I. PENDAHULUAN
I.a. Latar Belakang
Revolusi itu bukan
sebuah ide yang luar biasa, dan istimewa, serta bukan lahir atas perintah
seorang manusia yang luar biasa. Kecakapan dan sifat luar biasa dari seseorang
dalam membangun revolusi, melaksanakan atau memimpinnya menuju kemenangan, tak
dapat diciptakan dengan otaknya sendiri. Sebuah revolusi disebabkan oleh
pergaulan hidup, suatu akibat tertentu dari tindakan-tindakan masyarakat. Atau
dalam kata-kata yang
dinamis, dia adalah akibat tertentu dan tak terhindarkan
yang timbul dari pertentangan kelas yang kian hari kian tajam. Ketajaman
pertentangan yang menimbulkan pertempuran itu ditentukan oleh pelbagai macam
faktor: ekonomi, sosial, politik, dan psikologis. Semakin besar kekayaan pada
satu pihak semakin beratlah kesengsaraan dan perbudakan di lain pihak.
Pendeknya semakin besar jurang antara kelas yang memerintah dengan kelas yang
diperintah semakin besarlah hantu revolusi. Tujuan sebuah revolusi ialah menentukan
kelas mana yang akan memegang kekuasaan negeri, politik dan ekonomi, dan
revolusi itu dijalankan dengan "kekerasan". Di atas bangkai yang lama
berdirilah satu kekuasaan baru yang menang. Demikianlah, masyarakat feodal
didorong oleh masyarakat kapitalistis dan yang disebut lebih akhir ini sekarang
berjuang mati-matian dengan masyarakat buruh yang bertujuan mencapai "satu
masyarakat komunis yang tidak mempunyai kelas", lain halnya jika semua
manusia yang ada sekarang musnah sama sekali tentulah terjadi proses: werden
undvergehen, yakni perjuangan kelas terus-menerus hingga tercapai pergaulan
hidup yang tidak mengenal kelas (menurut paham Karl Marx).
Di zaman purba waktu ilmu (wetenschap) masih muda, semua
perjuangan dalam kegelapan (kelas-kelas) diterangi (dibereskan) oleh agama yang
bermacam-macam; perjuangan golongan menyerupai keagamaan, umpamanya
pertentangan Brahmanisme dan Budhisme, Ahriman, Zoroastria dengan Ormus (terang
dengan gelap), Mosaisme dengan Israilisme, kemudian Katholisme dengan Protestanisme.
Akan tetapi, pada hakikatnya semuanya itu adalah perjuangan kelas untuk
kekuasaan ekonomi dan politik. Kemudian sesudah ilmu dan percobaan menjadi
lebih sempurna, sesudah manusia melemparkan sebagian atau semua "kepicikan
otak" (dogma), setelah manusia menjadi cerdas dan dapat memikirkan soal
pergaulan hidup, pertentangan kelas disendikan kepada pengetahuan yang nyata.
Dalam perjuangan untuk keadilan dan politik, manusia tidak membutuhkan atau
mencaricari Tuhan lagi, atau ayat-ayat kitab agama, tetapi langsung menuju
sebab musabab nyata yang merusakkan atau memperbaiki kehidupannya. Di seputar
ini sajalah pikiran orang berkutat dan ia dinamakan cita-cita pemerintahan
negeri. Kepada masalah itulah segenap keaktifan politik ditujukan. Tatkala kehidupan
masih sangat sederhana dan terutama tergantung kepada pekerjaan tangan dan
pertanian, pendeknya di zaman feodal, seorang yang mempunyai darah raja-raja,
biarpun bodohnya seperti kerbau, "boleh menaiki singgasana dengan
pertolongan pendeta dan bangsawan", menguasai nasib berjuta-juta manusia.
Cara
pemerintahan serupa itu menjadi sangat sempit tatkala teknik lebih maju dan
feodalisme yang sudah bobrok itu pun merintangi kemajuan industri. Kelas baru,
yaitu "borjuasi" yang menguasai cara penghasilan model baru
(kapitalisme), merasa tak senang sebab ketiadaan hak-hak politik. Mereka
meminta supaya pemerintahan diserahkan kepada mereka yang lebih cakap dan
pemerintah boleh "diangkat" atau "diturunkan" oleh rakyat.
Cita-cita politik borjuasi adalah demokrasi dan parlementarisme. Ia menuntut
penghapusan sekalian hak-hak feodal dan juga menuntut penetapan sistem
penghasilan dan pembagian (distribusi yang kapitalistis). Tatkala raja dan para
pendetanya tetap mempertahankan hakhaknya hancurlah mereka dalam nyala
revolusi. "Revolusi borjuasi" tahun 1789 sebagai buah pertentangan
yang tak mengenal lelah antara feodalisme dengan kapitalisme menjadikan
negeri Prancis sebagai pelopor sekian banyak revolusi yang kemudian berturut-turut pecah
di seluruh Eropa.
Kembali ke Indonesia, Sejak jatuhnya Soeharto pada
bulan Mei 1998, mahasiswa Indonesia terpecah menjadi dua blok besar. Kalau dulu
mahasiswa berhimpun dalam satu barisan untuk melawan rezim diktator yang
terkenal otoriter, dimana tenaga, waktu, air mata, keringat, bahkan darah
menjadi taruhannya, dimana para martir intelektual berguguran dan betapa mahal
dampak huru hara setelah peristiwa-peristiwa tersebut, kini mereka seperti
terpecah. Saat ini terdapat blok yang melanjutkan tradisi heroik sebagai kekuatan
parlemen jalanan yang blak-blakan saat menyoroti masalah kebangsaan dengan
segala resikonya, namun adapula blok yang bersikap apatis dengan acuh tak acuh
dalam menyikapi masalah-masalah kekinian. “barangkali kita telah kehilangan
musuh bersama sehingga menjadi demikian”, begitulah yang sering terdengar.
Memang pada kenyataanya, setelah reformasi bergulir, kendati tidak serta merta
membuat keadaan sosial, politik dan ekonomi jadi lebih baik, tapi kebebasan
mulai dapat dirasakan bukan hanya oleh kalangan aktifis tapi juga masyarakat
pada umumnya. Orang-orang mulai bebas bekumpul, berpendapat, bahkan yang
dulunya pengecut intelektual kini mulai berani keluar dari ‘tempat
persembunyian’ dan mengklaim sebagai pahlawan reformasi. Sistem pemerintahan
dirombak dan setelah reformasi, bergulirlah untuk pertama kalinya rakyat dapat
memilih calon pemimpin mereka secara langsung. Setelah kekuasan beralih,
keadaan menjadi lebih nyaman, gerakanpun lambat laun mengendur.
