinkan narapidana untuk
tidak berbuat perbuatan pidana lainnya (specific deterrence).
3. Incapacitation; pemberian hukuman melalui penahanan atau membuat narapidana tidak
berdaya, bermaksud supaya narapidana diasingkan darimasyarakat sehingga mereka
tidak akan lagi merupakan ancaman atau bahayabagi yang lainnya.
4. Rehabilitation yang berupaya mengintegrasikan kembali narapidana ke
dalam masyarakat melalui program koreksi dan layanan.
Penegakan hukum di bidang perpajakan adalah tindakan
yang dilakukan oleh pejabat terkait untuk menjamin supaya Wajib Pajak dan
calon Wajib Pajak memenuhi ketentuan undang-undang perpajakan seperti
menyampaikan SPT, pembukuan dan informasi lain yang relevan serta membayar
pajak pada waktunya. Sarana melakukan penegakan hukum dapat meliputi
sanksi atas kelalaian menyampaikan SPT, bunga yang dikenakan atas
keterlambatan pembayaran dan dakwaan pidana dalam hal terjadi penyeludupan
pajak. Salah satu faktor yang juga ikut menentukan tinggi rendahnya
kepatuhan adalah besarnya biaya-biaya yang harus dikeluarkan oleh Wajib
Pajak, yang dalam literatur disebut sebagai compliance cost. Sedangkan
biaya yang dikeluarkan fiskusdalam rangka pelaksanaan fungsi-fungsinya disebut
sebagai administrative cost. Time cost adalah waktu yang terpakai oleh Wajib Pajak dalam
memenuhi kewajiban perpajakannya, mulai dari waktu yang terpakai untuk
membaca formulir SPT dan buku petunjuknya, waktu untuk berkonsultasi
dengan akuntan dan konsultan pajak untuk mengisi SPT, serta waktu yang
terpakai untuk pergi dan pulang ke kantor pajak.
Faktor penentu cost of taxation dapat
diuraikan sebagai berikut :
1. Sacrifice of income adalah pengorbanan Wajib Pajak menggunakan sebagian penghasilan atau
harta/uangnya untuk membayar pajak itu.
2. Distortion cost adalah biaya yang timbul sebagai akibat
perubahan-perubahan dalam proses produksi dan faktor produksi karena
adanya pajak tersebut, yang pada gilirannya akan merubah pola perilaku ekonomi.
Sebagai contoh adalahpajak dapat merupakan disincentive terhadap individu
maupun perseroan dalam berkonsumsi dan berproduksi.
3. Cost of taxation yang ketiga adalah running cost, yakni biaya-biaya
yang tidakakan ada jika sistem perpajakan tidak ada baik bagi pemerintah maupun
bagiindividu. Biaya ini disebut juga “tax operating cost” yang dibagi
menjadi biaya untuk sektor publik dan sektor swasta/private.
2.1.3 Wajib Pajak
Wajib Pajak,
sering disingkat dengan sebutan WP adalah orang pribadi ataubadan yang menurut
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan ditentukan untuk
melakukan kewajiban perpajakan, termasuk pemungut pajak atau pemotong
pajak tertentu. Wajib pajak bisa berupa wajib pajak orang pribadi
atau wajib pajak badan. Wajib pajak pribadi adalah setiap orang pribadi
yang memiliki penghasilan diatas pendapatan tidak kena pajak. Di
Indonesia, seiap orang wajib mendaftarkan diri dan mempunyai nomor pokok
wajib pajak (NPWP), kecuali ditentukan dalam undang-undang.
Kepatuhan
perpajakan dapat didefinisikan sebagai suatu keadaan dimana Wajib Pajak
memenuhi semua kewajiban perpajakan dan melaksanakan hak perpajakannya.
Menurut pengamatan penulis ada dua macam kepatuhan yakni kepatuhan formal
dan kepatuhan materiil. Yang dimaksud dengan kepatuhan formal adalah suatu
keadaan dimana Wajib Pajak memenuhi kewajiban perpajakan secara formal
sesuai denganketentuan formal dalam undang-undang perpajakan. Sedangkan
kepatuhan materiiladalah suatu keadaan dimana Wajib Pajak secara
substantif/hakikat memenuhi semua ketentuan materiil perpajakan yakni sesuai
isi dan jiwa undang-undang perpajakan. Kepatuhan materiil meliputi juga
kepatuhan formal.
