Minggu, 21 Juli 2013
UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO 22 TAHUN 2001 TENTANG MINYAK GAS DAN BUMI
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang :
a.
bahwa pembangunan nasional harus diarahkan kepada terwujudnya kesejahteraan rakyat dengan
melakukan reformasi di segala bidang kehidupan berbangsa dan bernegara berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945;
b.
bahwa minyak dan gas bumi merupakan sumber daya alam strategis tidak terbarukan yang dikuasai
oleh negara serta merupakan komoditas vital yang menguasai hajat hidup orang banyak dan
mempunyai peranan penting dalam perekonomian nasional sehingga pengelolaannya harus dapat
secara maksimal memberikan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat;
c.
bahwa kegiatan usaha minyak dan gas bumi mempunyai peranan penting dalam memberikan nilai
tambah secara nyata kepada pertumbuhan ekonomi nasional yang meningkat dan berkelanjutan;
d.
bahwa Undang-Undang Nomor 44 Prp. Tahun 1960 tentang Pertambangan Minyak dan Gas Bumi,
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1962 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 1962 tenteng Kewajiban Perusahaan Minyak Memenuhi Kebutuhan Dalam
Negeri, dan Undang-Undang Nomar 8 Tahun 1971 tentang Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas
Bumi Negara sudah tidak sesuai Iagi dengan perkembangan usaha pertambangan minyak dan gas
bumi;
e.
bahwa dengan tetap mempertimbangkan perkembangan nasional maupun internasional dibutuhkan
perubahan peraturan perundangundangan tentang Pertambangan Minyak den Gas Bumi yang dapat
menciptakan kegiatan usaha minyak dan gas bumi yang mandiri, andal, transparan, berdaya saing,
efisien, dan berwawasan pelestarian Lingkungan, serta mendorong perkembangan potensi dan peranan
nasional;
f.
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan
huruf e tersebut di atas soda untuk memberikan Iandasan hukum bagi Iangkah-langkah pembaruan dan
penataan atas penyelenggaraan pengusahaan minyak dan gas bumi, maka perlu membentuk Undang-
Undang tentang Minyak dan Gas Bumi;
Mengingat :
1.
Pasal 5 ayat (1); Pasal 20 ayat (1), ayat (2), ayat (4), dan ayat (5); Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3)
Undang-Undang Dasar 1945;
2.
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XV/MPR/1998 tentang
Penyelenggaraan Otonomi Daerah; Pengaturan, Pembagian, dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional
yang Berkeadilan; serta Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah dalam Kerangka Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
Dengan persetujuan bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
UNDANG-UNDANG TENTANG MINYAK DAN GAS BUMI.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan:
1.
Minyak Bumi adalah hasil proses alami berupa hidrokarbon yang dalam kondisi tekanan dan
temperatur atmosfer berupa fasa cair atau padat, termasuk aspal, lilin mineral atau ozokerit, dan
bitumen yang diperoleh dan proses penambangan, tetapi tidak termasuk batubara atau endapan
hidrokanbon lain yang berbentuk padat yang diperoleh dari kegiatan yang tidak berkaitan dengan
kegiatan usaha minyak dan gas bumi.
2.
Gas Bumi adalah hasil proses alami berupa hidrokarbon yang dalam kondisi tekanan dan temperatur
atmosfer berupa fasa gas yang diperoleh dan proses penambangan minyak dan gas bumi.
3.
Minyak dan Gas Bumi adalah Minyak Bumi dan Ga s Bumi.
4.
Bahan Bakar Minyak adalah bahan bakar yang berasal dan/atau diolah dari Minyak Bumi.
5.
Kuasa Pertambangan adalah wewenang yang diberikan Negara kepada Pemerintah untuk
menyelenggarakan kegiatan Eksplorasi dan Eksploitasi.
6.
Survei Umum adalah kegiatan lapangan yang meliputi pengumpulan, analisis, dan penyajian data yang
berhubungan dengan informasi kondisi geologi untuk memperkirakan letak dan potensi sumber daya
Minyak dan Gas Bumi di luar Wilayah Kerja.
7.
Kegiatan Usaha Hulu adalah kegiatan usaha yang berintikan atau bertumpu pada kegiatan usaha
Eksplorasi dan Eksploitasi.
8.
Eksplorasi adalah kegiatan yang bertujuan memperoleh informasi mengenai kondisi geologi untuk
menemukan dan memperoleh perkiraan cadangan Minyak dan Gas Bumi di Wilayah Kerja yang
ditentukan.
9.
Eksploitasi adalah rangkaian kegiatan yang bertujuan untuk menghasilkan Minyak dan Gas Bumi dan
Wilayah Kerja yang ditentukan, yang terdiri atas pengeboran dan penyelesaian sumur, pembangunan
sarana pengangkutan, penyimpanan, dan pengolahan untuk pemisahan dan pemurnian minyak dan gas
bumi di lapangan serta kegiatan lain yang mendukungnya.
10. Kegiatan Usaha Hilir adalah kegiatan usaha yang berintikan atau bertumpu pada kegiatan usaha
Pengolahan, Pengangkutan, Penyimpanan, dan/atau Niaga.
11. Pengolahan adalah kegiatan memurnikan, memperoleh bagian-bagian, mempertinggi mutu, dan
mempertinggi nilai tambah Minyak Bumi dan/atau Gas Bumi, tetapi tidak termasuk pengolahan
lapangan.
12. Pengangkutan adalah kegiatan pemindahan Minyak Bumi, Gas bumi, dan/atau hasil olahannya dari
Wilayah Kerja atau dari tempat penampungan dan Pengolahan, termasuk pengangkutan Gas Bumi
melalui pipa transmisi dan distribusi.
13. Penyimpanan adalah kegiatan penerimaan, pengumpulan, penampungan, dan pengeluaran Minyak
Bumi dan/atau Gas Bumi.
14. Niaga adalah kegiatan pembelian, penjualan, ekspor, impor Minyak Bumi dan/atau hasil olahannya,
termasuk Niaga Gas Bumi melalui pipa.
15. Wilayah Hukum Pertambangan Indonesia adalah seluruh wilayah daratan, perairan, dan landas
kontinen Indonesia.
16. Wilayah Kerja
adalah daerah tertentu di dalam Wilayah Hukum Pertambangan Indonesia untuk
pelaksanaan Eksplorasi dan Eksploitasi.
17. Badan Usaha adalah Perusahaan berbentuk badan hukum yang menjalankan jenis usaha bersifat tetap,
terus-menerus dan didirikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku serta bekerja
dan berkedudukan dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
18. Bentuk Usaha Tetap adalah badan usaha yang didirikan dan berbadan hukum di luar wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia yang melakukan kegiatan di wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia dan wajib mematuhi peratunan perundang-undangan yang berlaku di Republik Indonesia.
19. Kontrak Kerja Sama adalah Kontrak Bagi Hasil atau bentuk kontrak kerja sama lain dalam kegiatan
Eksplorasi dan Eksploitasi yang lebih menguntungkan Negara dan hasilnya dipergunakan untuk
sebesar-besar kemakmuran rakyat.
20. Izin Usaha adalah izin yang diberikan kepada Badan Usaha untuk melaksanakan Pengolahan,
Pengangkutan, Penyimpanan dan/atau Niaga dengan tujuan memperoleh keuntungan dan/atau laba.
21. Pemerintah Pusat, selanjutnya disebut Pemerintah, adalah perangkat Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang terdiri dan Presiden beserta para Menteri.
22. Pemerintah Daerah adalah Kepala Daerah beserta perangkat Daerah Otonom yang lain sebagai Badan
Eksekutif Daerah.
23. Badan Pelaksana adalah suatu Badan yang dibentuk untuk melakukan pengendalian Kegiatan Usaha
Hulu di bidang Minyak dan Gas Bumi.
24. Badan Pengatur adalah suatu Badan yang dibentuk untuk melakukan pengaturan dan pengawasan
terhadap penyediaan dan pendistribusian Bahan Bakar Minyak dan Gas Bumi pada Kegiatan Usaha
Hilir.
25. Menteri adalah Menteri yang bidang tugas dan tanggung jawabnya meliputi kegiatan usaha Minyak
dan Gas Bumi.
BAB II
AZAS DAN TUJUAN
Pasal 2
Penyelenggaraan kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi yang diatur dalam Undang-undang ini berasaskan
ekonomi kerakyatan, keterpaduan, manfaat, keadilan, keseimbangan, pemerataan, kemakmuran bersama
dan kesejahteraan rakyat banyak, keamanan, keselamatan, dan kepastian hukum serta berwawasan
lingkungan.
Pasal 3
Penyelenggaraan kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi bertujuan:
a.
menjamin efektivitas pelaksanaan dan pengendalian kegiatan usaha Eksplorasi dan Eksploitasi secara
berdaya guna, berhasil guna, serta berdaya saing tinggi dan berkelanjutan atas Minyak dan Gas Bumi
milik negara yang strategis dan tidak terbarukan melalui mekanisme yang terbuka dan transparan;
b.
menjamin efektivitas pelaksanaan dan pengendalian usaha Pengolahan, Pengangkutan, Penyimpanan,
dan Niaga secara akuntabel yang diselenggarakan melalui mekanisme persaingan usaha yang wajar,
sehat, dan transparan;
c.
menjamin efisiensi dan efektivitas tersedianya Minyak Bumi dan Gas Bumi, baik sebagai sumber
energi maupun sebagai bahan baku, untuk kebutuhan dalam negeri;
d.
mendukung dan menumbuhkembangkan kemampuan nasional untuk lebih mampu bersaing di tingkat
nasional, regional, dan internasional;
e.
meningkatkan pendapatan negara untuk memberikan kontribusi yang sebesar-besarnya bagi
perekonomian nasional dan mengembangkan serta memperkuat posisi industri dan perdagangan
Indonesia;
f.
menciptakan lapangan kerja, meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat yang adil dan
merata, serta tetap menjaga kelestarian lingkungan hidup.