Sejatinya
mahasiswa merupakan sebuah kekuatan besar yang telah mencatatkan namanya pada
panggung sejarah di negeri ini. Gerakan mahasiswa di Indonesia adalah kegiatan
kemahasiswaan yang ada di dalam maupun di luar perguruan tinggi yang dilakukan
untuk meningkatkan kecakapan, intelektualitas dan kemampuan kepemimpinan para
aktivis yang terlibat di dalamnya. Dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia,
gerakan mahasiswa seringkali menjadi cikal bakal perjuangan nasional, seperti
yang tampak dalam lembaran sejarah bangsa. Sejak tahun 1908 sampai dengan tahu
1998, mahasiswa menjadi penyeimbang pemerintah yang represif, diktator dan
bertindak semena-mena. Ada kebanggan tersendiri, bukan soal menurunkan diktator
Soeharto; tetapi bagaimana perjungan akan keadilan dan kesejahteraan itu bisa
mahasiswa sumbangkan kepada negara tercinta ini.
Saat
ini, sejujurnya mahasiswa kehilangan orientasi gerakan. Gerakan mahasiswa
menjadi mandul, tidak substansif dan hanya sekedar corong ’sponsor’ saja.
Idealisme yang diagung-agungkan sejak masa lampau akhirnya dengan sendirinya
tergerus oleh zaman yang menghadirkan persaingan yang tidak sehat. Aspirasi
mahasiswa menuntut perbaikan dalam segala bidang kehidupan bangsa Indonesia
harus dijamin oleh kepastian hukum. Sedangkan yang disebut hukum bagi bangsa
Indonesia adalah hukum yang berkedaulatan rakyat, bukan hukum yang hanya
menguntungkan dan menguatkan penguasa. Hal inilah yang belum dicapai oleh
bangsa kita hingga saat ini. Oleh karena itu yang harus dilakukan oleh bangsa
Indonesia saat ini adalah mengembalikan kedaulatan kepada rakyat, kedaulatan
milik rakyat, kedaulatan rakyat. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah siapa
dan bagaimana kedaulatan rakyat dapat dikembalikan ke tangan pemiliknya?.
Fenomena ini semakin menakutkan dan saban hari
benar-benar mengguritalah sikap apatis dan tidak masivnya perjuangan mahasiswa
dalam menyampaikan aspirasi. Kemandulan idealisme menjadi sebuah ’tuduhan’ awal
untuk menjawab fenomena ini. Jangan sampai hal ini akhirnya menjadi mitos,
bahwa kemandulan aksi dan perjuangan mahasiswa bertekuk lutut pada yang namanya
fashion, food, and film. Akhirnya saya pun mendukung pernyataan salah seorang
kawan dalam postingan tulisannya di situs jejaring sosial. Mahasiswa yng apatis
versus mahasiswa idealis (aktivis). Mahasiswa mengkotak-kotakkan diri sendiri
pada saat seharusnya tidak perlu ada kotak yang memisahkan mahasiswa. Sebagai
seorang mahasiswa, yang hendak berbuat banyak bagi orang lain disekitar,
sebenarnya inilah pilihan yang sebenarnya. Menghilangkan pengkotakan dan
menyatukan kembali seluruh elemen mahasiswa di bawah panji ”kedaulatan rakyat”
ataukah malah sebaliknya? Tetap terkotak-kotak sebagai bagian dari tuntutan
perkembangan zaman yang tidak berpihak bagi perkembangan bangsa ini agar lebih
baik dan sehat.
Kemunduran
ini juga merambah sampai kedalam tubuh organisasi-organisasi kemahasiswaan.
Banyak mahasiswa yang memilih menjadi intelektual tradisional
(rumah-kampus-rumah). Mungkin karena tuntutan hidup yang tidak menganjurkan
mahasiswa untuk berlama-lama di kampus. Kuliah hingga 5 tahun atau lebih saat
ini, bukan sebuah hal yang patut untuk dibanggakan. Biaya kuliah semakin mahal
dari tahun ke tahunnya. Sehingga pilihannya cuma kuliah dan kuliah. Tidak untuk
yang lainnya. Dalam kasus ini kita tidak bisa menghakimi kawan mahasiswa yang
lainnya sebagai bagian dari yang tidak berkepedulian terhadap persoalan rumit
bangsa ini. Bertolak belakang dengan para aktivis yang menyebut dirinya sebagai
pelopor pergerakan atau kaum idealis. Menjadi intelektual organik adalah
pilihan hidup. Yang tetap menjaga jangan sampai idealisme mahasiswa untuk
memperjuangkan kesejahteraan sirna oleh kemilau kemajuan teknologi yang
memudahkan hidup dengan mengenyampingkan semangat berpikir. Kemampuan berpikir
kritis mahasiswa terpasung oleh tawaran menggiurkan bernama globalisasi dan
pasar bebas yang menyediakan segala sarana bagi manusia. Juga di dalamnya
mahasiswa.
Persoalan kedua elemen (aktivis vs apatis) ini masih
berkutat pada saling menjatuhkan dengan argumen masing-masing. Bagi saya secara
pribadi cukup logis dan cemerlang dalam hal saling mempertahankan pendapat. Dua
blok inilah yang saya yakini selalu bersengketa dikampus manapun [Sebagai
contoh di Malang]. ‘Mahasiswa aktivis’ menganggap ‘mahasiswa apatis’ sebagai
mahasiswa yang tidak peka, pragmatis, oportunis, pengkhianat intelektual, atau
belum menyadari hakikatnya sebagai mahasiswa. Sebaliknya ‘mahasiswa apatis’
menganggap ‘mahasiswa aktivis’ sebagi orang-orang yang tidak ada kerjaan, yang
sok ikut campur, keras kepala, cari ketenaran dan mengidap penyakit sok
pahlawan. Pada keadaan seperti ini, tiap mahasiswa dari blok manapun harus
mengedepankan akal sehat sebagai bukti kalau mereka adalah bagian dari
komunitas intelektual. Seharusnya eksistensialisme dan elitisme yang
ditampilkan masing-masing blok segera dikikis bahkan dihilangkan. Kita
seharusnya mengingat dan merenungkan kembali catatan-catatan sejarah yang
selalu menempatkan mahasiswa kritis ataupun pemuda sebagai pioneer perjuangan
dalam menyatakan kebenaran. Blok inilah yang dulu pernah berdarah-darah ketika
memperjuangkan dan merebut kemerdekaan, Malari, menjatuhkan diktator
soeharto,dll. Tanpa radikalisme pemikiran mahasiswa kritis dan dukungan
mahasiswa ataupun pemuda pada umumnya, niscaya sampai hari ini sejarah hanya
akan melewatkan lembaran-lembaran kosong dalam buku catatanya.