Upaya-upaya
pemerintah di seluruh dunia untuk mengurangi tax evasion telah lama
diadakan. Untuk Indonesia, pada tahun 1972 melalui SGATAR (Study Group
on Asian Tax Administration and Research) telah disidangkan di
Jakarta dengan salah satu tema utama adalah Some Aspects of Income
Tax Avoidance or Evasion. Upaya untuk mengurangi tax
evasion lebih dini pada tingkat yang lebih mengglobal telah
diadakan oleh IFA pada tahun 1980 di Paris dengan tema yang lunak
yakni The Dialogue between the tax administration and the taxpayer up
to the filing of the tax return. Ketidakpatuhan secara bersamaan
dapat menimbulkan upaya menghindarkan pajak secara melawan hukum
atau tax evasion.
Perilaku Wajib
Pajak yang tidak sepenuhnya memenuhi kewajibanperpajakannya oleh Bernard P.
Herber, dibedakan menjadi tiga yakni tax evasion, tax avoidance
dan tax delinquency:
Dari kutipan di
atas dapat dipahami bahwa tax evasion adalah
perbuatanmelanggar undang-undang. Misalnya menyampaikan di dalam SPT
jumlah penghasilan yang lebih rendah daripada yang sebenarnya (understatement
of income) di satu pihak dan atau melaporkan biaya yang lebih besar
daripada yang sebenarnya (overstatement of the deductions) di lain
pihak. Bentuk tax evasion yang lebih parah adalah apabila Wajib Pajak sama
sekali tidak melaporkan penghasilannya (non-reporting of income).
Perbuatan ini melanggar baik jiwa atau semangat maupun kalimat-kalimat
dalam undang-undang perpajakan. Di Indonesia perbuatan yang termasuk dalam
tax evasion diancam dengan hukuman pidana fiscal yang diatur dalam Pasal
38 dan Pasal 39 UU KUP 2000.
Dalam tax avoidance Wajib Pajak
memanfaatkan peluang-peluang (loopholes) yang ada dalam
undang-undang perpajakan, sehingga dapat membayar pajak yang lebih rendah.
Perbuatannya ini secara harfiah tidak melanggar undangundang perpajakan,
tapi dari segi jiwa undang-undang perpajakan termasuk perbuatan yang
melanggar. Misalnya pada bulan Desember 2000 Wajib Pajak A akan menerima
penghasilan sebesar Rp 25.000.000,- yang akan terkena tarif
Pajak Penghasilan sebesar 10%.
Adapun cara-cara mencegah Wajib Pajak melakukan tax
evasion antara laindapat berupa pemeriksaan pajak (tax audit); sistem
informasi yaitu dialog dan saling tukar pandangan antara Wajib Pajak dan
fiskus harus tetap diadakan; administrasi pajak dalam arti sebagai
prosedur meliputi antara lain tahap-tahap pendaftaran Wajib Pajak,
penetapan, dan penagihan.; kemungkinan ketahuan dan penegakan hukum (probability
of detection and level of penalties). Hal ini pada hakikatnya
terkait dengan penegakan hukum pajak atau tax law enforcement serta tingginya
tarif pajak, rasa keadilan yang tak terpenuhi dan pemanfaatan dana pajak.
Subyek Pajak
Subyek Pajak adalah orang yang dituju oleh UU untuk
dikenakan pajak. Subyek pajak berkenaan dengan penghasilan yang
diperolehnya dalam tahun pajak. Subyek pajak meliputi orang pribadi,
warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan, badan dan bentuk usaha
tetap. Yang dimaksud dengan Bentuk Usaha Tetap (BUT atau dalam
bahasa Inggris: permanent establishment) adalah bentuk usaha
yang dipergunakan olehorang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia
atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga)
hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, atau badan yang tidak
didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, untuk menjalankan
usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia.
Suatu bentuk usaha tetap mengandung pengertian adanya
suatu tempat usaha (place of business) yaitu fasilitas yang dapat
berupa tanah dan gedung termasuk juga mesin-mesin dan peralatan.Tempat
usaha tersebut bersifat Permanen dan digunakan untuk menjalankan usaha
atau melakukan kegiatan dari Orang Pribadi yang tidak bertempat tinggal
atau badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di
Indonesia.