BAB III
PENGUASAAN DAN PENGUSAHAAN
Pasal 4
(1) Minyak dan Gas Bumi sebagai sumber daya alam strategis tak terbarukan yang terkandung di dalam
Wilayah Hukum Pertambangan Indonesia merupakan kekayaan nasional yang dikuasai oleh negara.
(2) Penguasaan oleh negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diselenggarakan oleh Pemerintah
sebagai pemegang Kuasa Pertambangan.
(3) Pemerintah sebagai pemegang Kuasa Pertambangan membentuk Badan Pelaksana sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 1 angka 23.
Pasal 5
Kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi terdini atas:
1.
Kegiatan Usaha Hulu yang mencakup:
a.
Eksplorasi;
b.
Eksploitasi.
2.
Kegiatan Usaha Hilir yang mencakup:
a.
Pengolahan;
b.
Pengangkutan;
c.
Penyimpanan;
d.
Niaga.
Pasal 6
(1) Kegiatan Usaha Hulu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 angka 1 dilaksanakan dan dikendalikan
melalui Kontrak Kerja Sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 19.
(2) Kontrak Kerja Sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) paling sedikit memuat persyaratan:
a.
kepemilikan sumber daya alam tetap di tangan Pemerintah sampai pada titik penyerahan;
b.
pengendalian manajemen operasi berada pada Badan Pelaksana;
c.
modal dan risiko seluruhnya ditanggung Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap.
Pasal 7
(1) Kegiatan Usaha Hilir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 angka 2 dilaksanakan dengan Izin Usaha
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 20.
(2) Kegiatan Usaha Hilir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 angka 2 diselenggarakan melalui
mekanisme persaingan usaha yang wajar, sehat, dan transparan.
Pasal 8
(1) Pemerintah memberikan prioritas terhadap pemanfaatan Gas Bumi untuk kebutuhan dalam negeri dan
bertugas menyediakan cadangan strategis Minyak Bumi guna mendukung penyediaan Bahan Bakar
Minyak dalam negeri yang diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
(2) Pemerintah wajib menjamin ketersediaan dan kelancaran pendistribusian Bahan Bakar Minyak yang
merupakan komoditas vital dan menguasai hajat hidup orang banyak di seluruh wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
(3) Kegiatan usaha Pengangkutan Gas Bumi melalui pipa yang menyangkut kepentingan umum,
pengusahaannya diatur agar pemanfaatannya terbuka bagi semua pemakai.
(4)
Pemerintah bertanggung jawab atas pengaturan dan pengawasan kegiatan usaha sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3) yang pelaksanaannya dilakukan oleh Badan Pengatur.
Pasal 9
(1) Kegiatan Usaha Hulu dan Kegiatan Usaha Hilir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 angka 1 dan
angka 2 dapat dilaksanakan oleh :
a.
badan Usaha yang berbentuk:
b.
badan usaha milik negara;
c.
badan usaha milik daerah;
d.
koperasi;
e.
badan usaha swasta.
(2) Bentuk Usaha Tetap hanya dapat melaksanakan Kegiatan Usaha Hulu.
Pasal 10
(1)
Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap yang melakukan Kegiatan Usaha Hulu dilarang melakukan
Kegiatan Usaha Hilir.
(2) Badan Usaha yang melakukan Kegiatan Usaha Hilir tidak dapat melakukan Kegiatan Usaha Hulu.
BAB IV
KEGIATAN USAHA HULU
Pasal 11
(1) Kegiatan Usaha Hulu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 angka 1 dilaksanakan oleh Badan Usaha
atau Bentuk Usaha Tetap berdasarkan Kontrak Kerja Sama dengan Badan Pelaksana.
(2) Setiap Kontrak Kerja Sama yang sudah ditandatangani harus diberitahukan secara tertulis kepada
Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.
(3) Kontrak Kerja Sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib memuat paling sedikit ketentuanketentuan
pokok yaitu:
a.
penerimaan negara;
b.
Wilayah kerja dan pengembaliannya;
c.
kewajiban pengeluaran dana;
d.
perpindahan kepemilikan hasil produksi atas Minyak dan Gas Bumi;
e.
jangka waktu dan kondisi perpanjangan kontrak;
f.
penyelesaian perselisihan;
g.
kewajiban pemasokan Minyak Bumi dan/atau Gas Bumi untuk kebutuhan dalam negeri;
h.
berakhirnya kontrak;
i.
kewajiban pasca operasi pertambangan;
j.
keselamatan dan kesehatan kerja;
k.
pengelolaan lingkungan hidup;
l.
pengalihan hak dan kewajiban;
m.
pelaporan yang diperlukan;
n.
rencana pengembangan lapangan;
o.
pengutamaan pemanfaatan barang dan jasa dalam negeri;
p.
pengembangan masyarakat sekitarnya dan jaminan hak-hak masyarakat adat;
q.
pengutamaan penggunaan tenaga kerja Indonesia.
Pasal 12
(1) Wilayah Kerja yang akan ditawarkan kepada Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap ditetapkan oleh
Menteri setelah berkonsultasi dengan Pemerintah Daerah.
(3) Penawaran Wilayah Kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan oleh Menteri.
(4) Menteri menetapkan Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap yang diberi wewenang melakukan
kegiatan usaha Eksplorasi dan Eksploitasi pada Wilayah Kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (2).
Pasal 13
(1) Kepada setiap Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap hanya diberikan 1 (satu) Wilayah Kerja.
(2) Dalam hal Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap mengusahakan beberapa Wilayah Kerja, harus
dibentuk badan hukum yang terpisah untuk setiap Wilayah Kerja.
Pasal 14
(1) Jangka waktu Kontrak Kerja Sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) dilaksanakan paling
lama 30 (tiga puluh) tahun.
(2) Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap dapat mengajukan perpanjangan jangka waktu Kontrak Kerja
Sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) paling lama 20 (dua puluh) tahun.
Pasal 15
(1) Kontrak Kerja Sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) terdiri atas jangka waktu
Eksplorasi dan jangka waktu Eksploitasi.
(2) Jangka waktu Eksplorasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan 6 (enam) tahun dan
dapat diperpanjang hanya 1 (satu) kali periode yang dilaksanakan paling lama 4 (empat) tahun.
Pasal 16
Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap wajib mengembalikan sebagian Wilayah Kerjanya secara bertahap
atau seluruhnya kepada Menteri.
Pasal 17
Dalam hal Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap yang telah mendapatkan persetujuan pengembangan
lapangan yang pertama dalam suatu Wilayah Kerja tidak melaksanakan kegiatannya dalam jangka waktu
paling lama 5 (lima) tahun sejak berakhirnya jangka waktu Eksplorasi wajib mengembalikan seluruh
Wilayah Kerjanya kepada Menteri.
Pasal 18
Pedoman, tata cara, dan syarat-syarat mengenai Kontrak Kerja Sama, penetapan dan penawaran Wilayah
Kerja, perubahan dan perpanjangan Kontrak Kerja Sama, serta pengembalian Wilayah Kerja sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, Pasal 16, dan Pasal 17 diatur lebih lanjut
dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 19
(1) Untuk menunjang penyiapan Wilayah Kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1), dilakukan
Survei Umum yang dilaksanakan oleh atau dengan izin Pemerintah.
(2) Tata cara dan persyaratan pelaksanaan Survei Umum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur
lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 20
(1) Data yang diperoleh dari Survei Umum dan/atau Eksplorasi dan Eksploitasi adalah milik negara yang
dikuasai oleh Pemerintah.
(2) Data yang diperoleh Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap di Wilayah Kerjanya dapat digunakan oleh
Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap dimaksud selama jangka waktu Kontrak Kerja Sama.
(3) Apabila Kontrak Kerja Sama berakhir, Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap wajib menyerahkan
seluruh data yang diperoleh selama masa Kontrak Kerja Sama kepada Menteri melalui Badan
Pelaksana.
(4) Kerahasiaan data yang diperoleh Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap di Wilayah Kerja berlaku
selama jangka waktu yang ditentukan.
(5) Pemerintah mengatur, mengelola, dan memanfaatkan data sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan
ayat (2) untuk merencanakan penyiapan pembukaan Wilayah Kerja.
(6) Pelaksanaan ketentuan mengenai kepemilikan, jangka waktu penggunaan, kerahasiaan, pengelolaan,
dan pemanfaatan data sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5)
diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 21
(1) Rencana pengembangan lapangan yang pertama kali akan diproduksikan dalam suatu Wilayah Kerja
wajib mendapatkan persetujuan Menteri berdasarkan pertimbangan dari Badan Pelaksana dan setelah
berkonsultasi dengan Pemerintah Daerah Provinsi yang bersangkutan.
(2) Dalam mengembangkan dan memproduksi lapangan Minyak dan Gas Bumi, Badan Usaha atau Bentuk
Usaha Tetap wajib melakukan optimasi dan melaksanakannya sesuai dengan kaidah keteknikan yang
baik.
(3) Ketentuan mengenai pengembangan lapangan, pemroduksian cadangan Minyak dan Gas Bumi, dan
ketentuan mengenai kaidah keteknikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih
lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 22
(1) Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap wajib menyerahkan paling banyak 25% (dua puluh lima
persen) bagiannya dari hasil produksi Minyak Bumi dan/atau Gas Bumi untuk memenuhi kebutuhan
dalam negeri.
(2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Pemerintah.
BAB V
KEGIATAN USAHA HILIR
Pasal 23
(1) Kegiatan Usaha Hilir sebagaimana di maksud dalam Pasal 5 angka 2, dapat dilaksanakan oleh Badan
Usaha setelah mendapat Izin Usaha dari Pemerintah.
(2) lzin Usaha yang diperlukan untuk kegiatan usaha Minyak Bumi dan kegiatan usaha Gas Bumi
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibedakan atas:
a. Izin Usaha Pengolahan;
b. Izin Usaha Pengangkutan;
c. Izin Usaha Penyimpanan;
d. lzin Usaha Niaga.
