Ciputat – Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Organisasi
Kemasyarakatan (Ormas) yang telah sampai pada panitia kerja (Panja) DPR RI,
dianggap masih memiliki banyak kelemahan.
Hal tersebut dilontarkan oleh peneliti Wahid Institute, Alamsyah M. Dja’far
dalam Dialog Publik Polemik Seputar RUU Ormas, Jum’at (14/9) sore, di Asrama
Putri PMII Cabang Ciputat.
Dalam pemaparannya, salah satu butir yang bermasalah dari RUU tersebut adalah
tentang adanya larangan organisasi mendapatkan dana asing. Batasan tersebut
muncul akibat “ulah” salah satu LSM asing Greenpeace yang diklaim menerima dana
asing atas hasil judi. “Dana asing itu sebenarnya yang seperti apa? Toh NU,
Muhammadiyah dan ormas lainnya pun dapat dana dari asing. Jadi perlu diteliti
lagi lebih cemat,” tegasnya. Selain itu, RUU Ormas yang juga muncul sebagai
respon atas tindakan-tindakan anarkis yang sering dilakukan beberapa ormas
keagamaan dan tidak berbadan hukum, dianggapnya kurang efektif.
“Sesungguhnya hak untuk berserikat dan berkumpul tanpa perlu mendaftar itu
harus di lindungi. Pendaftaran suatu ormas untuk menjadi badan hukum harus
secara sukarela. Jadi FPI misalnya, mempunyai hak untuk mendaftar maupun
menolak hal itu,” ungkap aktivis yang juga merupakan mantan ketum PMII Komfakda
ini. Terkait dengan kekerasan yang kerap muncul tersebut, Alam menyatakan bahwa
masyarakat masih banyak yang salah dalam memahami kebebasan berdemokrasi.
“Dalam prinsip demokrasi, kekerasan memang diperbolehkan. Tapi harus melalui
mekanisme kontrol undang-undang dan hanya boleh dilakukan oleh aparat, dalam
hal ini kepolisisan saja,” ujarnya. Ia lalu menambahkan bahwa kekerasan yang
terjadi tidak selalu bermula dari organisasi tersebut. Tetapi juga karena
adanya ruang yang diberikan negara.
Bayangkan, sambung Alam, pelaku pembunuhan hanya dijatuhi hukuman enam
bulan penjara. “Hebatnya pelaku pembunuhan seorang pendeta di Medan ini hanya
didera atas delik perbuatan tidak menyenangkan saja,” herannya.
Menurutnya penegakan hukum yang lemah itu, terjadi karena kegagalan negara
dalam menjalankan prinsip keadilan dan bukan karena ketiadaan undang-undang.
“Negara ini banyak bahkan bertebaran undang-undang. Tapi faktor kemauan dan
keberanian dari presiden lah yang berpengaruh. Jadi pemerintah harus lebih
tegas,” jelasnya.
Lalu, RUU ini juga terindikasi akan pelanggaran asas demokrasi dan
mengekang kemerdekaan berkumpul. Pembubaran pemerintah terhadap ormas yang
dianggap menyebarkan paham-paham terlarang (sosialisme, atheisme) dan melakukan
tindakan yang tidak seseuai dengan RUU itu, disebut sebagai upaya mematikan
sikap kritis masyarakat. “Seharusnya yang dapat membubarkan ormas hanyalah
pengadilan. Itu pun harus melalui mekanisme hukum yang tepat. Jadi disana semua
dapat berdebat dan membuktikan kebenaran. RUU ormas sengaja dibuat untuk
menjaring kritisme kita,” tegasnya. Ia pun menyimpulkan bahwa para aktivis
bukan enggan di atur oleh pemerintah. Mereka hanya ingin aturan yang win-win
solution, yakni menguntungkan semua pihak. “Kami ingin diatur oleh
Undang-Undang Perkumpulan, itu pun harus bebas dari intervensi pemerintah,”
tutupnya.
-(Kelebihan RUU Tenetang Pangan)-
Dalam
hitungan hari RUU Pangan akan segera disahkan oleh DPR melalui rapat Paripurna.
Jika jadi disahkan ini adalah peraturan pangan berbentuk undang-undang
yang kedua. Sebelumnya kita mempunyai UU No 7 Tahun 1996 tentang Pangan. Hanya
saja dibanding RUU Pangan yang bakal disahkan Kamis pekan ini mempunyai
kelebihan. Menurut Achmad Surayana, Kepala Badan Ketahanan Pangan, setidaknya
ada lima kelebihan RUU Pangan dibanding dengan UU No 7 Tahun 1996.
Pertama
RUU Pangan memasukkan unsur kedaulatan dan kemandirian pangan dalam
Undang-undang. Penyebutan dua hal ini menandakan bahwa upaya untuk membuat
bangsa ini mandiri dan berdaulat dalam pangan sangatlah serius.
Kedua RUU ini jauh lebuh komperehensif dibanding UU sebelumnya. Hal ini
terlihat dari adanya pengaturan sistem ketahanan pangan, keterjangkauan pangan
dan pemanfaatan pangan. Selain itu RUU ini juga mengatur manajemen pangan ,
pengawasan dan sistem informasi serta penelitian pangan. “RUU Pangan
merubah sekitar sekitar 50% isi dari UU Pangan sebelumnya,” kata Ahmad saat
berbicara di diskusi bulanan Perhimpunan Jurnalis Indonesia (PJI) Selasa
(16/10).
Kelebihan
ketiga adalah RUU ini mengakomodasi perubahan sistem pemerintahan. Dalam
RUU ini pengelolaan pangan kini bersifat desentralisasi. Pemerintah daerah akan
banyak berperan dalam menentukan ketahanan pangan di daerah. Kelebihan ke empat
adalah dalam RUU ini peran masyarakat sangat ditonjolkan. Peran
masyarakat dalam mendukung upaya ketahanan pangan diberikan ruang yang
cukup sehingga sifat pembangunan ketahanan pangan tak melulu tugas pemerintah. Menurut Ahmad kelebihan
yang lain dari RUU dari UU No 7 Tahun 1996 adalah adanya kelembagaan pangan
yang kuat dan berada langsung di bawah presiden. Lembaga ini juga akan
dipisahkan perannya sebagai regulator dan operator. Atas dasar itu Ahmad yakin
bahwa upaya menuju ketahanan pangan selangkah lebih baik ketimbang sebelumya.
0 komentar:
Posting Komentar