Pengertian bentuk usaha tetap mencakup pula orang
pribadi atau badan selaku agen yang kedudukannya tidak bebas yang
bertindak untuk dan atas nama orang pribadi atau badan yang tidak
bertempat tinggal atau tidak bertempat kedudukan di Indonesia. Orang
pribadi yang tidak bertempat tinggal atau badan yang tidak didirikan dan
tidak bertempat kedudukan di Indonesia tidak dapat dianggap mempunyai
bentuk usaha tetap di Indonesia apabila orang pribadi atau badan dalam
menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia menggunakan agen,
broker atau Perantara yang mempunyai kedudukan bebas, asalkan agen atau
perantara tersebut dalam kenyataannya bertindak sepenuhnya dalam rangka
menjalankan perusahaannya sendiri.
Perusahaan Asuransi yang didirikan dan bertempat
kedudukan di luar Indonesia dianggap mempunyai bentuk usaha tetap di
Indonesia apabila perusahaan asuransi tersebut menerima pembayaran Premi
Asuransi di Indonesia atau menanggung risiko di Indonesia melalui pegawai,
perwakilan atau agennya di Indonesia. Menanggung risiko di Indonesia tidak
berarti bahwa peristiwa yang mengakibatkan risiko tersebut terjadi di
Indonesia. Yang perlu diperhatikan adalah bahwa pihak tertanggung
bertempat tinggal, berada atau bertempat kedudukan
di Indonesia. Menurut Undang-Undang Perpajakan Indonesia, bentuk
usaha yang dipergunakan oleh Subjek Pajak Luar Negeri untuk menjalankan
usaha ataumelakukan kegiatan di Indonesia, dapat dikatakan sebagai BUT yang
dapat berupa: tempat kedudukan manajemen; cabang perusahaan; kantor
perwakilan; gedung kantor; pabrik; bengkel; pertambangan dan penggalian
sumber alam; wilayah kerja pengeboran yang digunakan untuk eksplorasi
pertambangan; perikanan, peternakan, pertanian, perkebunan, atau kehutanan;
proyek konstruksi, instalasi, atau proyek perakitan; pemberian jasa dalam bentuk
apapun oleh pegawai atau oleh orang lain, sepanjang dilakukan lebih dari
60 hari dalam jangka waktu 12 bulan; orang ataubadan yang bertindak selaku agen
yang kedudukannya tidak bebas; dan agen ataupegawai dari perusahaan asuransi
yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang
menerima premi asuransi atau menanggung risiko di Indonesia.
Obyek
Pajak
Obyek Pajak adalah sasaran pengenaan pajak dan dasar untuk
menghitung pajak terutang.
2.1.4 Utang Pajak
Pajak dipandang dari segi hukum akan terutang apabila
memenuhi syarat subjektif yang berhubungan dengan objek pajak dan syarat
objektif yang berhubungan dengan subjek pajak. Utang Pajak
menurut faham formal timbul karena perbuatan fiskus,
yaknifiskus menerbitkan SKP. Secara ekstrim, seseorang tidak mempunyai
kewajibanmembayar pajak penghasilan/ pendapatannya jika fiskus belum
menerbitkan SKP.Sedangkan menurut faham materiil utang pajak
timbul karena terpenuhinya ketentuan-ketentuan yang disyaratkan dalam
undang-undang. Terpenuhinya ketentuan dalam undang-undang tersebut disebut
sebagai tatbestand. Misalnya syarat timbulnya utang pajak bagi
seseorang (A) menurut UU PPh 2000 antara lain: Jika si A telah bertempat
tinggal atau berada di Indonesia lebih dari 183 hari dalam jangka waktu
dua belas bulan, dan si A telah mempunyai penghasilan setahun di atas
PTKP, maka sudah timbul utang pajak bagi si A. Dia tidak perlu
menunggu fiskus menerbitkan SKP. Timbulnya utang pajak menurut faham
materiil secara sederhana dapat dikatakan karena Undang-Undang atau
karena tatbestand, yaitu ‘rangkaian dari keadaan-keadaan,
perbuatan-perbuatan dan peristiwa-peristiwa (baik yang feitelijk,
yuridis, persoonlijk maupun zakelijk) yang dapat
menimbulkan utang pajak’. Terutangnya suatu pajak sekurang-kurangnya
harus memenuhi unsur-unsur rumus pajak, yakni adanya tax
base atau dasar pengenaan pajak,tax rate atau
tariff pajak dan adanya tax payer atau Wajib Pajak. Tarif
pajak dikalikan dasar pengenaan pajak akan menghasilkan utang pajak
atau tax liability, yang dapat juga disajikan dan persamaan:
Pajak = Tarif x Dasar Pengenaan Pajak (Tax = Rate x
Base)
Taatbestand
Tatbestand
adalah ‘rangkaian dari keadaan-keadaan, perbuatan-perbuatan dan
peristiwa-peristiwa (baik yang feitelijk, yuridis, persoonlijk maupun zakelijk) yang
dapat menimbulkan utang pajak’.