(3) Setiap Badan Usaha dapat diberi lebih dari 1 (satu) lzin Usaha sepanjang tidak bertentangan dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 24
(1) Izin Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 paling sedikit memuat:
a. nama penyelenggara;
b. jenis usaha yang diberikan;
c. kewajiban dalam penyelenggaraan pengusahaan;
d. syarat-syarat teknis.
(2) Setiap lzin Usaha yang telah diberikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat digunakan
sesuai dengan peruntukannya.
Pasal 25
(1) Pemerintah dapat menyampaikan teguran tertulis, menangguhkan kegiatan, membekukan kegiatan,
atau mencabut Izin Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 berdasarkan:
a. pelanggaran terhadap salah satu persyaratan yang tencantum dalam Izin Usaha;
b. pengulangan pelanggaran atas persyaratan Izin Usaha;
c. tidak memenuhi persyaratan yang ditetapkan berdasarkan Undang-undang ini.
(2) Sebelum melaksanakan pencabutan Izin Usaha sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Pemerintah
terlebih dahulu memberikan kesempatan selama jangka waktu tertentu kepada Badan Usaha untuk
meniadakan pelanggaran yang telah dilakukan atau pemenuhan persyaratan yang ditetapkan.
Pasal 26
Terhadap kegiatan pengolahan Lapangan, pengangkutan, penyimpanan, dan penjualan hasil produksi
sendiri sebagai kelanjutan dari Eksplorasi dan Eksploitasi yang dilakukan Badan Usaha atau Bentuk Usaha
Tetap tidak diperlukan Izin Usaha tersendiri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23.
Pasal 27
(1) Menteri menetapkan rencana induk jaringan transmisi dan distribusi gas bumi nasional.
(2) Terhadap Badan Usaha pemegang Izin Usaha Pengangkutan Gas Bumi melalui jaringan pipa hanya
dapat diberikan ruas Pengangkutan tertentu.
(3) Terhadap Badan Usaha pemegang Izin Usaha Niaga Gas Bumi melalui jaringan pipa hanya dapat
diberikan wilayah Niaga tertentu.
Pasal 28
(1) Bahan Bakar Minyak serta hasil olahan tertentu yang dipasarkan di dalam negeri untuk memenuhi
kebutuhan masyarakat wajib memenuhi standar dan mutu yang ditetapkan oleh Pemerintah.
(2) Harga Bahan Bakar Minyak dan harga Gas Bumi diserahkan pada mekanisme persaingan usaha yang
sehat dan wajar.
(3) Pelaksanaan kebijaksanaan harga sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak mengurangi tanggung
jawab sosial Pemerintah terhadap golongan masyarakat tertentu.
Pasal 29
(1) Pada wilayah yang mengalami kelangkaan Bahan Bakar Minyak dan pada daerah-daerah terpencil,
fasilitas Pengangkutan dan Penyimpanan termasuk sfasilitas penunjangnya, dapat dimanfaatkan
bersama pihak lain.3.
(2) Pelaksanaan pemanfaatan fasilitas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur oleh Badan Pengatur
dengan tetap mempertimbangkan aspek teknis dan ekonomis.
Pasal 30
Ketentuan mengenai usaha Pengolahan, Pengangkutan, Penyimpanan, dan Niaga sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 23, Pasal 24, Pasal 25, Pasal 26, Pasal 27, Pasal 28, dan Pasal 29 diatur lebih lanjut dengan
Peraturan Pemerintah.
BAB VI
PENERIMAAN NEGARA
Pasal 31
(1) Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap yang melaksanakan Kegiatan Usaha Hulu sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) wajib membayar penerimaan negara yang berupa pajak dan
penerimaan negara bukan pajak.
(2) Penerimaan negara yang berupa pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terdiri atas:
a.
pajak-pajak;
b.
bea masuk, dan pungutan lain atas impor dan cukai;
c.
pajak daerah dan retribusi daerah.
(3)
Penerimaan negara bukan pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terdiri atas:
a.
bagian negara;
b.
pungutan negara yang berupa iuran tetap dan iuran Eksplorasi dan Eksploitasi;
c.
bonus-bonus.
(4) Dalam Kontrak Kerja Sama ditentukan bahwa kewajiban membayar pajak sebagaimana dimaksud
dalam ayat (2) huruf a dilakukan sesuai dengan:
a.
ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan yang berlaku pada saat Kontrak
Kerja Sama ditandatangani; atau
b.
ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan yang berlaku.
(5) Ketentuan mengenai penetapan besarnya bagian negara, pungutan negara, dan bonus sebagaimana
dimaksud dalam ayat (3), serta tata cara penyetorannya diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Pemerintah.
(6) Penerimaan negara bukan pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) merupakan penerimaan
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, yang pembagiannya ditetapkan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 32
Badan Usaha yang melaksanakan Kegiatan Usaha Hilir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 wajib
membayar pajak, bea masuk dan pungutan lain atas impor, cukai, pajak daerah dan retribusi daerah, serta
kewajiban lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
BAB VII
HUBUNGAN KEGIATAN USAHA MINYAK DAN
GAS BUMI DENGAN HAK ATAS TANAH
Pasal 33
(1) Kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dilaksanakan di dalam
Wilayah Hukum Pertambangan Indonesia.
(2) Hak atas Wilayah Kerja tidak meliputi hak atas tanah permukaan bumi.
(3) Kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi tidak dapat dilaksanakan pada:
a.
tempat pemakaman, tempat yang dianggap suci, tempat umum, sarana dan prasarana umum, cagar
alam, cagar budaya, serta tanah milik masyarakat adat;
b.
lapangan dan bangunan pertanahan negara serta tanah disekitarnya;
c.
bangunan bersejarah dan simbol-simbol negara;
d. bangunan rumah tinggal, atau pabrik beserta tanah pekarangan sekitarnya,
kecuali dengan izin dari Pemerintah, persetujuan masyarakat, dan perseorangan yang berkaitan dengan
hal tersebut.
(4)
Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap yang bermaksud melaksanakan kegiatannya dapat
memindahkan bangunan, tempat umum, sarana dan prasarana umum sebagaimana dimaksud dalam
ayat (3) huruf a dan huruf b setelah terlebih dahulu memperoleh izin dari instansi yang berwenang.
Pasal 34
(1)
Dalam hal Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap akan menggunakan bidang-bidang tanah hak atau
tanah Negara di dalam Wilayah Kerjanya, Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap yang bersangkutan
wajib terlebih dahulu mengadakan penyelesaian dengan pemegang hak atau pemakai tanah di atas
tanah Negara, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2) Penyelesaian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan secara musyawarah dan mufakat
dengan cara jual beli, tukar-menukar, ganti rugi yang layak, pengakuan atau bentuk penggantian lain
kepada pemegang hak atau pemakai tanah di atas tanah negara.
Pasal 35
Pemegang hak atas tanah diwajibkan mengizinkan Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap untuk
melaksanakan Eksplorasi dan Eksploitasi di atas tanah yang bersangkutan, apabila:
a.
sebelum kegiatan dimulai, terlebih dahulu memperlihatkan Kontrak Kerja Sama atau salinannya yang
sah, serta memberitahukan maksud dan tempat kegiatan yang akan dilakukan;
b.
dilakukan terlebih dahulu penyelesaian atau jaminan penyelesaian yang disetujui oleh pemegang hak
atas tanah atau pemakai tanah di atas tanah negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34.
Pasal 36
(1) Dalam hal Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap telah diberikan Wilayah Kerja, maka terhadap
bidang-bidang tanah yang dipergunakan langsung untuk kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi dan
areal pengamanannya, diberikan hak pakai sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku dan wajib memelihara serta menjaga bidang tanah tersebut.
(2) Dalam hal pemberian Wilayah Kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi areal yang luas di
atas tanah Negara, maka bagian-bagian tanah yang tidak digunakan untuk kegiatan usaha Minyak dan
Gas Bumi, dapat diberikan kepada pihak lain oleh menteri yang tugas dan tanggung jawabnya meliputi
bidang agraria atau pertanahan dengan mengutamakan masyarakat setempat setelah mendapat
rekomendasi dari Menteri.
Pasal 37
Ketentuan mengenai tata cara penyelesaian penggunaan tanah hak atau tanah negara sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 35 diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
BAB VIII
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
Bagian Kesatu
Pembinaan
Pasal 38
Pembinaan terhadap kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi dilakukan oleh Pemerintah.
Pasal 39
(1) Pembinaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 meliputi:
a. penyelenggaraan urusan Pemerintah di bidang kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi;
b. penetapan kebijakan mengenai kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi berdasarkan cadangan dan
potensi sumber daya Minyak dan Gas Bumi yang dimiliki, kemampuan produksi, kebutuhan
Bahan Bakar Minyak dan Gas Bumi dalam negeri, penguasaan teknologi, aspek lingkungan dan
pelestarian lingkungan hidup, kemampuan nasional, dan kebijakan pembangunan.
(2) Pelaksanaan pembinaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan secara cermat, transparan,
dan adil terhadap pelaksanaan kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi.
Pasal 40
(1) Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap menjamin standar dan mutu yang berlaku sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku serta menerapkan kaidah keteknikan yang baik.
(2) Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap menjamin keselamatan dan kesehatan kerja serta pengelolaan
lingkungan hidup dan menaati ketentuan peraturan perundangan-undangan yang berlaku dalam
kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi.
(3) Pengelolaan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) berupa kewajiban untuk
melakukan pencegahan dan penanggulangan pencemaran serta pemulihan atas terjadinya kerusakan
lingkungan hidup, termasuk kewajiban pascaoperasi pertambangan.
(4) Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap yang melaksanakan kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 harus mengutamakan pemanfaatan tenaga kerja setempat,
barang, jasa, serta kemampuan rekayasa dan rancang bangun dalam negeri secara transparan dan
bersaing.
(5)
Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap yang melaksanakan kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ikut bertanggung jawab dalam mengembangkan lingkungan dan
masyarakat setempat.