Sampai
pada pemikiran ini apa yang selayaknya kita lakukan? Terus maju dan pekikkan
terus semangat perjuangan yang tak kenal henti. Sejatinya kita perlu
reorientasi arah gerak dan perjuangan mahasiswa. Kita perlu ’ret-ret’
mempertanyakan sejauh mana kontribusi kita bagi bangsa ini. Dengan sejenak
mengabaikan sejarah, kita berlu turun ke titik nadir untuk berkontemplasi
dengan waktu dan diri kita mengkritisi sendiri jalan panjang perjuangan yang
telah mahasiswa rintis di negeri ini. Imbasnya cukup besar, sebagian besar
orgnisasi mahasiswa mengeluhkan hal yang sama. Kekurangan kader militan yang
secara kualitas dan kuantitas seimbang. Yang ada bukan hanya kader karbitan
yang sesekali waktu bisa meninggalkan organisasi tanpa permisi. Organisasi
intra kampus apalagi, saatnya bangkit dari tidur panjang dan mimpi indah
mengeni heroiknya perjungan mahasiswa dulu. Itu dulu. Dulu sekali. Lampau.
Sekarang?.
Penting
bagi kita memahami, saatnya kita bangkit dan bersatu. Dengan berbagai macam
identitas kita yang perlu kita tampilkan cuma satu: MAHASISWA INDONESIA. Yang
bersatu, teguh dan berintelektual. Hilangkan perbedaan kalau persamaan adalah
kekuatan kita. Hilangkan persamaan kalau kita bisa menerima perbedaan sebagai
jalan keluar terbaik untuk bersatu. Keduanya merupakan pilihan jitu bagi
pengembangan kehidupan berbangsa dan bagi masyarakat agar tidak perlu jauh-jauh
dari kata ’sejahtera’.
Kita tidak ingin melihat perang saudara antara
‘mahasiswa kritis’ dan ‘mahasiswa apatis/pragmatis’. Jika memang ada sesuatu
yang tidak beres, ayo kita duduk bersama, berdialektika, dan mengerucutkan apa
ataupun siapa musuh bersama kita. Karena senjata kita adalah kata, dalam
semangat persaudaraan, dan tetap berpedoman pada nilai-nilai kejujuran,
keadilan, dan kebenaran. Harapan kita adalah seluruh blok mahasiswa (kelompok
mahasiswa apapun) dapat bersinergi tanpa harus saling melempar stigma pada blok
lain. Betapapun berat masalah-masalah kekinian, sudah seharusnya menjadi topik
pembicaraan dan dicari solusi penyelesaianya. Daripada permusuhan, sungguh kita
rindu melihat mahasiswa-mahasiswa dari strata sosial, agama, etnis dan latar
belakang manapun berteriak dengan lantang dalam satu barisan kalau mereka
adalah intelektual Indonesia yang sebenarnya.
Kita
hidup di dunia nyata. Segala impian dan kenangan mengenai perjuangan dan
pergerakan mahasiswa bolehlah tetap ada tetapi jangan sampai kita terus terbuai
olehnya. Tetap beraksi, fokus, dan mengedepankan intelektualitas sebagai
kekuatan satu-satunya kita. Mahasiswa tidak bertindak dengan senjata. Bagi
kita, senjata adalah kata-kata yang keluar dari kemurnian hari dan kejujuran
dalam bertutur.
I.b. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang dibahas pada makalah ini
yaitu :
1. Bagaimana sejarah pergerakan mahasiswa di Indonesia ?
2. Apa peran pergerakan mahasiswa ?
3. Bagaimanakah mentaktisi tantangan neoliberalisme terhadap
eksistensi pergerakan mahasiswa saat ini ?
I.c.
Tujuan
Adapun
tujuan dari makalah ini adalah :
1. Mempelajari sejarah pergerakan mahasiswa.
2. Membangkitkan semangat dan darah juang mahasiswa.
3. Menyiapkan diri dalam menghadapi serangan kapitalis dan
neoliberalisme
4. Mempelajari eksistensi pergerakan mahasiswa pada saat
ini.
I.d. Manfaat
Kita
tau adalah sesuatu yang tersimpan, sesuatu yang perlu untuk digali dan
dikembangkan, Potensi mahasiswa sebagai pemudaantara lain adalah kritis. Kritis itu
adalah tanggap terhadap masalah dan berusaha menyelesaikan masalah dengan
pemikiran-pemikiran yang benar. Selain kritis mahasiswa juga punya potensi
idealis, idealis disini karena mahasiswa sebagai manusia-manusia
yangdididik dalam suasana kampus yang ideal. Masyarakat sekitar mereaka
yang idealis ataupunsejak kecil mereka belum pernah merasakan realism
kehidupan. Mahasiswa juga memiliki potensi sebagai penggerak yang
independen. Independen maksudnya mahasiswa mampu bergerak sendiri,
mahasiswa sebagai memiliki ilmu-ilmu yang variatif bisa
saling berkoordinasi membentuk sebuah gerakan yang mandiri tanpa campur
tangan oknum lain termasuk pemerintahan.
II. PEMBAHASAN
A.Sejarah Pergerakan Mahasiswa Di
Indonesia
Pra
Kemerdekaan Hingga Kemerdekaan
Mahasiswa
Indonesia telah berperan dalam menciptakan perubahan sebelum kemerdekaan NKRI.
Sejak tahun 1908 dengan berdirinya Boedi Oetomo, mahasiswa Indonesia mulai
mengadakan persatuan untuk mendiskusikan dan memperjuangkan nasionalisme bangsa
Indonesia. Tidak hanya di Jakarta, gerakan mahasiswa mengalami persatuan, namun
di Belanda juga. Mahasiswa-mahasiswa Indonesia yang belajar disana
mendirikan organisasi-organisasi pemuda Indonesia, seperti Indoneische
Vereeninging, Indische Partij, Indische Sociaal democratische (ISDV) dan
lainnya. Dan dari kebangkitan pemuda yang dimotori mahasiswa tersebutlah, maka
pada tanggal 28 Oktober 1928 pada kongres pemuda II, maka dicetuskanlah “Sumpah
Pemuda”. Ikrar yang menjadikan seluruh pemuda di Indonesia mengakui bahwa hanya
ada satu bangsa, satu tanah air, dan satu bahasa, yakni Indonesia.
Pada
tahun-tahun sebelum kemerdekaan tersebutlah, mahasiswa-mahasiswa Indonesia
telah mengadakan sebuah gerakan persatuan, untuk memperjuangkan nasib
bangsanya. Nasib bangsa yang belum lahir, namun akan segera lahir. Gerakan
mahasiswa ini berperan untuk mendiskusikan dan memperjuangkan hak-hak bangsa
Indonesia yang saat itu sedang dijajah oleh Belanda. Gerakan mahasiswa inilah
yang kemudian berpikir akan persatuan seluruh bangsa Indonesia untuk
mendapatkan haknya untuk merdeka dan menjadi masyarakat yang adil, sejahtera
dan beradab. Mahasiswa di Belanda maupun di Jakarta, terus mendiskusikan dan
bermimpi tentang kemerdekaan rakyatnya.