2.1.5 Hukum Pajak Formal
Beberapa hukum pajak formal yaitu: UU No.28/2007
tentang perubahan ketiga Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, UU No.
16/2000 tentang perubahan kedua dari UU No 6/1983 tentang Ketentuan Umum
dan Tata Cara Perpajakan; UU No 19/2000 Tentang Penagihan Pajak Dan Surat
Paksa; UU No. 20/1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP); UU No.
17/2000 tentang perubahan kedua atas UU No. 7/1983 tentang Pajak
Penghasilan; UU No. 18/2000 tentang perubahan kedua atas UU No. 8/1983
tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang Dan Jasa Dan Pajak Penjualan Atas
Barang Mewah; UU No. 20/2000 tentang perubahan UU No. 21/1997 tentang
Peralihan Hak Atas Tanah Dan Bangunan; UU No. 34/2000 tentang perubahan
atas UU No. 18/1997 tentang Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah; UU No.
17/1985 tentang Bea Dan Material; UU No. 17/1994 tentang perubahan atas UU
No. 12/1985 tentang Pajak Bumi Dan Bangunan; UU No. 14/2002 tentang
Pengadilan Pajak sebagai pengganti UU No. 17/ 1997 tentang Badan
Penyelesaian Sengketa Pajak .
Administrasi
Hukum Pajak
Ilmu administrasi adalah cabang atau disiplin ilmu
sosial yang melakukan studi terhadap”administrasi” sebagai salah satu
fenomena masyarakat modern. Administrasi sebagai objek studi Ilmu
Administrasi paling sedikitnya mempunyai 10 (sepuluh) aspek yang penting
yakni administrasi merupakan suatu fenomena sosial, suatu perwujudan
tertentu di dalam masyarakat (modern). Eksistensi daripada “Administrasi”
ini berkaitan dengan “organisasi (dalam arti moder), artinya:
“administrasi” itu terdapat di dalam suatu “organisasi”. Jadi, barang
siapa hendak mengetahui adanya “administrasi” dalam masyarakat dia harus
mencari terlebih dahulu suatu “organisasi” yang masih hidup; di situ
terdapat administrasi.
2.1.6 Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan
Ketentuan tatacara perpajakan dimulai dengan Surat
Pemberitahuan, SuratSetoran Pajak, Surat Ketetapan Pajak, Surat Tagihan,
Pembukuan / Pemeriksaan,Penyidikan, Surat Paksa, Keberatan, Banding dan
PK. Secara fungsional SPT merupakan sarana komunikasi antara wajib
pajak dan fiskus. Bagi wajib pajak merupakan sarana pertanggungjawaban kewajiban perpajakan
selama satu periode fiskal, sedang bagi fiskus sebagai sarana pamantauan
terhadap pemenuhan kewajiban perpajakan wajib pajak. Secara fisik SPT
adalah formulir yang telah disiapkan fiskus untuk diisi wajib pajak
guna melaporkan pemenuhan kewajiban perpajakannya.
Proses pengisian SPT secara benar dan lengkap sesuai
undang-undangperpajakan merupakan tahap yang penting dalam administrasi pajak,
sebab timbulnya sanksi fiskal baik yang bersifat administratif maupun
pidana dapat berawal dari pengisian SPT yang tidak benar dan tidak
lengkap. Eksistensi SPT dalam sistem perpajakan yang menganut self
assessment merupakan suatu hal yang mutlak, sebab tanpa SPT maka sistem
perpajakan yang menganut self assessment akan berubah menjadi official assessment
dimana perhitungan
jumlah pajak yang terutang hanya akan didasarkan pada perkiraan fiskus
semata-mata. Penetapan oleh fiskus dalam kondisi yang demikian ini
yakni Wajib Pajak tidak menyampaikan SPT walaupun telah ditegur dan
diperingatkandisebut sebagai penetapan secara jabatan atau penetapan secara
ex-officio. Jumlah pajak terutang dalam SKP yang ex-officio dapat
dipastikan berjumlah jauh lebih besar daripada yang seharusnya, karena
perhitungan fiskus hanya didasarkan pada taksiran saja. Tidak
menyampaikan SPT tepat pada waktunya diancam dengan sanksi administrasi
berupa denda administrasi. Tidak menyampaikan SPT atau menyampaikan SPT
yang isinya tidak benar diancam dengan sanksi pidana.