(6) Ketentuan mengenai keselamatan dan kesehatan kerja serta pengelolaan Lingkungan hidup
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Kedua
Pengawasan
Pasal 41
(1) Tanggung jawab kegiatan pengawasan atas pekerjaan dan pelaksanaan kegiatan usaha Minyak dan Gas
Bumi terhadap ditaatinya ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku berada pada
departemen yang bidang tugas dan kewenangannya meliputi kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi dan
departemen lain yang terkait.
(2) Pengawasan atas pelaksanaan Kegiatan Usaha Hulu berdasarkan Kontrak Kerja Sama dilaksanakan
oleh Badan Pelaksana.
(3) Pengawasan atas pelaksanaan Kegiatan Usaha Hilir berdasarkan lzin Usaha dilaksanakan oleh Badan
Pengatur.
Pasal 42
Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (1) meliputi:
a.
konservasi sumber daya dan cadangan Minyak dan Gas Bumi;
b.
pengelolaan data Minyak dan Gas Bumi;
c.
penerapan kaidah keteknikan yang baik;
d.
jenis dan mutu hasil olahan Minyak dan Gas Bumi;
e.
alokasi dan distribusi Bahan Bakar Minyak dan bahan baku;
f.
keselamatan dan kesehatan kerja;
g.
pengelolaan lingkungan hidup;
h.
pemanfaatan barang, jasa, teknologi, dan kemampuan rekayasa dan rancang bangun dalam negeri;
i.
penggunaan tenaga kerja asing;
j.
pengembangan tenaga kerja Indonesia;
k.
pengembangan Lingkungan dan masyarakat setempat;
l.
penguasaan, pengembangan, dan penerapan teknologi Minyak dan Gas Bumi;
m.
kegiatan-kegiatan lain di bidang kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi sepanjang menyangkut
kepentingan umum.
Pasal 43
Ketentuan mengenai pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38, Pasal 39, Pasal
41, dan Pasal 42 diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
BAB IX
BADAN PELAKSANA DAN BADAN PENGATUR
Pasal 44
(1) Pengawasan terhadap pelaksanaan Kontrak Kerja Sama Kegiatan Usaha Hulu sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 5 angka 1 dilaksanakan oleh Badan Pelaksana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat
(3).
(2) Fungsi Badan Pelaksana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) melakukan pengawasan terhadap
Kegiatan Usaha Hulu agar pengambilan sumber daya alam Minyak dan Gas Bumi milik negara dapat
memberikan manfaat dan penerimaan yang maksimal bagi negara untuk sebesar-besar kemakmuran
rakyat.
(3) Tugas Badan Pelaksana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah:
a. memberikan pertimbangan kepada Menteri atas kebijaksanaannya dalam hal penyiapan dan
penawaran Wilayah Kerja serta Kontrak Kerja Sama;
b. melaksanakan penandatanganan Kontrak Kerja Sama;
c. mengkaji dan menyampaikan rencana pengembangan lapangan yang pertama kali akan
diproduksikan dalam suatu Wilayah Kerja kepada Menteri untuk mendapatkan persetujuan;
d. memberikan persetujuan rencana pengembangan lapangan selain sebagaimana dimaksud dalam
huruf c;
e. memberikan persetujuan rencana kerja dan anggaran;
f. melaksanakan monitoring dan melaporkan kepada Menteri mengenai pelaksanaan Kontrak Kerja
Sama;
g. menunjuk penjual minyak bumi dan/atau gas bumi bagian negara yang dapat memberikan
keuntungan sebesar-besarnya bagi negara.
Pasal 45
(1) Badan Pelaksana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) merupakan badan hukum milik negara.
(2)
Badan Pelaksana terdiri atas unsur pimpinan, tenaga ahli, tenaga teknis, dan tenaga administratif.
(3) Kepala Badan Pelaksana diangkat dan diberhentikan oleh Presiden setelah berkonsultasi dengan
Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dan dalam melaksanakan tugasnya bertanggung jawab
kepada Presiden.
Pasal 46
(1) Pengawasan terhadap pelaksanaan penyediaan Bahan Bakar Minyak dan Pengangkutan Gas Bumi
melalui pipa dilakukan oleh Badan Pengatur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (4).
(2) Fungsi Badan Pengatur sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) melakukan pengaturan agar
ketersediaan Bahan Bakar Minyak dan Gas Bumi yang ditetapkan Pemerintah dapat terjamin di
seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia serta meningkatkan pemanfaatan Gas Bumi di
dalam negeri.
(3) Tugas Badan Pengatur sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi pengaturan dan penetapan
mengenai:
a.
ketersediaan Bahan Bakar Minyak;
b.
cadangan Bahan Bakar Minyak nasional;
c.
pemanfaatan fasilitas Pengangkutan dan Penyimpanan Bahan Bakar Minyak;
d.
tarif pengangkutan Gas Bumi melalui pipa;
e.
harga Gas Bumi untuk rumah tangga dan pelanggan kecil;
f.
pengusahaan transmisi dan distribusi Gas Bumi.
(4) Tugas Badan Pengatur sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mencakup juga tugas pengawasan dalam
bidang-bidang sebagaimana dimaksud dalam ayat (3).
Pasal 47
(1) Struktur Badan Pengatur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (4) terdiri atas komite dan bidang.
(2) Komite sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terdiri atas 1 (satu) orang ketua merangkap anggota dan
8 (delapan) orang anggota, yang berasal dan tenaga profesional.
(3) Ketua dan anggota Komite Badan Pengatur sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diangkat dan
diberhentikan oleh Presiden setelah mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Republik
Indonesia.
(4) Badan Pengatur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (4) bertanggung jawab kepada Presiden.
(5) Pembentukan Badan Pengatur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (4) ditetapkan dengan
Keputusan Presiden.
Pasal 48
(1) Anggaran biaya operasional Badan Pelaksana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 didasarkan pada
imbalan (fee) dan Pemerintah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2) Anggaran biaya operasional Badan Pengatur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 didasarkan pada
anggaran pendapatan dan belanja negara dan iuran dari Badan Usaha yang diaturnya sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 49
Ketentuan mengenai struktur organisasi, status, fungsi, tugas, personalia, wewenang dan tanggung jawab
serta mekanisme kerja Badan Pelaksana dan Badan Pengatur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41, Pasal
42, Pasai 43, Pasal 44, Pasal 45, Pasal 46, Pasal 47, dan Pasal 48 diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Pemerintah.
BAB X
PENYIDIKAN
Pasal 50
(1) Selain Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di
lingkungan departemen yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya meliputi kegiatan usaha Minyak
dan Gas Bumi diberi wewenang khusus sebagai Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang Nomon 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana untuk melakukan penyidikan tindak
pidana dalam kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi.
(2) Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berwenang:
a. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan yang diterima berkenaan dengan
tindak pidana dalam kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi;
b. melakukan pemeriksaan terhadap orang atau badan yang diduga melakukan tindak pidana dalam
kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi;
c. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai saksi atau tersangka dalam perkara tindak
pidana kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi;
d. menggeledah tempat dan/atau sarana yang diduga digunakan untuk melakukan tindak pidana
dalam kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi;
e. melakukan pemeriksaan sarana dan prasarana kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi dan
menghentikan penggunaan peralatan yang diduga digunakan untuk melakukan tindak pidana;
f. menyegel dan/atau menyita alat kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi yang digunakan untuk
melakukan tindak pidana sebagai alat bukti;
g. mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara tindak
pidana dalam kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi;
h. menghentikan penyidikan perkara tindak pidana dalam kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi.
(3) Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) memberitahukan dimulainya
penyidikan perkara pidana kepada Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(4) Penyidik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib menghentikan penyidikannya dalam hal
peristiwa sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf a tidak terdapat cukup bukti dan/atau
peristiwanya bukan merupakan tindak pidana.
(5) Pelaksanaan kewenangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dilakukan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
BAB XI
KETENTUAN PIDANA
Pasal 51
(1) Setiap orang yang melakukan Survei Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) tanpa hak
dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling tinggi Rp.
10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
(2) Setiap orang yang mengirim atau menyerahkan atau memindahtangankan data sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 20 tanpa hak dalam bentuk apa pun dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu)
tahun atau denda paling tinggi Rp. 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
Pasal 52
Setiap orang yang melakukan Eksplorasi dan/atau Eksploitasi tanpa mempunyai Kontrak Kerja Sama
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun
dan denda paling tinggi Rp. 60.000.000.000,00 (enam puluh miliar rupiah).
Pasal 53
Setiap orang yang melakukan:
a.
Pengolahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 tanpa lzin Usaha Pengolahan dipidana dengan
pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling tinggi Rp. 50.000.000.000,00 (lima puluh
milyar rupiah);
b.
Pengangkutan sebagaimana dimaksud dalam Pasai 23 tanpa Izin Usaha Pengangkutan dipidana dengan
pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan denda paling tinggi Rp. 40.000.000.000,00 (empat
puluh miliar rupiah);
c.
Penyimpanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 tanpa lzin Usaha Penyimpanan dipidana dengan
pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling tinggi Rp. 30.000.000.000,00 (tiga puluh
miliar rupiah);
d.
Niaga sebagaimana dimaksud dalam Pasai 23 tanpa lzin Usaha Niaga dipidana dengan pidana penjara
paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling tinggi Rp. 30.000.000.000,00 (tiga puluh miliar rupiah).
Pasal 54
Setiap orang yang meniru atau memalsukan Bahan Bakar Minyak dan Gas Bumi dan hasil olahan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun
dan denda paling tinggi Rp. 60.000.000.000,00 (enam puluh miliar rupiah).
Pasal 55
Setiap orang yang menyalahgunakan Pengangkutan dan/atau Niaga Bahan Bakar Minyak yang disubsidi
Pemerintah dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling tinggi Rp.
60.000.000.000,00 (enam puluh miliar rupiah).
Pasal 56
(1) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Bab ini dilakukan oleh atau atas nama Badan
Usaha atau Bentuk Usaha Tetap, tuntutan dan pidana dikenakan terhadap Badan Usaha atau Bentuk
Usaha Tetap dan/atau pengurusnya.
