Beberapa hari yang lalu terjadi kerusuhan di LP tanjung Gusta yang menyebabkan beberapa tahanan tewas dan ada yang melarikan diri yang hingga saat ini masih buron, tepatnya ialah pada Kamis (11/7). Dipaparkannya, khusus untuk Tanjung Gusta, terpidana korupsi hanya empat dari 2600 lebih penghuni, sedangkan teroris sebanyak 14 orang. Sementara penghuni paling banyak adalah narapidana narkoba yang jumlahnya hampir lebih dari separuh penghuni Tanjung Gusta. Sehingga menurut Amir upaya yang bisa dilakukan sebenarnya ingin mencoba bagaimana upaya rehabilitasi jadi prioritas.
Pemerintah melalui Kementerian Hukum dan Hak Azasi Manusia berencana memindahkan sebagian narapidana di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kelas I Tanjung Gusta, Medan, Sumatra Utara, pascakerusuhan guna mengatasi ketimpangan daya tampung lapas dibandingkan jumlah narapidana alias kelebihan kapasitas.
Menteri Hukum dan HAM Amir Syamsudin mengatakan kelebihan kapasitas penampungan lapas itu disebabkan banyaknya warga binaan terkait kasus narkotika yang mestinya ditampung di panti rehabilitasi justru dimasukkan ke rumah tahanan. Dari 160.000 narapidana yang ditampung di Tanjung Gusta sekitar 45% (72.000 orang) terkait masalah narkotika.
“Saya koordinasikan dengan Badan Narkotika Nasional untuk melakukan langkah khusus mengatasi overcapacity ini dengan memaksimalkan program rehabinistasi. Ini adalah solusi untuk jangka pendek,” tuturnya, Sabtu (13/7).
Dari 72.000 warga binaan di Lapas Tanjung Gusta terkait kasus narkotika hanya 10% (sekitar 7.200 orang) dari mereka yang sepatutnya berada di dalam rumah tahanan. Artinya sekitar 64.800 narapidana narkotika harus dipindahkan ke panti rehabilitasi demi menekan over capacity lembaga pemasyarakatan itu.
Kerusuhan di Lapas Tanjung Gusta yang terjadi pada Kamis (11/7) dipicu krisis listrik dan air bersih serta minimnya fasilitas hidup layak yang diterima napi. Kini ratusan narapidana melarikan diri pascakonflik dan pembakaran di dalam lapas. Kejadian ini menelan lima korban tewas.
Penyebab kemarahan tak hanya itu, tapi juga terkait Peraturan Pemerintah (PP) nomor 99 tahun 2012 yang mengamanatkan pengetatan pemberian hak remisi, asimilasi, dan bebas bersyarat kepada narapidana kasus terorisme, narkotika, dan korupsi. Para warga binaan terkait kasus narkotika menganggap pengetatan ini berlaku bagi seluruh penghuni lapas kasus narkotika padahal tidak untuk pemakai narkotika.
“Sebelum saya datang ke Tanjung Gusta saya kira kerusuhan itu digerakkan oleh narapidana kasus korupsi. Ternyata pelakunya napi narkotika yang mayoritas lebih tepat ada di panti rehabilitasi. Mereka juga terimbas PP 99/2012 karena aparat tidak beri remisi kepada mereka,” ujar Amir kepada wartawan.
Dia menjanjikan selama 3 pekan ke depan ada solusi yang bisa segera diterapkan untuk mengatasi kerusuhan di Tanjung Gusta. Jika tidak masalah ini dikhawatirkan bakal meledakkan konflik yang lebih besar.
Pasalnya tak lama lagi memasuki Agustus dan para narapidana berhak mendapatkan remisi hari raya keagamaan, yakni Idulfitri serta hari kemerdekaan pada 17 Agustus. Kemenkumham juga akan mengevaluasi ulang penerapan substansi PP 99/2012.
"Apa yang terjadi di Tanjung Gusta adalah benih-benih yang ada di seluruh LP di Indonesia. Kita menunggu waktu saja hingga suatu saat terjadi kasus serupa," kata pakar psikologi forensik Indra Giri dalam agenda diskusi di Warung Daun, Jakarta, Sabtu (13/7).
Indra memaparkan, kebutuhan sehari-hari narapidana yang tidak terpenuhi tidak bisa dingkari dan pada dasarnya pemerintah pun tidak mengetahui cara memperlakukan napi agar lebih humanis dan tidak menjadi residivis.
Ketika bicara budaya dalam penjara, Indra menjelaskan, di dalamnya adalah orang-orang yang melakukan kejahatan dan identik dengan kekerasan. Saat hal itu tidak terkelola dengan baik, maka konflik besar akan terjadi.
"Jika tidak dikelola dengan baik, mereka akan membentuk kelompok geng, membenturkan satu sama lain, sehingga konflik suatu saat bisa terjadi," tegasnya.
Mantan Sekretaris Jenderal Kemenkumham, Hasanuddin Massaile menambahkan memang kejadian yang terjadi di lapas tidak bisa dinyatakan sebagai kejadian tunggal. Biasanya pergolakan terjadi akibat adanya masalah yang memang sudah terakumulasi.
"Kita tahu dilapas kasus khusus seperti korupsi mereka punya pengaruh besar. dia kalau merasa haknya tak terpenuhi dia dengan mudah pengaruhi kelompok2-kelompok kekuasaan," ucapnya.
Kalau ada hal yang merugikan bagi napi tertentu akan berdampak dimana pegawai lapas itu biasanya menjadi suatu hal hal eforia yang mengarah pada permainan dilema bila ada aturan yang buat penghuni tidak senang mengikuti kemauan napi tentu tidak tepat sementara jika murni ikuti peraturan akan timbul masalah. Karena itu, lanjut dia, pendekatannya lebih ke bagaimana menarik hati mereka, supaya tidak timbul gejolak.
Selain itu pelayanan lapas yang tidak memenuhi standar minimal kebutuhan manusia juga menjadi masalah tersendiri. Biaya makan saja, papar dia, masih dihitung Rp 8500 per orang, per harinya. Kondisi yang selama ini mungkin diterima ketika ada pemicu lain maka membuat amarah bergejolak.
"Kalau negara maju sarana pegawai lengkap, kalau ada gejolak bisa diatasi. Ada yang mengatakan mengatur lembaga ini memang bismilahirrohmanirohim, artinya berdoa saja supaya tidak ada gejolak," ucapnya.
Ditambahkan, alokasi anggaran Kemenkumham memang sejak dulu diakuinya selalu mendapatkan alokasi paling rendah. Sementara dalam Kemkumham sendiri alokasi permasyarakatan juga paling rendah. Padahal seharusnya alokasi permasyarakatan ini perlu diprioritaskan.
Budayawan, Arswendo Atmowiloto menambahkan, masalah napi dan lapas memang tidak pernah serius ditangani oleh pemerintah dan DPR secara tuntas diselesaikan.
"Keberadaan lapas ini kayak usus buntu. Begitu meletus semuanya ribut. Usus buntu napi ini tiap hari bisa meletus. Kalau tatakrama ini bisa dijalankan semuanya, dengan pengawasan, kayaknya, sebagai mantan napi, menangani napi tidak bisa satu hari. Nanti akan muncul lagi, akan terulang lagi. akan ada terus. Tidak bisa dikeraisin banget, dilonggarin juga tidak bisa. Intinya adalah keterbukaan saja dan komunikasi," paparnya.(arif35)
0 komentar:
Posting Komentar