Setelah
peristiwa Sumpah Pemuda 1928 dan pergerakan bawah tanah yang dilakukan oleh
mahasiswa-mahasiswa Indonesia, dan dibantu juga oleh beberapa orang Belanda
yang prihatin dengan kondisi bangsa Indonesia. Maka pada tahun 1945, pada saat
Jepang berkuasa, maka Pemuda Indonesia yakni terdiri dari angkatan muda dan
angkatan tua berupaya untuk mewujudkan kemerdekaan bangsa Indonesia. Pada bulan
agustus, angkatan muda yang dipelopori oleh Chaerul Saleh dan Soekarni menculik
dan mendesak soekarno dan Hatta untuk segera memproklamasikan kemerdekaan. Dan
pada tanggal 17 Agustus 1945 proklamasi Kemerdekaan Indonesia dibacakan oleh
Soekarno, dan berita tersebut diteruskan keseluruh Indonesia.
Gerakan pemuda Indonesia, yang
didalamnya merupakan gerakan mahasiswa, lewat diskusi-diskusi bawah tanah di
Asrama Menteng, Asrama Cikini dan Asrama Kebon Sirih, berhasil membawa
perubahan pada bangsa Indonesia, sehingga menemukan kemerdekaannya sendiri.
Peran gerakan pemuda tidak habis oleh waktu. Sejak tahun 1908, 1928 hingga
1945, pemuda tetap berkobar dengan pemikirannya yang berani dan kritis untuk
memperjuangkan hak-hak bangsa Indonesia. Memang waktu yang panjang untuk
menemukan sebuah kemerdekaan, namun dengan strategi gerakan yang tepat bangsa
ini telah menemukan nasibnya sendiri. Ditangan gerakan pemudalah nasib bangsa
ini berubah, dan ditangan pemuda jugalah perubahan terjadi.
Masa
Pasca Kemerdekaan dan Orde Lama
Kemerdekaan
telah diraih, perubahan telah terjadi. Dimanakah pemuda-pemuda Indonesia
setelah kemerdekaan ? mereka tetap ada dalam titik kritis dengan pemerintahan
yang baru saja terbentuk. Masukan-masukan kritis diberikan para pemuda kepada
Soekarna dan Hatta untuk melanjutkan nasib bangsa Ini. Pemuda-pemuda generasi
tua seperti Soekarno, Hatta, Amir Syarifudin dan lainnya masuk dalam tubuh
pemerintahan baru untuk meneruskan perjuangan pemuda Indonesia, demi
terciptanya masyarakat Indonesia yang sejahtera, adil dan beradab.
Pada
tahun-tahun selanjutnya mulai muncul pergerakan-pergerakan mahasiswa yang
berlandaskan nasionalisme Indonesia, untuk tetap berjuang menuju kemerdekaan
yang dicita-citakan. Seperti PMII, GMNI, HMI dan lainnya. Pada tahun 1950
hingga 1959, saat Indonesia menerapkan demokrasi liberal, yang memunculkan
banyak partai politik. Maka beberapa gerakan mahasiswa dan pemuda dibawah
kearah perjuangan politik partai, seperti GMNi dekat dengan PNI, PMII dengan
partai NU, HMI dengan Marsyumi dan gerakan lainnya yang mulai berdekatan dengan
partai. Dengan demikian peran mahasiswa masuk kedalam ranah politik.
Pada tahun 1966, ketika PKI dinyatakan
sebagai partai terlarang, maka Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI)
terbentuk (25 Oktober 1966), dengan tujuan agar aktivis mahasiswa dapat lebih
terkoordinasi dalam melawan PKI dan memiliki kepemimpinan. Adapun organisasi
yang terbentuk dalam KAMI, yakni HMI, PII, GMKI, Sekretariat Bersama
Organisasi-Organisasi Lokal (SOMAL), Mahasiswa Pancasila, Ikatan Pers mahasiswa
Indonesia (IPMI). Munculnya KAMI diikuti dengan munculnya kesatuan aksi
lainnya. Pada tanggal KAMI dan Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia
(KAPPI) memelopori kesatuan aksi yang tergabung dalam Front Pancasila
mendatangi gedung MPR/DPR RI untuk menuntut TRITURA, yakni bubarkan PKI beserta
ormas-ormasnya, perombakan cabinet DWIKORA, dan turunkan harga serta perbaikan
sandang pangan. Peran gerakan mahasiswa telah diperlebar dari memperjuangkan
kemerdekaan, menjadi mempertahankan ideologi bangsa Indonesia, yakni Pancasila.
Mahasiswa tetap mengawal kemerdekaan yang telah mereka capai.
Pada
tahun 1966 juga, saat presiden Soekarno menetapkan sistem presidensil. Gerakan
mahasiswa di Indonesia mulai terlibat untuk memperjuangkan sebuah orde yang
baru. Mahasiswa-mahasiswa saat itu, seperti akbar tanjung. Cosmas batubara,
Sofyan wanandi dan lainnya (angkatan 66) memperjuangkan sebuah sistem demokrasi
yang baru, yang mengganti sistem presidensil. Selain itu mereka juga berhasil
membangun kepercayaan masyarakat untuk mendukung mahasiswa menentang Komunis
yang ditukangi oleh PKI. Setelah perjuangan mahasiswa dan TNI berhasil berhasil
menumpas PKI, maka Indonesia memasuki sebuah orde yang baru, yang mana
mahasiswa semakin bersahabat dengan TNI. Sebuah orde baru yang dipimpin
oleh presiden Soeharto.
Apakah
setelah itu pergerakan mahasiswa selesai ? belum. Ada beberapa mahasiswa
seperti Akbar Tanjung, Cosmas Batubara dan lainnya diberikan hadiah oleh
presiden Soeharto untuk masuk dalam cabinet menteri ORBA. Sedangkan mahasiswa
lainnya kembali masuk kekampus dan menempatkan jarak kritis dengan pemerintah.