(2) Dalam hal tindak pidana dilakukan oleh Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap, pidana yang
dijatuhkan kepada Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap tersebut adalah pidana denda, dengan
ketentuan paling tinggi pidana denda ditambah sepertiganya.
Pasal 57
(1) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 adalah pelanggaran.
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52, Pasal 53, Pasal 54, dan Pasal 55 adalah
kejahatan.
Pasal 58
Selain ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam Bab ini, sebagai pidana tambahan adalah pencabutan
hak atau perampasan barang yang digunakan untuk atau yang diperoleh dan tindak pidana dalam kegiatan
usaha Minyak dan Gas Bumi.
BAB XII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 59
Pada saat Undang-undang ini berlaku:
a.
dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun dibentuk Badan Pelaksana;
b.
dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun dibentuk Badan Pengatur.
Pasal 60
Pada saat Undang-undang ini berlaku:
a.
dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun, Pertamina dialihkan bentuknya menjadi Perusahaan
Perseroan (Persero) dengan Peraturan Pemerintah;
b.
selama Persero sebagaimana dimaksud dalam huruf a belum terbentuk, Pertamina wajib melaksanakan
kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi serta mengatur dan mengelola kekayaan, pegawai dan hal
penting lainnya yang diperlukan;
c.
saat terbentuknya Persero yang baru, kewajiban Pertamina sebagaimana dimaksud dalam huruf b,
dialihkan kepada Persero yang bersangkutan.
Pasal 61
Pada saat Undang-undang ini berlaku:
a.
Pertamina tetap melaksanakan tugas dan fungsi pembinaan dan pengawasan pengusahaan kontraktor
Eksplorasi dan Eksploitasi termasuk Kontraktor Kontrak Bagi Hasil sampai terbentuknya Badan
Pelaksana;
b.
pada saat terbentuknya Persero sebagai pengganti Pertamina, badan usaha milik negara tersebut wajib
mengadakan Kontrak Kerja Sama dengan Badan Pelaksana untuk melanjutkan Eksplorasi dan
Eksploitasi pada bekas Wilayah Kuasa Pertambangan Pertamina dan dianggap telah mendapatkan lzin
Usaha yang diperlukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 untuk usaha Pengolahan,
Pengangkutan, Penyimpanan, dan Niaga.
Pasal 62
Pada saat Undang-undang ini berlaku Pertamina tetap melaksanakan tugas penyediaan dan pelayanan
Bahan Bakar Minyak untuk keperluan dalam negeri sampai jangka waktu paling lama 4 (empat) tahun;
Pasal 63
Pada saat Undang-undang ini berlaku:
a. dengan terbentuknya Badan Pelaksana, semua hak, kewajiban, dan akibat yang timbul dan Kontrak
Bagi Hasil (Production Sharing Contract) antara Pertamina dan pihak lain beralih kepada Badan
Pelaksana;
b. dengan terbentuknya Badan Pelaksana, kontrak lain yang berkaitan dengan kontrak sebagaimana
tersebut pada huruf a antara Pertamina dan pihak lain beralih kepada Badan Pelaksana;
c. semua kontrak sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b dinyatakan tetap berlaku sampai
dengan berakhirnya kontrak yang bersangkutan;
d. hak, kewajiban, dan akibat yang timbul dari kontrak, perjanjian atau perikatan selain sebagaimana
dimaksud pada huruf a dan huruf b tetap dilaksanakan oleh Pertamina sampai dengan terbentuknya
Persero yang didirikan untuk itu dan beralih kepada Persero tersebut;
e. pelaksanaan perundingan atau negosiasi antara Pertamina dan pihak lain dalam rangka kerja sama
Eksplorasi dan Eksploitasi beralih pelaksanaannya kepada Menteri.
Pasar 64
Pada saat Undang-undang ini berlaku:
a.
badan usaha milik negara, selain Pertamina, yang mempunyai kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi
dianggap telah mendapatkan Izin Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23;
b.
pelaksanaan pembangunan yang pada saat Undang-undang ini berlaku sedang dilakukan badan usaha
milik negara sebagaimana dimaksud pada huruf a tetap dilaksanakan oleh badan usaha milik negara
yang bersangkutan;
c.
dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun, badan usaha milik negara sebagaimana dimaksud pada
huruf a wajib membentuk Badan Usaha yang didirikan untuk kegiatan usahanya sesuai dengan
ketentuan Undang-undang ini;
d.
kontrak atau perjanjian antara badan usaha milik negara sebagaimana dimaksud pada huruf a dan pihak
lain tetap berlaku sampai berakhirnya jangka waktu kontrak atau perjanjian yang bersangkutan.
BAB XIII
KETENTUAN LAIN
Pasal 65
Kegiatan usaha atas minyak atau gas selain yang dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 dan angka 2 sepanjang
belum atau tidak diatur dalam Undang-undang lain, diberlakukan ketentuan undang-undang ini.
BAB XIV
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 66
(1) Dengan berlakunya Undang-undang ini, dinyatakan tidak berlaku:
a.
Undang-Undang Nomon 44 Prp. Tahun 1960 tentang Pertambangan Minyak dan Gas Bumi
(Lembaran Negara Tahun 1960 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2070);
b.
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1952 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1962 tentang Kewajiban Perusahaan Minyak Memenuhi
Kebutuhan Dalam Negeri (Lembaran Negara Tahun 1962 Nomor 80, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 2505);
c.
Undang-Undang Nomon 8 Tahun 1971 tentang Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi
Negara (Lembaran Negara Tahun 1971 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2971)
berikut segala perubahannya, terakhir diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1974
(Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor 3045).
(2) Segala peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 44 Prp. Tahun 1960 tentang Pertambangan
Minyak dan Gas Bumi (Lembaran Negara Tahun 1960 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 2070) dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1971 tentang Perusahaan Pertambangan Minyak
dan Gas Bumi Negara (Lembaran Negara Tahun 1971 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Nomor
2971) dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau belum diganti dengan peraturan baru
berdasarkan Undang-undang ini.
Pasal 67
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 23 Nopember 2001
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd
MEGAWATI SOEKARNOPUTRI
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 23 Nopember 2001
SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,
ttd
BAMBANG KESOWO
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2001 NOMOR 136
PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 22 TAHUN 2001
TENTANG
MINYAK DAN GAS BUMI
I.
UMUM
Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) menegaskan bahwa cabang-cabang
produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh.
negara. Demikian pula bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh
negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Mengingat
minyak dan gas bumi merupakan sumber daya alam strategis takterbarukan yang dikuasai negara dan
merupakan komoditas vital yang memegang peranan penting dalam penyediaan bahan baku industri,
pemenuhan kebutuhan energi di dalam negeri, dan penghasil devisa negara yang penting, maka
pengelolaannya perlu dilakukan seoptimal mungkin agar dapat dimanfaatkan bagi sebesar-besarnya
kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.
Dalam rangka memenuhi ketentuan Undang-Undang Dasar 1945 tersebut, setelah empat dasawarsa
sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 44 Prp. Tahun 1960 tentang Pertambangan Minyak dan
Gas Bumi dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1971 tentang Perusahaan Pertambangan Minyak dan
Gas Bumi Negara, dalam pelaksanaannya ditemukan berbagai kendala karena substansi materi kedua
Undang-undang tersebut sudah tidak sesuai Iagi dengan perkembangan sekarang maupun kebutuhan
masa depan.
Dalam menghadapi kebutuhan dan tantangan global pada masa yang akan datang, kegiatan usaha
minyak dan gas bumi dituntut untuk lebih mampu mendukung kesinambungan pembangunan nasional
dalam rangka peningkatan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas perlu disusun suatu Undang-undang tentang Minyak dan Gas
Bumi untuk memberikan landasan hukum bagi langkah-langkah pembaruan dan penataan kembali
kegiatan usaha minyak dan gas bumi.
Penyusunan Undang-undang ini bertujuan sebagai berikut:
1.
terlaksana dan terkendalinya Minyak dan Gas Bumi sebagai sumber daya alam dan sumber daya
pembangunan yang bersifat strategis dan vital;
2.
mendukung dan menumbuhkembangkan kemampuan nasional untuk lebih mampu bersaing;
3.
meningkatnya pendapatan negara dan memberikan kontribusi yang sebesar-besarnya bagi
perekonomian nasional, mengembangkan dan memperkuat industri dan perdagangan Indonesia;
4.
menciptakan lapangan kerja, memperbaiki lingkungan, meningkatnya kesejahteraan dan
kemakmuran rakyat.
Undang-undang ini memuat substansi pokok mengenai ketentuan bahwa Minyak dan Gas Bumi
sebagai sumber daya alam strategis yang terkandung di dalam Wilayah Hukum Pertambangan
Indonesia merupakan kekayaan nasional yang dikuasai oleh negara, dan penyelenggaraannya
dilakukan oleh Pemerintah sebagai pemegang Kuasa Pertambangan pada Kegiatan Usaha Hulu.
Sedangkan pada Kegiatan Usaha Hilir dilaksanakan setelah mendapat izin Usaha dari Pemerintah.
Agar fungsi Pemerintah sebagai pengatur, pembina dan pengawas dapat berjalan lebih efisien maka
pada Kegiatan Usaha Hulu dibentuk Badan Pelaksana, sedangkan pada Kegiatan Usaha Hilir dibentuk
Badan Pengatur.
II.
PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Cukup jelas
Pasal 4
Ayat (1)
Berdasarkan jiwa Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945, Minyak dan Gas Bumi sebagai
sumber daya aIam strategis yang terkandung di dalam bumi Wilayah Hukum Pertambangan Indonesia
merupakan kekayaan nasional yang dikuasai negara. Penguasaan oleh negara sebagaimana dimaksud
di atas adalah agar kekayaan nasional tersebut dimanfaatkan bagi sebesar-besar kemakmuran seluruh
rakyat Indonesia. Dengan demikian, baik perseorangan, masyarakat maupun pelaku usaha, sekalipun
memiliki hak atas sebidang tanah di permukaan, tidak mempunyai hak menguasai ataupun memiliki
Minyak dan Gas Bumi yang terkandung di bawahnya.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 5
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Dalam ketentuan ini, pengertian Niaga termasuk Niaga Gas Bumi baik melalui pipa transmisi maupun
pipa distribusi.