Prosedur pajak (Corporate tax procedures) di
Indonesia berdasarkan UU No. 16 Tahun 2000 menyangkut masalah Due
date for Filing Corporate Tax Returns, atau batas waktu penyampaian
SPT Pajak Penghasilan; Procedures for extending due date for
filing, atau prosedur untuk memperpanjang masa penyampaian SPT; Estimated
tax return atau perkiraan pajak penghasilan yang terutang untuk
tahun depan. Ketentuan ini di Indonesia diatur dalam Pasal 25 UU PPh
2000; Penalties and Interest; Statute of limitations for examination of
returns; Claim for refund procedures atau prosedur untuk
mendapatkan kembali kelebihan pembayaran pajak dan appeal
Procedures to Tax Authority and Court, atau prosedur mengajukan
keberatan ke Direktur Jenderal Pajak dan Pengadilan Pajak.
2.1.7 Peradilan Pajak
Manusia pada dasarnya lahir ke permukaan bumi bebas
dan merdeka, dan pada dirinya melekat hak-hak asasi yang mendasarinya.
Namun dia tidak mungkin hidup seorang diri di tengah-tengah masyarakat,
seperti cerita Robinson Crusoe, seorang pelaut yang terdampar disebuah
pulau kecil. Dia hidup tak berkawan kecuali dengan binatang-binatang, dia
tidak butuh hukum, karena hukum itu baru dibutuhkan dalam suatu pergaulan
hidup manusia. Realitasnya manusia hidup bermasyarakat, dimana didalamnya
ada kepentingan individu dan kepentingan masyarakat antara keduanya selalu berkaitan atau
kadang-kadang terjadi pertentangan. Disinilah pentingnya kehadiran hukum
termasuk didalamnya lembaga peradilan yang berfungsi menyelesaikan
masalah/sengketa diantara pihak, setelah upaya penyelesaian internal
(kemanusiaan, tidak berhasil dicapai kata sepakat/kata damai).
Demikian halnya dengan masalah pajak, praktis
merupakan peradilan kekayaan dari sektor pergaulan hidup manusia ke sektor
organisasi Negara, guna mempertahankan kehidupannya. Untuk mengatur
keharmonisan dalam mengalihkan kekayaan dari individu kepada masyarakat
(negara), diperlukanlah peraturan mengenai perpajakan. Bagaimana bila
terjadi sengketa antara rakyat sebagai individu dan alat-alat negara
(sebagai pemungut/penanggung-jawab pajak misalnya).
Pada mulanya, bila terjadi sengketa antara rakyat
dengan alat-alat Negara, secara umum diselesaikan oleh Pengadilan Negeri
(Umum), yang hasilnya kurang memuaskan, karena perselisihan itu terjadi di
bidang tata usaha Negara.Tetapi setelah lahirnya Undang-undang No.5 Tahun
1986, permasalahan tersebut menjadi kewenangan Peradilan Administrasi
Negara/Peradilan Tata Usaha Negara.
Dengan adanya
undang-undang ini, penyelesaian sengketa pajak masuk dalam
kekuasaan pengadilan, yang akhirnya dapat bermuara ke Mahkamah
Agung. Sejarah hukum ternyata berkehendak lain, dimana kedudukan
dan Kompetensi dikembalikan pada fungsi semula yaitu setelah
diundangkannya Undang-undang No.9 Tahun 1994 (Jo Undang-undang Nomor 6
Tahun 1983 / Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Pasal
27 ayat (1) Undang-undang Nomor 9 Tahun 1994 menyebutkanbahwa Wajib Pajak dapat
mengajukan permohonan hanya kepada Badan Peradilanterhadap Keputusan mengenai
keberatannya yang ditetapkan oleh Direktur JenderalPajak. Namun sebelum Badan
Peradilan Pajak tersebut dibentuk, permohonan Banding tetap diajukan ke
Majelis Pertimbangan Pajak (MPP) yang putusannya bukan merupakan Keputusan
Tata Usaha Negara.
2.2 Sengketa
Pajak dan Penyelesaiannya
Adanya kewajiban bagi masyarakat untuk membayar pajak
terkadang tidak berbanding lurus dengan tingkat kesadaran wajib pajak dalam
mematuhi ketentuan tersebut. Keterbatasan pemerintah melalui aparat penagih
pajaknya juga mengakibatkan munculnya masalah persengketaan di bidang
perpajakan.