Pada tahun 1971, ketika pemerintahan ORBA berupaya mempertahankan posisi
pemerintahannya dengan membuat 2undang-undang yang secara politis menguntungkan
status quo mereka (baik UU tentang Pemilu, Partai politik maupun MPR, DPR,
DPRD). Maka mulai muncul suatu gerakan dalam bentuk pernyataan sikap ketidak
percayaan dari masyarakat, yang dimotori oleh mahasiswa. Mahasiswa yang waktu
itu dimotori oleh Adnan Buyung Nasution, Arif Budiman dan Asmara nababan
menawarkan golongan Putih (Golput), sebagai bentuk ketidak percayaan terhadap
pemerintah yang membatasi partai dan mempolitisir kemenangan pemilu (pada
Golkar). Selanjutnya pada tahun 1972 hingga tahun 1974, ketika terjadi banyak
korupsi ditubuh pemerintahan dan masyarakat mengalami kemiskinan, akibat
naiknya harga beras, maka mahasiswa bergerak kejalan-jalan untuk melakukan
demonstrasi penurunan harga dan pembubaran Asisten Pribadi. Pada tahun 1974 dan
1975 terjadi meristiwa Malari yang juga dimotori oleh mahasiswa lewat
demonstrasi besar. Namun demonstrasi besar tersebut berubah menjadi suatu kerusuhan
social besar, hingga penjarahan yang makan banyak korban. Hal ini dikarenakan
demonstrasi telah disusupi oleh orang-orang (Soeharto) yang ingin memanfaatkan
gerakan mahasiswa tersebut.
Menjelang Pemilu tahun 1977,
pergerakan mahasiswa mengangkat isu berbagai penyimpangan politik. Gerakan ini
juga mengkritik strategi pembangunan dan kepemimpinan nasional yang tidak
berpihak pada rakyat dan tidak demokratis. Pada saat ini pemerintah juga
membentuk tim kampanye untuk masuk kekampus-kampus, namun tim ini ditolak oleh
mahasiswa. Setelah itu pergerakan mahasiswa berkonsentrasi didalam kampus
(karena menghindari kejadian seperti peristiwa Malari). Hingga tahun 1978,
mahasiswa tetap bergerak dari dalam kampus, sehingga memaksa militer masuk
kedalam kampus, dan dihapusnya Dewan mahasiswa (diganti dengan Normalisasai
Kehidupan Kampus (NKK) / Badan Koordinasi Kemahasiswaan (BKK) secara paksa oleh
pemerintah) diseluruh Indonesia.
Setelah
tahun 1974 (sejak dibentuknya NKK dan BKK) maka tidak ada gerakan besar yang
dilakukan oleh mahasiswa intra. Dalam perkembangannya gerakan mahasiswa digeser
oleh kehadiran Lembaga-lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), yang menjadi
alternative gerakan mahasiswa, untuk membantu masyarakat mencapai tujuannya.
Selain itu beberapa mahasiswa intra mulai meleburkan diri dan aktif dalam
organsiasi kemahasiswaan ekstra kampus, seperti HMI, PMII, GMKI dan PMKRI (yang
selanjutnya dikenal dengan kelompok Cipayung). Kelompok Cipayung ini terus
melakukan pergerakan lewat diskusi-diskusi dan pers mahasiswa.
Pada
tahun 1990 NKK dan BKK dicabut, dan Senat Mahasiswa Perguruan tinggi (SM-PT)
diakui kembali oleh Menteri Pendidikan & Kebudayaan (waktu itu Fuad Hasan).
Namun hal ini juga mendapat reaksi keras dari mahasiswa, karena dianggap
ada agenda tersembunyi dari pemerintah, yakni ingin kembali mengajak mahasiswa
kedalam kampus, dan memotong aliansi mereka yang ada diluar. Mahasiswa menuntut
organisasi kampus yang mandiri dan bebas dari politisasi antara birokrasi
dengan pihak kampus. Gerakan mahasiswa pada tahun 1990-an menuntut kebebasan
mimbar akademik. Setelah bersatunya seluruh element mahasiswa, setelah
sebelumnya dibungkam oleh pemerintah lewat NKK/ BKK. Mahasiswa kembali
menyuarakan suaranya.
Pada
tahun 1998, gerakan mahasiswa menuntut reformasi dan meninggalkan ORBA, yang
telah melakukan banyak KKN (korupsi, Kolusi dan Nepotisme). Lewat pendudukan
gedung DPR/MPR, akhirnya mahasiswa berhasil memaksa presiden Soeharto
melepaskan jabatannya. Dan saat itu bangsa Indonesia memasuki sebuah era baru,
era reformasi.
Era
Reformasi
Setelah ORBA diruntuhkan oleh
mahasiswa, maka reformasi tercipta. Keterbukaan dan kebebasan yang selama ini
ditindas menjadi terbuka. Setelah demonstrasi besar untuk masuk ke era
reformasi, gerakan mahasiswa kembali kekampus. Lalu siapakah orang kepecayaan
mahasiswa untuk melanjutnya pemerintahan? yang melanjutkan pemerintahan adalah
wakil presiden, yakni habibie. Namun pada saat itu pemerintahan juga didukung
tokoh-tokoh reformasi yang dimandatkan mahasiswa, seperti Megawati
Soekarnoputri, Gus Dur, Amin Rais dan Sultan Hamengku Buwono X. Gerakan
menciptakan awal perubahan reformasi berhasil, namun masih ada pekerjaan rumah
hingga saat ini untuk mewujudkan cita-cita reformasi.
Pasca
reformasi, tokoh-tokoh reformasi bersaing lewat dunia politik untuk menjadi
pemimpin bangsa ini. Dan beberapa tokoh reformasi, seperti Megawati
Soekarnoputri dan Gus Dur berhasil menjadi Presiden Republaik Indonesia (Gus
Dur Presiden RI ke-4 & Megawati Soekarnoputri Presiden Ri ke-5), sedangkan
Amin Rais menjadi ketua MPR RI pada tahun 1999. Gerakan mahasiswa dan
tokoh-tokoh mahasiswa berupaya untuk terus mewujudkan reformasi di Indonesia.
Beberapa keberhasilan proses reformasi yakni Pemilu 1999 yang diikuti oleh
banyak partai, kebebasan pers dan media, kebebasan umat beragama (Konghuchu
masuk menjadi salah satu agama di Indonesia), pemisahan POLRI dan TNI,
TNI kembali ke barak, reformasi POLRI (polisi sipil), upaya penumpasan
KKN dan banyak UU direvisi menjadi pro-rakyat. Proses menuju cita-cita
reformasi terus berlanjut hingga kepemimpinan presiden saat ini, dan belum
tuntas.
Era
reformasi mahasiswa mengambil peran sangat besar, sejak awal terjadinya
perubahan, hingga pengawalan terhadap perubahan dalam masyarakat akibat
reformasi. Gerakan mahasiswa masih tetap berpikir kritis dan memberikan
pernyataan sikap terhadap kinerja pemerintah, serta kebijakan-kebijakan. Saat
ini peran mahasiswa untuk terus mengawal reformasi masih berjalan.
B. Peran Pergerakan Mahasiswa Dan
Tantangan Neoliberalisme Dalam Mempertahankan Eksistensi Pergerakan Mahasiwa
Saat Ini.