Pasal 6
Ayat (1)
Disamping harus mematuhi peraturan penundang-undangan yang berlaku, Badan Usaha atau Bentuk
Usaha Tetap juga harus mematuhi kewajiban-kewajiban tertentu dalam menjalankan kegiatan
usahanya.
Ayat (2)
Bentuk Kontrak Kerja Sama dalam ketentuan ini adalah bentuk Kontrak Bagi Hasil atau bentuk
kontrak Eksplorasi dan Eksploitasi lain yang Iebih menguntungkan bagi negara.
Dalam ketentuan ini, yang dimaksudkan dengan:
-titik penyerahan adalah titik penjualan minyak atau gas bumi.
-pengendalian manajemen operasi adalah pemberian persetujuan atas rencana kerja dan anggaran,
rencana pengembangan Lapangan serta pengawasan terhadap realisasi dan rencana tersebut.
-modal dan risiko seluruhnya ditanggung Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap adalah bahwa
dalam Kontrak Kerja Sama ini Pemerintah melalui Badan Pelaksana berdasarkan Undang-undang
ini tidak diperbolehkan untuk mengeluarkan investasi dan menanggung risiko finansial dalam
pelaksanaan Kontrak kerja Sama.
Pasal 7
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Penyelenggaraan melalui mekanisme persaingan usaha yang wajar, sehat, dan transparan tidak berarti
mengesampingkan tanggung jawab sosial oleh Pemerintah.
Pasal 8
Ayat (1)
Peraturan Pemerintah sebagai pelaksanaan dan ketentuan ini memuat antara lain substansi pokok
prioritas pemanfaatan Gas Bumi, jumlah, jenis, dan lokasi cadangan strategis Minyak Bumi.
Ayat (2)
Pemerintah berkewajiban untuk menjaga agar kebutuhan Bahan Bakar Minyak di seluruh tanah air,
termasuk daerah terpencil, dapat terpenuhi dan juga menjaga agar selalu tersedia suatu cadangan
nasional dalam jumlah cukup untuk jangka waktu tertentu.
Ayat (3)
Karena jaringan pipa gas merupakan sarana yang bersifat monopoli alamiah, pemanfaatannya perlu
diatur dan diawasi dalam rangka menjamun perlakuan pelayanan yang sama terhadap para
pemakainya.
Selanjutnya yang dimaksud dengan kepentingan umum dalam ketentuan ini adalah kepentingan
produsen, konsumen dan masyarakat lainnya yang berhubungan dengan kegiatan Pengangkutan Gas
Bumi.
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 9
Ayat (1)
Ketentuan ini dimaksudkan untuk memberi kesempatan seluas-luasnya kepada Badan Usaha, baik
yang berskala besar, menengah, maupun kecil untuk melakukan Kegiatan Usaha Hulu dan Kegiatan
Usaha Hilir dengan skala operasional yang didasarkan pada kemampuan keuangan dan teknis Badan
Usaha yang bersangkutan.
Ayat (2)
Kegiatan Usaha Hulu yang berkaitan dengan resiko tinggi banyak dilakukan oleh perusahaan
internasional yang mempunyai jaringan internasional secara luas. Agar dapat memberikan iklim
investasi yang kondusif untuk menarik penanam modal, termasuk penanam modal asing, diberikan
kesempatan untuk tidak perlu membentuk Badan Usaha.
Pasal 10
Ayat (1)
Mengingat Kegiatan Usaha Hulu adalah kegiatan pengambilan sumber daya alam yang takterbarukan
yang merupakan kekayaan negara, maka dalam kegiatan ini negara harus memperoleh manfaat yang
sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat.
Sedangkan Kegiatan Usaha Hilir merupakan kegiatan yang bersifat usaha bisnis pada umumnya, di
mana biaya produksi dan kerugian yang mungkin timbul tidak dapat dibebankan (dikonsolidasikan)
pada biaya Kegiatan Usaha Hulu. Tidak dimungkinkannya konsolidasi biaya dari Kegiatan Usaha Hulu
dan Kegiatan Usaha Hilir dimaksudkan juga agar pembagian penerimaan antara Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (6) menjadi jelas.
Dalam hal Badan Usaha melakukan Kegiatan Usaha Hulu dan Kegiatan Usaha Hilir secara bersamaan
harus membentuk badan hukum yang terpisah, antara lain secara Holding Company.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 11
Ayat (1)
Pemerintah menuangkan kewajiban-kewajiban dalam persyaratan Kontrak Kerja Sama, sehingga
dengan demikian Pemerintah dapat mengendalikan Kegiatan Usaha Hulu melalui persyaratan kontrak
tersebut maupun peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6
ayat (1).
Ayat (2)
Setiap Kontrak Kerja Sama yang telah disetujui bersama dan telah ditandatangani oleh kedua belah
pihak, salinan kontraknya dikirimkan kepada Komisi Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia
yang membidangi Minyak dan Gas Bumi.
Ayat (3)
Ketentuan ini dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum bagi pihak-pihak yang melakukan
perikatan Kontrak Kerja Sama.
Pasal 12
Ayat (1)
Konsultasi dengan Pemerintah Daerah dilakukan untuk memberi penjelasan dan memperoleh informasi
mengenai rencana penawaran wilayah-wilayah tertentu yang dianggap potensial mengandung sumber
daya minyak dan gas bumi menjadi wilayah kerja. Konsultasi dengan Pemerintah Daerah
pelaksanaannya dilakukan dengan Kepala Daerah Tingkat I yang memimpin penyelenggaraan
Pemerintah Daerah sesuai dengan ketentuan Undang-undang tentang Pemerintahan Daerah.
Ayat (2)
Dalam pelaksanaannya Menteri melakukan koordinasi dengan Badan Pelaksana.
Ayat (3)
Dalam pelaksanaannya Menteri melakukan koordinasi dengan Badan Pelaksana.
Pasal 13
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Ketentuan ini dimaksudkan untuk menghindari dilakukannya konsolidasi pembebanan dan atau
pengembalian biaya Eksplorasi dan Eksploitasi dari suatu Wilayah Kerja dengan Wilayah Kerja yang
lain.
Ketentuan ini juga untuk mencegah ketidak jelasan pembagian penerimaan antara Pemerintah Pusat
dengan masing-masing Pemerintah Daerah yang terkait dengan wilayah-wilayah kerja yang dimaksud.
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Dalam hal Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap dalam jangka waktu Eksplorasi tidak menemukan
cadangan Minyak Bumi dan/atau Gas Bumi yang dapat diproduksikan, maka wajib mengembalikan
seluruh Wilayah Kerjanya.
Pasal 16
Ketentuan ini dimaksudkan agar bagian dari dan/atau seluruh Wilayah Kerja yang tidak dimanfaatkan
dapat ditawarkan kepada pihak lain sebagai Wilayah Kerja yang baru.
Dengan demikian Pemerintah dapat memperoleh hasil yang optimal dan pemanfaatan potensi sumber
daya alam dari suatu wilayah.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Peraturan Pemerintah sebagai peraturan pelaksanaan dari ketentuan ini antara lain memuat substansi
pokok: ketentuan dan syarat-syarat Kontrak Kerja Sama, syarat-syarat dan tata cara penetapan dan
penawaran Wilayah Kerja, perpanjangan Kontrak Kerja Sama, penetapan dan pengembalian Wilayah
Kerja.
Pasal 19
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Peraturan Pemerintah mengenai Survei Umum, memuat antara lain substansi pokok: pelaksana Survei
Umum, jenis kegiatan, jadwal pelaksanaan, prosedur pelaksanaan, dan pengelolaan data hasil survei.
Pasal 20
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Data atau informasi mengenai keadaan di bawah permukaan tanah dan hasil investasi yang dilakukan
Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap tidak dapat dibuka secara langsung kepada umum untuk
melindungi kepentingan investasinya.
Data dapat dinyatakan terbuka setelah jangka waktu tertentu, dan pihak-pihak yang berkepentingan
dapat menggunakan data tersebut. Jangka waktu kerahasiaan data tergantung dari jenis dan klasifikasi
data.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Peraturan Pemerintah sebagai peraturan pelaksanaan ketentuan ini antara lain memuat substansi pokok:
kewenangan dan tanggung jawab Pemerintah, jenis data, klasifikasi dan jangka waktu kerahasiaan
data, pengadministrasian dan pemeliharaan data, serta jangka waktu pemanfaatan dan penyerahan
kembali data.
Pasal 21
Ayat (1)
Persetujuan Menteri dalam ketentuan ini diperlukan mengingat pengembangan lapangan yang pertama
dalam suatu Wilayah Kerja menentukan dikembalikan atau diteruskannya pengoperasian Wilayah
Kerja tersebut oleh Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap. Persetujuan untuk rencana pengembangan
lapangan selanjutnya dalam Wilayah Kerja yang dimaksud akan diberikan oleh Badan Pelaksana.
Yang dimaksud dengan konsultasi dengan Pemerintah Daerah dalam ketentuan ini diperlukan agar
rencana pengembangan Lapangan yang diusulkan dapat dikoordinasikan dengan Pemerintah Daerah
Pnovinsi terutama yang terkait dengan rencana tata ruang dan rencana penerimaan daerah dan minyak
dan gas bumi pada daerah tersebut sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Ayat (2)
Ketentuan ini dimaksudkan agar Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap dalam melakukan eksploitasi
minyak dan gas bumi, memperhatikan optimasi dan konservasi sumber daya minyak dan gas bumi dan
melaksanakannya sesuai kaidah keteknikan yang baik.
Ayat (3)
Peraturan Pemerintah sebagai peraturan pelaksanaan dan ketentuan ini antara lain memuat substansi
pokok: jenis dan rencana pengembangan Lapangan, kaidah-kaidah keteknikan, kewajiban pelaporan,
serta tata cara persetujuan rencana pengembangan lapangan.