Masalah sengketa pajak ini dari masa ke masa
ditanggapi oleh pemerintah yang berkuasa dengan jalan lembaga penyelesaian
sengketa pajak. Pada masa Pemerintahan Hindia Belanda, di negara ini telah ada
badan penyelesaian sengketa pajak yang dibentuk dengan Ordonansi 1915 (Staatsblad Nomor
707) dengan nama Raad van het Beroep voor Belastingzaken (Badan
Banding Administrasi Pajak), yang kemudian diganti dengan Ordonansi 27 Januari
1927, Staatsblad 1927 Nomor 29 tentang Peraturan
Pertimbangan Urusan Pajak (Regeling van het Beroep in
Belastingzaken). Selanjutnya, lembaga tersebut oleh Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1959 diubah menjadi Majelis Pertimbangan Pajak yang tugasnya memberi
keputusan atas surat pemeriksaan banding tentang pajak-pajak negara dan
pajak-pajak daerah. Berdasarkan UU Nomor 6 Tahun 1983, MPP diberlakukan sebagai
badan peradilan pajak yang sah dan tidak bertentangan dengan kekuasaan
kehakiman sebagaimana tercantum dalam UU Nomor 14 Tahun 1970. UU Nomor 6 Tahun
1983 mengatur hal ini dalam Pasal 27 ayat (1) yang berbunyi sebagai berikut.
“Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan banding hanya
kepada badan peradilan pajak terhadap keputusan mengenai keberatannya yang
ditetapkan oleh Direktorat Jenderal Pajak.”
Selanjutnya, ayat (2) pasal yang sama menyebutkan
sebagai berikut.
“Sebelum badan peradilan pajak sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dibentuk, permohonan banding diajukan kepada Majelis Pertimbangan
Pajak, yang putusannya bukan merupakan keputusan Tata Usaha Negara.”
Seiring berkembangnya aturan mengenai pajak dan
semakin meningkatnya potensi sengketa pajak, MPP dianggap sudah tidak memadai
dalam melakukan penyelesaian sengketa pajak. Oleh sebab itu, pemerintah merasa
perlu membentuk lembaga peradilan di bidang perpajakan yang lebih komprehensif
dan dibentuk melalui undang-undang. Tujuannya adalah menjamin hak dan kewajiban
pembayar pajak sesuai dengan undang-undang bidang perpajakan serta memberikan
putusan hukum atas sengketa pajak. Putusan lembaga peradilan pajak dapat
dijadikan pedoman dalam melaksanakan undang-undang perpajakan sehingga
ketentuan-ketentuan di dalamnya dapat memberikan kepastian hukum dan keadilan
bagi semua pihak.
Maka, berdasarkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1997
dibentuklah Badan Penyelesaian Sengketa Pajak (BPSP) yang arah dan tujuan
pembentukannya adalah sebagai berikut.
1. BPSP bertugas memeriksa dan memutus sengketa pajak
berupa:
Banding terhadap
pelaksanaan keputusan pejabat yang berwenang;
Gugatan terhadap pelaksanaan peraturan
perundang-undangan perpajakan di bidang penagihan.
2.
Putusan BPSP bersifat final dan mempunyai kekuasaan eksekutorial dan berkedudukan
hokum yang sama dengan putusan pengadilan yang telah mempunyai
kekuatan hukum tetap.
3.
Pengajuan banding atau gugatan ke BPSP merupakan upaya hukum terakhir bagi
pembayar pajak dan putusannya tidak dapat digugat ke peradilan umum atau
Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN).
Dalam undang-undang tersebut juga ditentukan bahwa
untuk mendapatkan keadilan pengenaan pajak, wajib pajak dapat menempuh
jalur-jalur sebagai berikut.
a. Jalur keberatan pajak dan
banding ke BPSP.
b. Jalur melalui
Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN).
c. Jalur melalui
peradilan umum.
Ditentukan pula keberadaan BPSP sebagai badan
peradilan pajak hanya untuk menyelesaikan sengketa administratif, yaitu dari
segi perhitungan dan akuntansi, bukan mengenai pidana pajak.
Walaupun tidak bertentangan dengan UU Nomor 14 Tahun
1970, BPSP pada kenyataannya belum merupakan badan peradilan yang berpuncak di
Mahkamah Agung. Oleh karena itu, dibutuhkan suatu pengadilan pajak yang sesuai
dengan sistem kekuasaan kehakiman yang berlaku di Indonesia sekaligus mampu
menciptakan keadilan dan kepastian hukum dalam penyelesaian sengketa pajak.