Telah
diungkapkan diatas, bahwa mahasiswa merupakan pelopor perubahan. Dari gerakan
mahasiswalah perubahan tercipta. Mahasiswa merupakan tokoh intelektual dalam
masyarakat dan pro pada rakyat. Seluruh bentuk gerakan dan aksi mahasiswa untuk
menuju pada cita-cita bangsa, demi kesejateraan rakyat. Sebagai tokoh
intelektual, mahasiswa dalam pergerakannya tidak lah melepaskan karakter kritis
dan ilmiah. Seluruh gerakan mahasiswa diawali dengan diskusi-diskusi mendalam
tentang suatu kondisi dan situasi yang terjadi dalam masyarakat. Forum-forum
diskusi inilah yang merupakan pusat studi dan riset mahasiswa, sebelum
direncanakan strategi aksi dan pergerakan. Dengan demikian, ketika gerakan dan
aksi dilakukan, maka akan mendapat dukungan dari masyarakat secara penuh.
Namun sebagai tokoh intelektual,
gerakan mahasiswa bukan hanya lewat aksi demonstrasi dan pernyataan sikap saja.
Mahasiswa dalam ranah ilmiahnya tetap melaksanakan riset dan studi untuk
membantu menyelesaikan persoalan masyarakat dalam bidang ekonomi, iptek,
social, hokum, pertanian, dan lainnya. Mahasiswa terus secara bertanggung jawab
belajar untuk mempersiapkan dirinya menjadi pemimpin, sekaligus menjadikan
kampus sebagai wadah untuk meneliti, dan melakukan dialektika intelektual untuk
memecahkan permasalahan dalam masyarakat.
Gerakan
mahasiswa merupakan wujud kecerdasan masyarakat. Untuk itu mahasiswa harus
terus memberikan kontribusi pemikiran dan tindakan dalam membantu masyarakat,
karena ia merupakan bagian dari masyarakat. Jika mahasiswa kehilangan
intelektualitasnya dan keberanian dalam membela dan mewujudkan cita-cita bangsa
Indonesia, maka nasib bangsa Indonesia tidak akan jelas. Dan rakyat akan
menjadi korban dari runtuhnya intelektualitas dan idealisme mahasiswa. Gerakan
mahasiswa harus terus mengambil perannya sebagai pelopor perubahan, pengawal
pembangunan dan membentuk diri sebagai calon pemimpin masa depan bangsa. Dengan
demikian mahasiswa dan gerakannya, akan tetap menjadi
tokoh intelektual dan peluang perubahan dalam masyarakat, yang
bertanggung jawab dan penuh keberanian.
Sebagai
inti dari tulisan ini, sebuah pertanyaan reflektif bagi gerakan mahasiswa saat
ini :
Masihkan
gerakan mahasiswa saat ini, menjadi pelopor dan intelektualitas perubahan ?
Salah
satu yang menyebabkan redupnya pergerakan mahasiswa saat ini seiring
dengan perkembangan zaman yakni karena mahasiswa tidak mampu
menemukan lagi momentum yang tepat untuk bergerak. Iklim demokrasi membawa
dampak kultur perubahan bagi masyarakat. Setiap elemen masyarakat bebas untuk
berpendapat dan mengadvokasi diri mereka sendiri. Padahal sebelumnya mahasiswa
punya fungsi strategis untuk mengadvokasi masyarakat yang tertindas. Akhirnya
kini mahasiswa kehilangan taringnya karena masyarakat yang seolah-olah ”tidak
membutuhkan pembelaan lagi dari mahasiswa”.
Selain
karena faktor diatas, ada faktor yang lebih dominan yang mempengaruhi
pergerakan mahasiswa, yakni gencarnya arus globalisasi di Indonesia.
Globalisasi saat ini tidak dapat dihindarkan lagi di berbagai negara termasuk
di Indonesia. Menyikapi ini tentu sebuah gerakan mahasiswa harus mampu
menyusaikan dengan hati-hati, agar tidak tergelincir nantinya. Globalisasi satu
sisi memang menawarkan suatu kebaikan dan kemajuan, tapi di sisi yang lain juga
membawa dampak yang negatif bagi masyarakat.
Pesatnya perkembangan dunia informasi
dan tekhnologi yang berasal dari luar hakikatnya membawa keuntungan bagi kita,
tapi ternyata juga membawa efek buruk. Sekarang muncul model hidup manusia baru
yang lebih mementingkan kemewahan dunia akibat terbawa trend dari luar. Bahkan
ini telah menjadi suatu gerakan tersendiri, yang disebut gerakan “Hedonisme”. Tentu
saja jadi kabar buruk bagi pergerakan mahasiswa. Ketika hedonisme masuk dan
mulai merasuk dalam setiap pribadi mahasiswa, yang ada hanyalah membuat
mahasiswa semakin apatis terahadap kepentingan negara dan masyarakatnya.
Mahasiswa hedon hanya peduli terhadap kepentingan pribadi dan kesenangan mereka
sendiri. Sekarang musuh bersama setiap gerakan mahasiswa yang mempunyai nilai
kebaikan telah jelas, yaitu gaya hidup hedon dan gerakannya yang bernama
hedonisme.
Selain
membawa hedonisme, globalisasi juga menawarkan satu paham yang tidak sesuai
dengan kondisi masyarakat Indonesia saat ini, bahkan bisa jadi akan semakin
merusak tatanan kehidupan di Indonesia. Neo liberalisme adalah paham yang
berasal dari dunia barat. Paham ini berpotensi menjerumuskan masyarakat kedalam
persaingan ekonomi yang bebas tanpa ada intervensi dari pemerintah. Akhirnya
yang terjadi adalah orang-orang yang punya kekuasaan dan bermodal terus
menindas rakyat miskin yang semakin termarginalkan. Hampir semua gerakan
mahasiswa sepakat tentang ini, dan menentang keras diterapkannya paham neoliberalisme
Pergerakan
mahasiswa sekarang dalam keadaan kritis, eksistensinya semakin tidak jelas.
Sudah saatnya gerakan mahasiswa memutar haluan dan mencoba mencari arahan baru
yang sesuai dengan tantangan jaman. Rekonstruksi sebuah pergerakan mahasiswa tak
dapat ditunda-tunda lagi jika tetap ingin eksis. Dengan itu gerakan mahasiswa
akan siap untuk menjawab tantangan globalisasi dunia, sampai tujuan mulia itu
terwujud di bumi pertiwi ini.
C. Paradigma Pergerakan
Dalam sosiologi, perilaku kolektif
adalah tindakan-tindakan yang tidak terstruktur dan spontan dimana perilaku
konvensional (lama) sudah tidak dirasakan tepat atau efektif. Lebih jauh lagi,
perilaku kolektif merupakan perilaku yang dilakukan oleh sejumlah orang, tidak
bersifat rutin dan merupakan tanggapan terhadap rangsangan tertentu.