Pasal 22
Ayat (1)
Ketentuan ini dimaksudkan untuk memberikan jaminan tersedianya pasokan Minyak dan atau Gas
Bumi yang diproduksi dan Wilayah Hukum Pertambangan Indonesia untuk memenuhi kebutuhan
bahan bakar dalam negeri. Pengertian penyerahan paling banyak 25% (dua puluh Iima persen)
bagiannya dan hasil produksi Minyak dan atau Gas Bumi dalam ketentuan ini dimaksudkan apabila
suatu Wilayah Kerja menghasilkan Minyak dan Gas Bumi maka Badan Usaha atau Bentuk Usaha
Tetap wajib menyerahkan paling banyak 25% (dua puluh lima persen) bagiannya dari produksi
Minyak Bumi dan paling banyak 25% (dua puluh Iima persen) bagiannya dari produksi Gas Bumi.
Ayat (2)
Peraturan Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini antara lain memuat substansi pokok:
kondisi kebutuhan dalam negeri, mekanisme pelaksanaan dan ketentuan harga, serta kebijakan
pemberian insentif berkaitan dengan pelaksanaan kewajiban penyerahan Minyak Bumi dan/atau Gas
Bumi bagian Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap dan hasil pnoduksinya.
Pasal 23
Ayat (1)
Izin Usaha merupakan izin yang diberikan kepada Badan Usaha oleh Pemerintah sesuai dengan
kewenangan masing-masing, untuk melaksanakan kegiatan usaha Pengolahan, Pengangkutan,
Penyimpanan dan/atau Niaga, setelah memenuhi persyaratan yang diperlukan.
Dalam hal-hal yang menyangkut kepentingan daerah, Pemerintah mengeluarkan lzin Usaha, setelah
Badan Usaha dimaksud mendapat rekomendasi dari Pemerintah Daerah.
Ayat (2)
Ketentuan ini dimaksudkan untuk lebih mengefektifkan pengawasan dan pengendalian terhadap Badan
Usaha yang berusaha di bidang Pengolahan, Pengangkutan, Penyimpanan, dan/atau Niaga.
Pemerintah wajib memberikan atau menolak permohonan lzin Usaha yang diajukan Badan Usaha
dalam jangka waktu tertentu sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan, antara lain bahwa Kegiatan Usaha Hilir ini menyangkut
komoditas yang menguasai hajat hidup orang banyak dan investasi yang besar, maka Pemerintah dan
atau Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya masing-masing dapat memberikan kesempatan
kepada Badan Usaha untuk meniadakan pelanggaran yang dilakukan sebelum Izin Usahanya dicabut.
Selain akibat terjadinya pelanggaran, pencabutan izin Usaha dapat juga dilaksanakan atas permintaan
pemegang lzin Usaha sendiri.
Pasal 26
Mengingat dalam kegiatan pengolahan lapangan, pengangkutan, penyimpanan, dan penjualan Minyak
dan Gas Bumi dalam rangka kelanjutan dari Eksplorasi dan Eksploitasi, fasilitas yang dibangun tidak
ditujukan untuk memperoleh keuntungan dan/atau laba dari kegiatan itu sendiri, maka tidak diperlukan
lzin Usaha.
Ketentuan ini tidak berlaku apabila fasilitas yang dimiliki oleh Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap
dipergunakan bersama dengan pihak lain dengan memungut biaya atau sewa sehingga memperoleh
keuntungan dan atau laba, maka Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap tersebut harus mendapatkan
lzin Usaha.
Pasal 27
Ayat (1)
Rencana induk yang ditetapkan oleh Pemerintah akan digunakan sebagai acuan investasi bagi
pengembangan dan pembangunan jaringan transmisi dan distribusi gas bumi bagi Badan Usaha yang
berminat.
Ayat (2)
Ketentuan ini dimaksudkan untuk mendorong persaingan usaha yang sehat dan meningkatkan efisiensi
penggunaan prasarana serta mutu pelayanan.
Pembagian ruas usaha Pengangkutan dilakukan dengan, mempertimbangkan aspek-aspek teknis,
ekonomis, keamanan dan keselamatan.
Ayat (3)
Ketentuan ini dimaksudkan untuk mendorong persaingan usaha yang sehat dan meningkatkan efisiensi
penggunaan prasarana serta mutu pelayanan.
Pembagian wllayah Niaga dilakukan dengan, mempertimbangkan aspek-aspek teknis, ekonomis,
keamanan dan keselamatan.
Pasal 28
Ayat (1)
Ketentuan ini dimaksudkan untuk melindungi kepentingan konsumen, kesehatan masyarakat, dan
Lingkungan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Pemerintah dapat memberikan bantuan khusus sebagai pengganti subsidi kepada konsumen tertentu
untuk pemakaian jenis Bahan Bakar Minyak tertentu. Pemerintah menetapkan kebijakan harga Gas
Bumi untuk keperluan rumah tangga dan pelanggan kecil serta pemakaian tertentu Iainnya.
Pasal 29
Ayat (1)
Ketentuan ini dimaksudkan untuk membuka kesempatan bagi pemanfaatan bersama pihak lain
terhadap fasilitas yang dimiliki suatu Badan Usaha berdasarkan kesepakatan bersama dalam rangka
meningkatkan optimasi penggunaan fasilitas dan efisiensi pengusahaan guna menekan biaya distribusi,
terutama dalam hal terjadi kekurangan penyediaan Bahan Bakar Minyak di suatu wilayah dan di
daerah yang relatif terpencil.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 30
Peraturan Pemerintah sebagai peraturan pelaksanaan ketentuan ini antara lain memuat substansi pokok
jenis -jenis kegiatan usaha, tata cara pengajuan permohonan dan pelaksanaan lzin Usaha, standar dan
mutu, kewajiban Badan Usaha, klasifikasi pelanggaran, tata cara teguran, penangguhan, pembekuan
dan pencabutan lzin Usaha, dan kewenangan Pemerintah Daerah yang terkait dengan perizinan usaha.
Pasal 31
Ayat (1)
Karena ketentuan yang dimaksud dalam Pasal ini didasarkan atas pengertian bahwa Kegiatan Usaha
Hulu yang berupa Eksplorasi dan Eksploitasi adalah kegiatan pengambilan sumber daya alam tak
terbarukan yang merupakan kekayaan negara, maka disamping kewajiban membayar pajak, bea
masuk, dan kewajiban Iainnya, Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap diwajibkan menyerahkan
penerimaan negara bukan pajak yang terdiri dari bagian negara, pungutan negara, dan bonus.
Ayat (2)
Hurut a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Disamping membayar pajak daerah Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap diwajibkan pula membayar
retribusi daerah.
Ayat (3)
Huruf a
Bagian negara merupakan bagian produksi yang diserahkan oleh Badan Usaha atau Bentuk Usaha
Tetap kepada negara sebagai pemilik sumber daya Minyak dan Gas Bumi.
Huruf b
Ketentuan ini didasarkan pada pengertian bahwa kepada Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap
diwajibkan membayar iuran tetap sesuai luas Wilayah Kerja sebagai imbalan atas kesempatan
untuk melakukan kegiatan Eksplorasi dan Eksploitasi.
luran Eksplorasi dan Eksploitasi dikenakan pada Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap, sebagai
kompensasi atas pengambilan kekayaan alam Minyak dan Gas Bumi yang tak terbarukan.
Pungutan negara yang menjadi penerimaan Pemerintah Pusat merupakan penerimaan negara bukan
pajak (PNBP) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Huruf c
Yang dimaksud dengan bonus dalam ketentuan ini adalah bonus data, bonus tanda tangan, dan bonus
produksi yang didasarkan pada pencapaian tingkat produksi kumulatif tertentu.
Ayat (4)
Ketentuan dalam Pasal ini dimaksudkan agar Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap dapat memilih
alternatif aturan perpajakan yang akan diberlakukan dalam Kontrak Kerja Sama. Dibukanya
kesempatan tersebut merupakan keleluasaan bagi Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap untuk
memilih ketentuan perpajakan yang sesuai dengan kelayakan usahanya, mengingat kegiatan Eksplorasi
dan Eksploitasi sifat usahanya berjangka panjang, memerlukan modal besar dan berisiko tinggi.
Ayat (5)
Peraturan Pemerintah sebagai peraturan pelaksanaan dan ketentuan ini antara lain memuat substansi
pokok pengaturan besarnya bagian negara berdasarkan prosentase produksi bersih; dan pungutan
negara yang terdiri dari iuran tetap per satuan luas Wilayah Kerja, iuran Eksplorasi dan Eksploitasi per
satuan volume produksi; bonus dan pengaturan persyaratan tertentu dalam Kontrak Kerja Sama.
Ayat (6)
Yang dimaksud dengan pembagiannya ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan
yang berlaku dalam ketentuan ini adalah sesuai dengan ketentuan Undang-undang tentang
Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah.
Pasal 32
Mengingat Kegiatan Usaha Hilir yang berupa Pengolahan, Pengangkutan, Penyimpanan, dan Niaga
bukan kegiatan usaha yang berkaitan langsung dengan pengambilan sumber daya alam yang tak
terbarukan, maka berlaku kewajiban membayar pajak, bea masuk, dan kewajiban lainnya kepada
negara sebagaimana halnya pada kegiatan usaha industri dan atau perdagangan pada umumnya.
Pasal 33
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Pada prinsipnya seluruh kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi yang dilakukan pada suatu lokasi
memerlukan izin dari instansi Pemerintah.
Namun pada tempat-tempat tertentu sebelum memperoleh izin dari instansi Pemerintah, terlebih
dahulu perlu mendapat persetujuan dari masyarakat dan atau perseorangan.
Huruf a
Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan tempat umum, sarana dan prasarana umum adalah fasilitas
yang disediakan Pemerintah untuk kepentingan masyarakat Iuas dan mempunyai fungsi sosial seperti
antara lain: jalan, pasar, tempat pemakaman, taman dan tempat ibadah.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Ayat (4)
Mengingat bahwa tempat umum, sarana dan prasarana umum, Lapangan dan bangunan pertahanan
merupakan fasilitas yang dibangun oleh Pemerintah untuk kepentingan masyarakat atau pertahanan,
diperlukan izin dan instansi Pemerintah yang terkait, dengan memperhatikan saran masyarakat.