Atas berbagai pertimbangan tersebut, Pemerintah
Republik Indonesia mengesahkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan
Pajak (UU Nomor 14 Tahun 2002). Definisi pengadilan pajak dijelaskan
dalam Pasal 2, yaitu “Pengadilan Pajak adalah badan peradilan yang melaksanakan
kekuasaan kehakiman bagi Wajib Pajak atau penanggung pajak yang mencari
keadilan terhadap sengketa pajak.”
2.3 Dasar Hukum Pengadilan Pajak
Sebagaimana diuraikan pada bab terdahulu, Pengadilan
Pajak dibentuk melalui UU Nomor 14 Tahun 2002. Lembaga ini memiliki
kewenangan untuk memutus perkara mengenai sengketa pajak. Pasal 1 butir 5
undang-undang ini menyebutkan pengertian sengketa pajak seperti di bawah ini.
“Sengketa pajak adalah sengketa yang timbul dalam
bidang perpajakan antara Wajib Pajak atau penanggung pajak dengan Pejabat yang
berwenang sebagai akibat dikeluarkannya keputusan yang dapat diajukan banding
atau gugatan kepada Pengadilan Pajak berdasarkan peraturan
perundang-undangan perpajakan, termasuk gugatan atas pelaksanaan
penagihan berdasarkan Undang- Undang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa.”
Pengadilan pajak merupakan pengadilan tingkat pertama sekaligus
terakhir dalam memeriksa dan memutus sengketa pajak. Kewenangan pengadilan
pajak tertera dalam Bab III tentang Kekuasaan Pengadilan Pajak.
Kekuasaan Pengadilan Pajak dalam memeriksa dan memutus
sengketa pajak meliputi semua jenis sengketa pajak yang dipungut oleh
Pemerintah Pusat, termasuk Bea Masuk dan Cukai, dan pajak yang dipungut oleh
Pemerintah Daerah, berdasarkan peraturan perundangundangan yang berlaku.
2.3.1 Pelaksanaan Pengadilan Pajak di Indonesia
Lahirnya UU Nomor 14 Tahun 2002 menimbulkan kesan
adanya dualisme bahwa seolah-olah Pengadilan Pajak berada di luar kekuasaan
kehakiman yang diatur dalam UU Nomor 14 Tahun 1970. Namun, hal tersebut dapat
ditepis karena UU Nomor 14 Tahun 2002 secara jelas menyatakan bahwa Pengadilan
Pajak merupakan salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman di bidang pemeriksaan
dan pemutusan sengketa di bidang perpajakan. Kasus sengketa pajak yang sampai
pada
tingkat kasasi menjadi kompetensi dari Ketua Muda
Mahkamah Agung Bidang Perdata dan Tata Usaha Negara. Sesuai dengan ketentuan
Pasal 3 UU Nomor 14 Tahun 2002 yang menyatakan bahwa, “Dengan undangundang ini
dibentuk Pengadilan Pajak yang berkedudukan di ibukota Negara,” maka Pengadilan
Pajak hanya ada di ibukota Jakarta. Sama halnya dengan Tax
Court di Amerika Serikat, yang hanya berkedudukan di Washington D.C.
sebagai ibukota negara tersebut. Hal ini berlaku pula di lembaga peradilan
pajak di negara-negara lainnya.
Oleh karena karakteristiknya yang unik, maka sifat
Pengadilan Pajak adalah tidak harus in persona (para pihak
harus dihadirkan). Dalam Pengadilan Pajak yang diperiksa hanyalah dokumen,
yaitu berupa laporan keuangan, rekening bank, data transaksi, mengenai omzet,
dan sebagainya.
Kedudukan Pengadilan Pajak yang hanya bertempat di
Jakarta tidak menjadi penghalang bagi para wajib pajak dan fiskus yang
berdomisili di luar Jakarta dan luar Pulau Jawa untuk dapat menyelesaikan
sengketa pajak masing-masing. Hal ini didasarkan pada ketentuan Pasal 4 (1) UU
Nomor 14 Tahun 2002 yang berbunyi, “Sidang Pengadilan Pajak dilakukan di tempat
kedudukannya dan apabila perlu dapat dilakukan di tempat lain.”