Sejak
tahun pasca tahun 1966-dimana gerakan mahasiswa berhasil menjatuhkan rejim Orde
Lama-, dapat dikatakan mengalami masa stagnansi dari gerakan mahasiswa.
Mahasiswa dipandang telah kehilangan kepekaaan sosial yang terjadi pada saat
itu. Kondisi ini tidak lepas dari kebijakan pemerintah yang begitu represif
sehingga kondisi perpolitikan nasional menjadi alat yang efektif untuk
mematikan aspirasi dan gerakan mahasiswa. Pengekangan tersebut telah membuat
mahasiswa-kebanyakan-menjadi kehilangan daya kritisnya terhadap kondisi sosial
yang berkembang.
Menyadari bahwa perguruan tinggi dan
lembaga pemerintah tidak dapat diharapkan, sebagian mahasiswa coba menciptakan
ruang-ruang berkembangnya sendiri. Mereka kemudian memilih untuk melakukan
aktifitas mereka diluar kampus. Selain membentuk kelompok-kelompok diskusi,
mahasiswa juga membentuk Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang menangani Gairah
pergerakan di kelompok mahasiwa kemudian mulai kembali pada tahun 90-an saat
akumulasi berbagai permasalahan sosial makin tajam. Mereka lebih cenderung
mengangkat masalah-masalah yang aktual pada saat itu, misalnya masalah
kelaparan atau bencana di satu daerah dan permasalahan keseharian yang dihadapi
oleh masyarakat. Akan tetapi, pola yang digunakan tidak berubah; masih sporadis
dan dilakukan dalam kampus. Pada awalnya tidak semuanya mahasiswa tersebut
tergerak untuk menanggapi masalah sosial yang muncul.
Lalu,
pada masa itu muncul conscience collective, yaitu kesadaran bersama dimana
mahasiswa merupakan satu kelompok yang harus bersatu padu. Dalam kondisi
perilaku kolektif, terdapat kesadaran kolektif dimana sentimen dan ide-ide yang
tadinya dimiliki oleh sekelompok mahasiswa yang menyebar dengan begitu cepat
sehingga menjadi milik mahasiswa maupun masyarakat pada umumnya. Kekecewaan dan
ketidakpuasan mahasiswa terhadap pemerintah disambut oleh masyarakat yang
menjadi korban dari sistem yang ada. Aksi dari mahasiswa kemudian direspon oleh
masyarakat melalui secara sukarela memberikan bantuan kepada para mahasiswa
yang sedang mengadakan demonstrasi.
Gerakan
mahasiswa pada tahun 1998-tepatnya bulan Mei-cenderung pada perilaku kerumunan
aksi dimana aksi demonstrasi mereka lakukan secara terus menerus dengan
mengandalkan mobilisasi massa demi tujuan bersama. Menurut Blumer, perilaku
kerumunan yang bertindak dimana mereka mempunyai perhatian dan kegiatan yang
ditujukan pada beberapa target atau objektif. Tuntutan gerakan mahasiswa
sendiri pada pasca kejatuhan rejim Orde Baru cenderung pada perubahan sistem
politik dan struktur pemerintahan. Gerakan mahasiswa tersebut sebenarnya
didasari oleh ketidakpuasan masyarakat terhadap bidang kehidupan tertentu di
masyarakat, seperti masalah yang terjadi pada masyarakat pada saat itu yaitu
masalah kelaparan atau bencana di satu daerah dan permasalahan keseharian
ekonomi yang dihadapi oleh masyarakat.
Mahasiswa
sebagai bagian dari masyarakat berpendidikan dan sehari-harinya bergelut dengan
pencarian kebenaran dalam kampus melihat kenyataan yang berbeda dalam kehidupan
nasionalnya. Kegelisahan kalangan mahasiswa ini kemudian teraktualisasikan
dalam aksi-aksi protes yang kemudian mendorong perubahan yang reformatif dalam
sistem politik di Indonesia.
D. Pengaruh gerakan mahasiswa dalam
menciptakan proses perubahan sosial di masyarakat
Melihat
pemaparan diatas serta landasan teori yang kami gunakan diatas, jelas bahwa
gerakan mahasiswa pada tahun 1998 adalah satu proses reformasi dalam
perubahan sosial. Reformasi sendiri menurut Kornblum, adalah gerakan
yang hanya bertujuan untuk mengubah sebagian institusi dan nilai. Lebih jauh
lagi, gerakan ini merupakan upaya untuk memajukan masyarakat tanpa banyak
mengubah struktur dasarnya. Gerakan semacam ini biasanya muncul di
negara-negara yang demokratis.
Proses
reformasi pada tahun 1998 telah berdampak besar dalam kehidupan masyarakat di
Indonesia secara umum. Pertama, yang paling dirasakan dan dapat dilihat dengan
jelas adalah jatuhnya rejim Orde Baru yang telah berkuasa selama 32 tahun.
Selama berkuasa, rejim Orde Baru telah menjadi orde kekerasan, yang selalu
mengedepankan tindakan represif dalam menjaga kelanggengan kekuasaanya.
Mundurnya presiden Soeharto-yang dianggap sebagai simbol Orde baru yang telah
menjadi tolok ukur dari dari perubahan tersebut.
Selain
itu, mahasiswa menilai bahwa aparat negara, militer pada khususnya juga menjadi
alat pelanggeng kekuasaan. Oleh karena itu, tuntutan yang muncul dari mahasiswa
adalah mengembalikan posisi militer pada fungsinya. Salah satu contoh perubahan
adalah pemisahan struktur antara Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian
Republik Indonesia.
Lalu.
perubahan sistem politik di Indonesia. Walaupun sering dikatakan bahwa paham
yang dianut oleh sistem politik Indonesia adalah demokrasi, ini jauh berbeda
dengan apa yang dirasakan oleh masyarakat. Perbedaan pendapat-yang kerap kali
dianggap menggangu stabilitas-menjadi hal yang haram di masa Orde Baru.
Aspirasi politik dari masyarakat kemudian dipersempit dengan sistem tiga partai
yang jelas tidak berpihak pada masyarakat. Oleh karena itu salah satu tuntutan
mahasiswa pada tahun 1998 adalah melakukan pemilihan umum (pemilu) dalam waktu
dekat. Salah satu contoh perubahan dekat adalah pelaksanaan sistem pemilihan
umum langsung yang dilaksanakan pada tahun 2004.
Seperti yang telah disampaikan diatas,
perubahan sosial juga akan mempengaruhi nilai-nilai, sikap dan pola perilaku
dalam sistem sosial masyarakat. Dalam konteks reformasi pada tahun 1998,
terjadi perubahan-perubahan yang cukup signifikan dalam kehidupan sehari-hari.