Khusus tempat pemakaman, tempat yang dianggap suci dan tanah milik masyarakat adat, sebelum
dikeluarkan izin dan instansi Pemerintah yang berwenang perlu mendapat persetujuan dari masyarakat
setempat.
Pasal 34
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksudkan dengan pengakuan dalam ketentuan ini adalah pengakuan atas adanya hak ulayat
masyarakat hukum adat di suatu daerah, sehingga penyelesaiannya dapat dilakukan melalui
musyawarah dan mufakat berdasarkan hukum adat yang bersangkutan.
Pasal 35
Cukup jelas.
Pasal 36
Ayat (1)
Mengingat hak atas Wilayah Kerja tidak meliputi hak atas permukaan tanah, Badan Usaha tidak serta
merta mempunyai hak pakai atas bidang-bidang tanah di dalam Wilayah Kerja.
Apabila Badan Usaha akan menggunakan Iangsung bidang-bidang tanah dimaksud, maka hak pakai
tersebut harus diproses sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 37
Peraturan Pemerintah sebagai peraturan pelaksanaan ketentuan ini, antara lain memuat substansi
pokok: prosedur penyelesaian atau perundingan, hak dan kewajiban masing-masing pihak, pedoman
besarnya ganti rugi dan ketentuan teknis pola penyelesaian penggunaan tanah.
Pasal 38
Pembinaan yang dilakukan Pemerintah dalam kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi didasarkan pada
penguasaan negara atas sumber daya alam dan cabang-cabang produksi yang menguasai hajat hidup
orang banyak.
Pasal 39
Ayat (1)
Huruf a
Penyelenggaraan urusan Pemerintah yang dimaksud dalam ketentuan ini meliputi antara lain
penyebarluasan informasi, pendidikan dan pelatihan, penelitian dan pengembangan teknologi,
peningkatan nilai tambah produk, penerapan standardisasi, pemberian akreditasi, pembinaan
industri/badan usaha penunjang, pembinaan usaha kecil/menengah, pemanfaatan barang dan jasa
dalam negeri, pemeliharaan keselamatan dan kesehatan kerja, pelestarian Lingkungan hidup,
penciptaan iklim investasi yang kondusif, serta pemeliharaan keamanan dan ketertiban.
Huruf b
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 40
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Ketentuan ini dimaksudkan untuk mendukung dan menumbuhkembangkan kemampuan nasional untuk
lebih mampu bersaing.
Ayat (5)
Yang dimaksud dengan ikut bertanggung jawab mengembangkan lingkungan masyarakat setempat.
dalam ketentuan ini adalah keikutsertaan Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap dalam
mengembangkan dan memanfaatkan potensi dan kemampuan masyarakat setempat, antara lain dengan
cara mempekerjakan tenaga kerja dalam jumlah dan kualitas tertentu, serta meningkatkan lingkungan
hunian masyarakat, agar tercipta keharmonisan antara Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap dengan
masyarakat sekitarnya.
Ayat (6)
Peraturan Pemerintah sebagai peraturan pelaksanaan ketentuan ini antara lain memuat substansi pokok
yang meliputi kewajiban Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap sebagai berikut:
a. di bidang keselamatan dan kesehatan kerja mencakup keselamatan dan kesehatan pekerja, kondisi
dan persyaratan tempat dan Lingkungan kerja, dan standar instalasi dan peralatan;
b. di bidang pengelolaan Lingkungan hidup mencakup pencegahan dan penanggulangan pencemaran
lingkungan, dan pemulihan atas kerusakan lingkungan dalam masa dan pasca Kontrak Kerja
Sama.
Pasal 41
Cukup jelas.
Pasal 42
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Dalam pelaksanaannya, pemanfaatan tersebut tetap memperhatikan nilai ekonomis pada masingmasing
proyek atau kegiatan yang bersangkutan.
Huruf i
Dalam penggunaan tenaga kerja asing harus diperhatikan prosedur yang berlaku dan persyaratan sesuai
dengan kebutuhan.
Huruf j
Cukup jelas.
Huruf k
Cukup jelas.
Huruf I
Cukup jelas.
Huruf m
Cukup jelas.
Pasal 43
Peraturan Pemerintah sebagai peraturan pelaksanaan ketentuan ini antara lain memuat substansi pokok
sebagaimana yang tercantum dalam penjelasan Pasal 39 huruf a.
Pasal 44
Cukup jelas.
Pasal 45
Ayat (1)
badan hukum milik negara dalam ketentuan ini mempunyai status sebagai subjek hukum perdata dan
merupakan institusi yang tidak mencari keuntungan serta dikelola secara profesional.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan unsur pimpinan dalam ketentuan ini adalah kepala dan seorang wakil kepala
serta deputi-deputi. Tenaga ahli adalah tenaga fungsional yang ahli dibidangnya.
Ayat (3)
Konsultasi yang dimaksud adalah untuk melakukan uji kemampuan dan kelayakan bagi calon kepala
Badan Pelaksana oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik dalam hal ini komisi yang membidangi
minyak dan gas bumi.
Pasal 46
Ayat (1)
Ketentuan ini dimaksudkan untuk melindungi kepentingan masyarakat konsumen terhadap
kelangsungan Bahan Bakar Minyak di seluruh wilayah Indonesia.
Pengawasan terhadap Pengangkutan Gas Bumi melalui pipa dilakukan untuk optimasi dan mencegah
terjadinya rnonopoli pemanfaatan fasilitas pipa transmisi, distribusi, dan Penyimpanan oleh Badan
Usaha tertentu.
Ayat (2)
Pemerintah bertanggung jawab terhadap kelangsungan sediaan dan Iayanan serta menghindari
terjadinya kelangkaan Bahan Bakar Minyak di seluruh Indonesia.
Ayat (3)
Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan pemanfaatan fasilitas Pengangkutan dan Penyimpanan
Bahan Bakar Minyak adalah terutama ditujukan untuk daerah-daerah tertentu atau daerah terpencil
yang mekanisme pasarnya belum dapat berjalan sehingga fasilitas Pengangkutan dan Penyimpanan
yang ada perlu diatur untuk dapat dimanfaatkan agar tercapai kondisi yang optimal dan tercapai harga
yang serendah mungkin.
Rumah tangga adalah setiap konsumen yang memanfaatkan Gas Bumi untuk keperluan rumah tangga.
Pengusahaan transmisi dan distribusi Gas Bumi diatur oleh Badan Pengatur yang berkaitan dengan
aspek usaha dan kegiatan transmisi dan distribusi Gas Bumi tersebut.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 47
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan tenaga profesional dalam ketentuan ini adalah pihak-pihak yang mempunyai
keahlian, pengalaman dan pengetahuan yang dibutuhkan antara lain di bidang perminyakan,
lingkungan hidup, hukum, ekonomi dan sosial serta mempunyai integritas tinggi dalam melakukan
tugas dan kewajibannya.
Ayat (3)
Badan Pengatur bersifat independen, dan mengingat tugas dan fungsinya menyangkut kepentingan
masyarakat Iuas, sehingga pengangkatan dan pemberhentiannya perlu mendapat persetujuan Dewan
Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.
Ayat (4)
Mengingat tugas dan fungsi Badan Pengatur terkait Iangsung dengan komoditas yang sangat
dibutuhkan masyarakat luas, sehingga sangat berpengaruh terhadap perekonomian nasional dan dapat
menimbulkan dampak kerawanan yang luas di masyarakat, serta pengaturannya bersifat lintas sektoral,
maka Badan Pengatur bertanggung jawab kepada Presiden.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 48
Ayat (1)
Setiap penerimaan negara yang diperoleh dari Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap yang
melaksanakan Kegiatan Usaha Hulu langsung disetorkan ke kas negara. Badan Pelaksana dalam
melaksanakan pengendalian Kontrak Kerja Sama dengan Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap
memperoleh imbalan (fee) sebagai upah manajemen yang diterima dan Pemerintah atas kegiatan yang
dilakukan.
Ayat (2)
Biaya operasional Badan Pengatur yang berasal dari anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN)
dimaksudkan sebagai modal awal Badan Pengatur. Selanjutnya, biaya operasional Badan Pengatur
diperoleh dan iuran Badan Usaha yang diaturnya.
Pasal 49
Cukup jelas.
Pasal 50
Cukup jelas.
Pasal 51
Cukup jelas.
Pasal 52
Cukup jelas.
Pasal 53
Cukup jelas.
Pasal 54
Cukup jelas.
Pasal 55
Dalam ketentuan ini yang dimaksudkan dengan menyalahgunakan adalah kegiatan yang bertujuan
untuk memperoleh keuntungan perseorangan atau badan usaha dengan cara yang merugikan
kepentingan masyarakat banyak dan negara seperti antara lain kegiatan pengoplosan bahan bakar
minyak, penyimpangan alokasi bahan bakar minyak, pengangkutan dan penjualan bahan bakar minyak
ke Iuar negeri.
Pasal 56
Cukup jelas.
Pasal 57
Cukup jelas.
Pasal 58
Cukup jelas.
Pasal 59
Cukup jelas.
Pasal 60
Huruf a
Bentuk perusahaan perseroan yang dimaksud dalam ketentuan ini adalah bentuk perusahaan sesuai
yang dimaksud dalam Undang-undang mengenai badan usaha milik negara.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Pasal 64
Huruf a
Badan usaha milik negara selain Pertamina yang mempunyai kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi
antara lain adalah PT. Perusahaan Gas Negara (Persero) yang dibentuk berdasarkan Peraturan
Pemerintah Nomor 37 Tahun 1994.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Pasal 65
Yang dimaksud dengan minyak atau gas dalam ketentuan ini adalah minyak dan gas sebagai hasil
proses buatan (bukan hasil proses alami).
Pasal 66
Cukup jelas.
Pasal 67
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4152