Sementara tempat sidang yang dimaksud dalam pasal tersebut
ditetapkan oleh Ketua Pengadilan Pajak. Dengan demikian, sebagai contoh, bagi
wajib pajak dan fiskus yang bersengketa di Makassar, Majelis Sidang Pengadilan
Pajak dapat bersidang di kota tersebut.
Pelaksanaan Pengadilan Pajak belum sepenuhnya berjalan
lancar. Pada September 2004, seorang pengusaha mengajukan permohonan uji
materiil atau judicial review atas UU Nomor 14 Tahun 2002
kepada Mahkamah Konstitusi. Pemohon merasa dirugikan oleh beberapa ketentuan
yang terdapat dalam undang-undang tersebut dan beberapa pasal ia anggap
bertentangan dengan UUD 1945.
Selain itu, menurutnya, Pengadilan Pajak merupakan
bentuk penggabungan kekuasaan yudikatif di bawah legislatif. Ia berpendapat
bahwa undang-undang ini memuat materi yang melegitimasi kekuasaan pemerintahan
terhadap warga negara. Oleh karena itu, perlu ada kontrol atau pengawasan dari
legislative dan yudikatif terhadap pengadilan pajak. Hakim-hakim Pengadilan
Pajak ia nilai belum diawasi secara baik sehingga warga negara selaku wajib
pajak sering dikorbankan. Sebaiknya, ketergantungan hakim-hakim tersebut pada
Menteri Keuangan harus diputus agar dapat independen dalam memutus sengketa
pajak
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Dari pembahasan pada bab terdahulu, hal-hal yang dapat disimpulkan dalam
makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Dasar
hukum bidang perpajakan Indonesia yang utama adalah Undang-Undang Nomor 6 Tahun
1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU Nomor
6 Tahun 1983) sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000. Sedangkan dasar hukum pembentukan dan
pelaksanaan Pengadilan Pajak adalah Undang- Undang Nomor 14 Tahun 2002
tentang Pengadilan Pajak (UU Nomor 14 Tahun 2002).
2. Sejak
1959, pemerintah telah memiliki badan peradilan pajak, yaitu Majelis
Pertimbangan Pajak (MPP) yang selanjutnya diganti dengan Badan Penyelesaian
Sengketa Pajak (BPSP) pada 1997. Akan tetapi, lembaga-lembaga tersebut belum
merupakan badan peradilan yang berpuncak di Mahkamah Agung. Oleh karena itu,
dibutuhkan suatu badan peradilan pajak yang sesuai dengan sistem kekuasaan
kehakiman yang berlaku di Indonesia sekaligus mampu menciptakan keadilan dan
kepastian hokum dalam penyelesaian sengketa pajak, maka dibentuklah Pengadilan
Pajak pada 2002.
3. Pelaksanaan
Pengadilan Pajak sebagai sebuah badan peradilan sengketa pajak yang independen
belum sepenuhnya terwujud. Banyak pihak berpendapat, dasar hukum yang menjadi
landasan Pengadilan Pajak belum memenuhi rasa keadilan masyarakat,
dalam hal ini para wajib pajak. Selain itu, beberapa pasal
juga dikhawatirkan belum sesuai dengan amanat UUD 1945.
3.2 Saran
Pembentukan suatu peraturan perundang-undangan harus
tidak bertentangan dengan UUD 1945 sehingga pada pelaksanaannya tidak
memunculkan suatu masalah. Lembaga pembuat undang-undang harus memberikan
tafsiran yang jelas atas undang-undang yang dibuatnya untuk menghindari
terjadinya multitafsir oleh masyarakat dalam memahami beberapa pasal dalam
undang-undang.
Rekomendasi yang diberikan oleh para hakim konstitusi
dapat menjadi bahan pertimbangan dalam mengoreksi aturan-aturan yang telah ada
mengenai perpajakan, khususnya Pengadilan Pajak. Dengan demikian, pembahasan
RUU perpajakan yang baru dapat menghasilkan sebuah produk undang-undang yang
berkualitas, mempunyai kepastian hukum, dan sesuai dengan rasa keadilan
masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Handoko, Rukiah. Pengantar
Hukum Pajak: Seri Buku Ajar. Depok: Fakultas Hukum Universitas
Indonesia, 2000.
Indonesia, Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Indonesia, Undang-Undang
tentang Pengadilan Pajak, No. 14 Tahun 2002.
“Pengawasan terhadap Hakim-hakim Pengadilan Pajak
Belum Berjalan.”<http://www.hukumonline.com/detail.asp?id
0 komentar:
Posting Komentar