Pengekangan yang dulu dilakukan oleh Rejim Orde Baru diberbagai sektor
berangsur-angsur dihilangkan. Sebagai salah satu contoh adalah kebebasan
berpendapat yang dulu menjadi ‘barang mahal’ sekarang relatif lebih terbuka.
Kemudian isu tentang nilai-nilai Hak Asasi Manusia kemudian menjadi salah satu
indikator dalam pembangunan. Masyarakat yang dulunya apolitis dan cenderung
pasif pada sistem politik terdahulu mulai terlibat dalam berbagai kegiatan
politik praktis. Sebagai salah satu indikator adalah berdirinya berbagai partai
politik di Indonesia.
Edward
Shill mengkategorikan mahasiswa sebagai lapisan intelektual yang memliki
tanggung jawab sosial yang khas. Shill menyebukan ada lima fungsi kaum
intelektual yakni mencipta dan menyebar kebudayaan tinggi, menyediakan
bagan-bagan nasional dan antar bangsa, membina keberdayaan dan bersama,
mempengaruhi perubahan sosial dan memainkan peran politik. Arbi Sanit
memandang, mahasiswa cenderung terlibat dalam tiga fungsi terakhir. Sementara
itu Samuel Huntington menyebutkan bahwa kaum intelektual di perkotaan merupakan
bagian yang mendorong perubahan politik yang disebut reformasi.
Menurut Arbi
Sanit ada empat faktor pendorong bagi peningkatan peranan mahasiswa dalam
kehidupan politik. Pertama, sebagai kelompok masyarakat yang memperoleh
pendidikan terbaik, mahasiswa mempunyai horison yang luas diantara masyarakat.
Kedua, sebagai kelompok masyarakat yang paling lama menduduki bangku sekolah,
sampai di universitas mahasiswa telah mengalami proses sosialisasi politik yang
terpanjang diantara angkatan muda.
Gerakan
mahasiswa telah menjadi fenomena penting dalam perubahan politik yang terjadi
di Indonesia tahun 1998. Setelah 32 tahun pemerintahan dibawah kendali Presiden
Soeharto, krisis ekonomi melanda Indonesia yang diakibatkan pengendalian sumber
daya keuangan yang tidak proporsional. Bantuan luar negeri yang semula membantu
proses pembangunan menjadi sandara utama dalam pembiyaan modernisasi.
Melihat
kembali kegiatan mahasiswa yang pada dekade 80-an sampai 90-an mengalami
stagnasi dalam pergerakan menyuarakan ketidakadilan dalam masyarakat maka dapat
dikatakan bahwa pada awalnya pergerakan mahasiswa bersifat gerakan moral (moral
movement). Isu-isu yang disuarakan lebih pada perbaikan-perbaikan pada hal-hal
yang mengakibatkan penderitaan yang dialami masyarakat atau kelompok masyarakat
tertentu.
Dalam perkembangan selanjutnya
pergerakan mahasiswa melihat bahwa isu itu dapat berkembang pada isu yang lain.
Hal ini mungkin disebabkan oleh sifat instant yang mempengaruhi pola perilaku
mahasiswa. Sifat ini tidak melihat lebih dalam mengenai masalah yang ada, dalam
arti setiap masalah sebenarnya mempunyai akar permasalahan yang terlebih dahulu
mendapat perhatian. Penemuan pada akar permasalahan memungkinkan mahasiswa
untuk menyuarakan isu yang tepat sasaran sehingga mereka konsisten dalam
gerakannya. Namun, karena pada kenyataannya mahasiswa kadang tidak memiliki
basis konsep yang jelas sehingga perhatian awal mudah sekali menyimpang atau
lebih parah lagi mengalami perubahan yang bertolak belakang dengan isu awal.
III. PENUTUP
III.a.
Kesimpulan
Peran
dan fungsi mahasiswa harus kembali dipertegas. Sejarah pergerakan mahasiswa
yang mewarnai perjalanan bangsa Indonesia harus terus mampu mengawasi dan
mengontrol reformasi secara utuh dalam segala bentuknya sesuai dengan zaman
yang berlaku saat itu, yakni saat 1966, 1998 atau Sekarang. Mahasiswa harus
tetap memiliki idealisme untuk memperjuangkan nasib rakyat Indonesia,
setidaknya di daerahnya. Mahasiswa tetap dikenal masyarakat sebagai agent of
change. Hal ini memberikan konsekuensi logis kepada mahasiswa untuk bertindak
dan berbuat terus-menerus sesuai dengan gelar yang melekat pada dirinya.
Mahasiswa harus tetap memiliki sikap kritis, serta mengambil peran untuk melakukan
banyak perubahan yang terbaik untuk menyuarakan masalah-masalah pendidikan,
pengangguran, ekonomi, kesenjangan sosial, moralitas dan korupsi.
III.b. Saran
Demikianlah makalah tentang
pergerakan mahasiswa ini kami selesaikan berdasarakan referensi beberapa buku
pergerakan. Kami menyadari bahwa makalah ini masih sangat jauh dari
kesempurnaan. Oleh karena itu kritik dan saran yang membangun sangat kami
harapkan guna perbaikan dikemudian hari.
Akhir kata, mohon ma’af atas segala
kesalahan dan kekurangan. Teriring salam dan harapan semoga makalah ini dapat
menjadi manfaat dan mendorong totalitas pergerakan mahasiswa.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 2008, meetabied.wordpress.com/.../gerakan-politik-mahasiswa-dan-perubahan-sosial-politik- indonesia/
Arifin,
Syarif, Fahmi Panimbang, Abu Mufakhir & Fauzan. 2012. Memetakan Gerakan
Buruh. Depok : Kepik
Bajasut,
S.U & Lukman Hakim. 1972. Alam
Pikiran dan Jejak Perjuangan Prawoto Mangkusasmito. Jakarta : Kompas Media Nusantara
Cohen,Bruce J. 1990. Sosiologi
Suatu Pengantar (Terjemahan). Jakarta : Bina Aksara
Malaka,
Tan. 1926. Tan Malaka Aksi Massa. Singapura : Teplok Press
Nata,
Abuddin. 2005. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta : Gaya Media Pratama
Sumarna,
Saleem Hardja. 2013. Panduan Praktis Menjadi Pemimpin Yang disukai &
Diidolakan Banyak Orang. Klaten : Galmas
Publisher
Suharsono.
1997. HMI Pemikiran & Masa Depan. Yogyakarta : CIIS Press
Zubaeri.
2012. Marakom Rumah Kita (locus Genus HMI UIN Sunan Kalijaga). Yogyakarta : Marakom Istitute Pubilisher
hmi.or.id/berita/44/mahasiswa-dan-perubahan-sosial
www.96147.com/.../perubahan%20mahasiswa%20dalam%20penanganan%20masalah... -
0 komentar:
Posting Komentar